"Ana, mau kan kamu jadi pelatihku?" Mata Julia memancarkan aura memohon yang begitu tulus.
Bahkan wajah imut itu terlihat semakin menggemaskan di mata Ana. Membuat gadis yang mulai menyukai sesama jenis ini lagi-lagi harus bersusah payah menepis debaran jantung yang semakin tak terkontrol.
Terlebih sentuhan kulit Julia, yang mengalirkan setrum di tubuh Ana. Sungguh gila wanita di depannya ini! Bagaimana bisa dia terus memberikan ekspresi seperti itu padanya?
"Hentikan tanganmu, atau aku tidak akan membantumu!"
Sontak Julia menarik tangannya menjauh dari Ana. Ia juga memberikan senyuman terbaiknya. Wajahnya yang mungil dan imut lagi-lagi berhasil melemahkan hati Ana.
"Eh-hem! Apa kamu besok memiliki jadwal atau acara?" tanya Ana.
"Tidak."
Ana menyalakan mesin motornya dan memasukkan pada gigi satu. Ia juga merapatkan lagi helm dan jaketnya.
"Kalau serius ingin kulatih taekwondo, besok temui aku di lapangan parkir fakultas kedokteran. Tepat pukul 8 pagi. Tidak ada kesempatan kedua."
Setelah mengucap itu, Ana langsung menancap gasnya, meninggalkan apartemen tersebut.
Di sisi lain, Julia masih tertegun dengan kalimat terakhir Ana.
Apa yang dia katakan? Dia akan melatihku? Besok? Benarkah ini? Sungguh Ana akan melatihku?
"Kyaaaaa!!!" Julia berteriak histeris di depan apartemennya. Untung saja saat ini hari sudah larut. Ia segera mengulum bibirnya dengan senyuman serta wajah yang terlihat sangat bahagia.
Ia bernyanyi lirih saat masuk ke gedung apartemennya.
Di sisi lain, Ana tidak benar-benar pergi. Ia berhenti tepat di dekat pintu masuk apartemen. Ia juga sempat melihat bagaimana tingkah aneh Julia dari kaca spionnya. Segaris senyuman tak dapat ia hapus dari wajahnya.
"Sesenang itukah?" gumamnya.
Setelah memastikan Julia masuk di apartemen, Ana menarik gas nya lagi dan motor ninja itu pergi melesat meninggalkan apartemen.
***
Julia terus memperhatikan penampilannya di depan cermin panjang yang ada di sudut kamarnya. Tubuhnya terus berlenggok ke kanan dan ke kiri. Memperhatikan setiap detail penampilannya. Memastikan bahwa penampilannya sudah terlihat oke.
Setelan training dengan tanktop juga jaket Hoodie berwarna serba pink melekat dengan apik di tubuh ramping itu. Julia menambahkan jam tangan digital berwarna putih dengan layar warna pink serta sepatu kets berwarna senada sebagai penyempurna penampilannya.
"Oke! Lakukan sebaik mungkin! Buat Ana terkesan dengan usahamu, Julia! Fighting!" serunya di depan cermin dengan senyum begitu lebar.
Setelah mengedipkan sebelah mata, ia mengambil mini ransel berwarna pink di meja dan menaruhnya di punggung. Tak butuh waktu lama, ruangan yang tadi berpenghuni itu telah sepi.
Julia melenggang bagai model di koridor yang sedang sepi itu. Dia tersenyum penuh percaya diri ketika tak seorangpun berbisik tentangnya. Ya, kampus memang sepi di akhir pekan. Hanya beberapa mahasiswa yang terlihat sibuk sebagai kuli kampus (Mahasiswa BEM), dimana itu tidak berlaku untuk Julia yang pekerjaannya perlahan dikurangi oleh para senior. Istilahnya, didepak secara halus.
Langkah kakinya terhenti ketika melihat mobil sedan berwarna putih terparkir rapi di sana. Julia dapat mengenali sedan itu karena sedan tersebut terparkir di basemen apartemennya dan dia juga pernah melihat jika sedan itu adalah milik Kak Ratna, kakak Ana.
Sesaat ia teringat sesuatu. "Bukannya hari ini Ana meminjam mobil untuk jalan-jalan? Tapi kenapa dia menyuruhku ke kampus untuk latihan?" gumamnya dengan ernyitan dahi.
Ia bergegas menghampiri gadis cantik yang baru saja keluar dari mobil. Matanya juga membulat lagi ketika melihat penampilan Ana.
Ana terlihat sangat menawan dengan setelan blazer berwarna hitam dan kacamata hitam. Tubuh tingginya terlihat semakin tinggi dengan stelitto warna senada. Rambut panjangnya terjuntai rapi menutupi bagian leher.
Kini Julia telah berdiri tepat di depan Ana. Matanya bergerak dari ujung kaki ke ujung kepala kembali lagi ke kaki, menatap Ana lurus. Satu hal yang kini dapat mendeskripsikan mereka. Ana bagaikan wanita dewasa kelas atas sedang Julia seperti anak SMP yang hendak main layangan di lapangan.
Julia menatap wajah wanita itu dengan intens. Di hati ia terus mengumpat. Apa ini prank yang diberikan Ana untuk mempermalukannya? Kenapa harus melakukan ini? Matanya membulat dengan sempurna, tanpa rasa takut sedikitpun.
"Ana sedang mengerjaiku sekarang?" tanya Julia dengan ketus.
"Tidak."
"Lalu kenapa kamu berpakaian seperti itu? Apa kamu sengaja mempermalukanku? Apa ini balasan karena aku meminta kamu untuk melatihku? Ana, tidakkah ini keterlaluan?"
Ana melepas kacamatanya. Mata teduhnya itu menyipit ditambah gerutanbgaris tipis di sekitar dahi. "Apa yang kamu katakan, Julia?"
"Ana memintaku datang untuk latihan taekwondo. Kenapa berpakaian seperti itu?"
"Kapan aku mengatakannya?"
"Semalam! Di depan apartemenku. Sangat jelas Ana mengatakan jika ingin berlatih taekwondo, maka aku harus menemui Ana di parkiran fakultas tepat jam 8 pagi." Julia sungguh terlihat kesal dengan tatapan mata Ana yang nampak tidak bersalah itu. Dan semakin kesal ketika melihat smirk dari bibir tipis milik Ana.
Ana membuka pintu di belakangnya. "Masuklah ke mobil."
"Tidak mau!" Julia memalingkan wajahnya.
"Kamu bilang ingin aku jadi pelatih taekwondomu?"
Julia menoleh pada Ana dengan mata yang sangat kesal. Tatapannya itu seolah ingin membunuh Ana, terlebih ketika ia mulai mendengar orang-orang di sekitar mereka menggunjing apa yang mereka lakukan.
"Sekarang masuklah ke mobil. Kecuali kamu masih suka mendengar apa yang dikatakan orang lain."
Dengan kesal dan hati yang dongkol, akhirnya Julia masuk ke mobil dan segera menutup pintunya dengan keras.
Ana terkekeh pelan. Ia berjalan melewati bagian depan mobil dan masuk ke pintu kemudi. Tak lama, mobil itu sudah melaju meninggalkan kampus.
Dalam perjalanan, kedua mata Ana fokus melihat pandangan di depannya. Sedangkan mata Julia terbuang di samping jendela. Tak sedikitpun ia melihat ke arah Ana. Alunan lagu milik Agnes Mo menggema di mobil kecil itu, memecah keheningan diantara mereka.
Julia tidak membuka percakapan apapun. Ia bersumpah dalam hatinya tidak akan bicara sama Ana sampai gadis itu menjelaskannya sendiri. Sekalipun otaknya sangat penasaran akan dibawa kemana oleh dewi fakultas kedokteran yang kini terlihat lebih mirip penculik gadis kampus.
Lagi-lagi mata Julia membulat lebar ketika menyadari pikiran itu. Tidak mungkin kan Ana akan menculiknya? Julia melihat tubuhnya sendiri. Tidak mungkin kan Ana akan membedah tubuhnya? Atau menjadikan dia cadaver untuk bahan praktikum? Ia bergidik ngeri dan langsung menatap tajam ke arah Ana.
Wanita berkacamata hitam itu langsung menoleh ketika menyadari seseorang di sampingnya menatap ia dengan horor. "Kenapa melihatku seperti itu?"
"Ana sekarang tidak menuculikku kan?" tanya Julia penuh selidik.
"Kamu ingin aku culik?"
"Tidak!"
Ana membuang pandangannya lagi ke jalanan. Matanya terfokus ke sana, meskipun ia juga bingung dengan sikap Julia yang tiba-tiba jadi horor.
"Lalu kita akan pergi ke mana? Ana tidak bilang apapun padaku."
Ana hanya diam. Tanpa memedulikan ocehan gadis itu.
"Ana! Apa kamu akan membawaku ke tempat sepi, lalu membunuhku dan mengambil organiku? Selanjutnya menjadikan tubuhku sebagai cadaver-mu?"
Ana melihat ke arah Julia yang ketakutan sekilas. Segaris senyuman justru tergambar jelas di wajahnya.
"Sepertinya ide bagus. Jadi aku tidak perlu membeli cadaver yang harganya selangit di rumah sakit."
***