Mobil Ana terus melaju dalam kecepatan yang semakin tinggi.
Julia saat ini sedang terlelap pulas, setelah beberapa menit berdebat panjang dengan Ana. Entah apa yang dikatakan Ana diakhir kalimatnya hingga akhirnya Julia menyerah untuk berdebat dan memilih diam hingga akhirnya tertidur.
Dalam perjalanan, beberapa kali Ana melirik ke arah Julia yang tertidur dengan mulut terbuka. Bahkan ia dapat melihat dengan jelas air liur yang mengalir di sekitar bibirnya. Memberikan warna kilau yang menggemaskan bagi Ana, membuatnya tanpa sadar terus tersenyum. Perjalanan kali ini sungguh menyenangkan.
Ana mengambil tisu di dasbor. Dengan pandangan mata yang masih melihat ke depan, sesekali ia menghapus pelan tetesan Saliva yang menjijikkan bagi sebagian orang itu. Membuat Julia bergeliat dalam tidurnya.
Reflek Ana langsung menarik tangannya dan membuang tisu itu sembarangan. Matanya kembali terfokus pada jalanan, dengan sesekali melihat ke arah Julia.
Perlahan, gadis itu membuka matanya. Mengusap bagian kelopak mata beberapa kali hingga pandangannya terbentuk dengan sempurna. Julia mengutarakan pandangannya ke sekitar mobil mereka bergerak. Ia terlihat gelisah ketika menyadari sesuatu.
Sekarang jam 12 siang, tapi kenapa tempat ini semakin gelap. Di sisi kanan adalah tebing dan sisi kiri jurang. Mobil mereka berjalan melingkar dan pasti naik. Ini di gunung. Jalanan ke gunung yang melewati hutan.
Julia segera menoleh pada Ana. Wajahnya nampak sangat ketakutan. "Ana, kamu beneran ingin membunuhku dan menjadikanku cadaver-mu?"
Ana mengerling dengan mata yang tidak melihat ke Julia. "Apa yang kamu bicarakan?"
"Kamu membawaku ke tempat yang sepi untuk membunuhku kan? Di sini jauh dari pemukiman warga, bahkan sepertinya kita masuk ke jalan yang salah. Semakin masuk hutan, jalanan terlihat semakin gelap."
Ana hanya tersenyum. Sebenarnya ia menertawakan gadis bodoh ini, hanya saja tawa itu tertahan di dalam mulutnya.
Ana tetap fokus pada perjalanan. Membiarkan Julia yang terus mengoceh di sampingnya. Meluapkan segala rasa yang dia miliki saat ini, lengkap beserta umpatan juga sumpah serapahnya untuk Ana.
"Dasar psiko!"
"..."
"Orang gila!"
"..."
"Pembunuh!! Bagaimana bisa kamu menjadi dokter jika jiwamu memiliki hal semacam itu?!"
"..."
"Apa jangan-jangan kamu memang menyamar jadi mahasiswa kedokteran untuk melancarkan aksimu membunuh manusia tak berdosa sepertiku?"
Ana menghentikan mobilnya tepat di sebuah lahan yang sangat luas dengan pagar yang tinggi. Ia mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman.
Julia mengitarkan pandangannya di sekitar. Tempat ini tidak seburuk jalan yang mereka lewati tadi. Setidaknya di sini masih ada cahaya matahari yang masuk di sela-sela rimbunnya dedaunan tinggi.
"Ana, apa yang akan kita lakukan di sini? Tempat ini sangat sepi."
Ana mengabaikan pertanyaan Julia. Ia membalikkan badan ke jok belakang untuk mengambil buket bunga yang telah dibentuk denga sangat cantik. Kemudian ia membuka pintu.
Julia termenung memperhatikan apa yang dilakukan gadis itu. Matanya terus mengawasi pergerakan Ana. Sekaligus waspada jika tiba-tiba Ana menyerangnya.
'Bahkan Ana sudah menyiapkan buket bunga. Apakah itu untuk pemakamanku nanti?' tanya Julia dalam hati.
"Kamu ingin tetap di mobil atau ikut bersamaku?" tanya Ana datar.
"Di-di mobil saja," jawab Julia tergagap.
Ana hanya menyeringai kecil sambil mengacak rambut Julia. Ia keluar mobil. Namun saat hendak pergi, kepalanya masuk melalui jendela yang ia buka.
"Jika ingin menyusulku, kunci mobilnya dengan benar."
"I-iya..."
Ana meninggalkan Julia seorang diri di sana.
Julia melihat ke sekitar. Tempat ini sangat sepi dan sepertinya berada di puncak gunung. Matanya menangkap sosok Ana yang sedang menaiki tangga di salah satu gundukan tinggi samping mobil mereka.
Karena rasa penasaran, Julia pun memutuskan mengikuti Ana. Ia memastikan semua jendela sudah tertutup rapat dan keluar mobil. Ia menyalakan alarm mobil untuk mengunci, lalu berjalan melewati jejak kaki Ana tadi.
Satu per satu kaki Julia menaiki anak tangga yang terbuat dari susunan batu berlumut itu. Dengan hati-hati ia melangkah dan matanya terus menyorot ke arah Ana. Mencari keberadaan gadis bertubuh seksi itu.
Julia menghentikan langkahnya ketika kedua bola mata itu menangkap sosok Ana. Segera ia bersembunyi di balik pohon terdekat. Ia melihat Ana yang menaruh buket bunga itu pada sebuah nisan. Julia mempertajam fokus penglihatannya dan melihat apa yang dilakukan Ana. Ternyata dia berdoa di depan tempat peristirahatan terakhir manusia itu.
Di sisi Ana, gadis itu berjongkok di dekat nisan setelah meletakkan bunga. Ia mengusap batu nisan itu beberapa kali, lalu mulai berdoa dalam hati. Selanjutnya ia memandang nisan itu dengan tatapan sendunya. Bahkan matanya memerah.
"Ibu, aku datang..."
Ana mengusap lagi batu nisan itu. "Ibu... Aku sekarang berkuliah di Universitas Dharma Wijaya, fakultas kedokteran. Aku sudah masuk semester 2, Bu..." Ana memejamkan mata sesaat, menahan genangan air matanya agar tidak keluar. "Ibu bagaimana kabarnya di sana? Apa ibu bahagia? Ibu pasti bahagia karena tidak lagi mendapatkan siksaan seperti saat di sini."
Ana menarik nafas dalam kemudian membuka matanya lagi. Kali ini ia tersenyum. "Ibu, alasanku menjadi dokter adalah biar tidak ada lagi istilah kekurangan tenaga medis, seperti yang terjadi pada kita dulu, Bu... Aku ingin menyelamatkan nyawa siapapun yang bisa kuselamatkan."
Ana menarik nafas lagi. "Aku sekarang juga sedang berusaha menyelematkan nyawa seseorang dan melindunginya. Dia orang yang kusukai, Bu. Tapi sekarang dia tidak ikut. Suatu hari nanti, aku akan memperkenalkannya pada Ibu."
Ana tersenyum semakin lebar dengan air mata yang berkaca-kaca, meskipun memancarkan sinar kebahagiaan.
"Ibu sebenarnya orang itu...."
Ana menghentikan kalimatnya ketika mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Buru-buru ia menghapus jejak air matanya. Ia menoleh dan mendapati Julia berdiri tepat di belakangnya. Ia tersenyum pada Julia sambil berdiri. Ia mendekat ke arah Julia.
"Ayo, sini. Aku kenalkan kamu pada ibuku."
Julia mengangguk. Ia mendekat dari sisi kanan Ana, membuatnya berdiri sejajar dengan Ana.
Ana membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah makam itu lagi.
"Ibu, ini Julia. Gadis aneh yang terus mengejar putri kesayanganmu."
Julia menatap sinis Ana, tapi sedetik kemudian memalingkan wajahnya ke nisan itu. Ia tersenyum tulus.
"Hallo, Tante. Perkenalkan saya Julia. Saya sebenarnya tidak ingin mengejar Ana, hanya ingin berteman dengannya. Tapi putri Tante yang sok cantik ini, terlalu sombong untuk berteman denganku. Jadi aku terus mengikutinya. Aku ingin menjadi salah satu orang terdekatnya. Aku sangat mengaguminya. Bantu aku ya, Tante!" ucap Julia dengan sangat riang.
Di belakangnya, Ana tersenyum sangat lebar mendengar perkataan Julia. Namun sebisa mungkin ia menahan agar tidak terlihat jelas, apalagi mengeluarkan suara. Jangan! Gadis berambut pendek itu akan kepedean kalo melihatnya tertawa.
"Ibu, aku rasa aku harus pergi sekarang. Lain kali aku akan mampir lagi. Aku sayang ibu," ucap Ana menutup pembicaraan. Kemudian sekali lagi ia memejamkan mata dan mengucap doa.
***
"Hari ini hari kematian ibuku."
Ana membuka pembicaraan ketika mobil mereka melaju menuruni gunung.
Julia memalingkan pandangannya pada Ana. Ia dapat melihat kesedihan di wajah Ana. Wajah yang selama ini selalu terlihat datar, ternyata menyimpan kesedihan yang begitu dalam.
"Maaf, aku tidak tahu. Seharusnya aku berpakaian lebih sopan. Juga, bersikap lebih baik padamu. Pasti hari ini adalah hari yang berat untukmu." Julia menundukkan pandangannya. Raut wajahnya nampak merasa bersalah dengan pertengkaran mereka tadi pagi
"Tidak. Kamu tidak salah. Aku memang tidak memberitahumu."
Ana melihat ke arah Julia. "Makasih ya sudah menemaniku datang ke sini," ucapnya dengan senyuman.
Tak lama Ana melihat Julia, namun gadis berambut pendek itu dapat melihat senyuman di wajah cantik Ana. Senyuman yang untuk kedua kalinya ia melihat itu. Senyuman penuh ketulusan.
"Iya, sama-sama."
Tanpa sadar, Julia ikut tersenyum. Senyuman yang begitu lebar.
Dari speaker terdengar CNBLUE mengalunkan lagu Love Light, menambah kehangatan suasana mobil saat ini.
"Oh ya, Ana. Setelah ini kita akan pergi ke mana?"
Ana menatap lurus jalanan. Alisnya terangkat sebelah, dan senyuman smirk-nya kembali menghiasi wajah pucat itu. "Menjadikanmu cadaver," jawabnya santai.
***