"Julia! Kamu tidak apa kan? Tidak ada yang terluka?"
Julia yang sedang merapikan bukunya seketika menoleh melihat pintu kamar itu terbuka. Dilihatnya Gian dan Desi mendekat ke arahnya. Wajah mereka terlihat sangat khawatir. Apalagi setelah melihat wajah Julia yang penuh dengan obat. Mereka langsung mempercepat langkah dan duduk di dekat Julia.
"Kamu gila?! Kenapa tidak menelpon kami?" serang Desi yang berapi-api.
"Ini tidak sakit, kok. Aku sudah merawatnya."
"Siapa yang merawatmu? Oh, jangan bilang hari ini penampilanmu tertutup karena luka-luka ini?" tebak Gian.
Julia hanya me-rolling matanya malas. Ia melanjutkan mengemas buku-buku yang berserakan di mejanya. Ia bisa menebak jika buku-buku itu berantakan karena ulah Chichi-kucingnya-yang sedang kelaparan setelah dua hari ia tinggal di apartemen sendiri.
"Iya nih, kamu belum cerita apapun. Semalam kamu tidur di mana? Dan tadi pagi kamu pergi dengan siapa? Apa dia yang merawatmu?" Desi meluruskan pandangannya pada Julia.
Jika memang seperti ini, sepertinya tidak ada cara lain selain menjelaskan. Ia pun menghentikan aktivitasnya dan menarik kursi belajar. Ia duduk menghadap lurus ke teman-temannya.
Julia mengambil nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Baiklah. Iya, benar. Aku pakai baju lengan panjang dan juga celana panjang, yang jarang aku pakai ini, karena tubuhku yang penuh dengan luka. Syukurlah seseorang menolong sejak semalam hingga hari ini."
"Siapa?" tanya Gian dan Desi bersamaan.
"Ana," jawab Julia dengan suara berbisik.
Kedua gadis di depannya itu sontak memekik kata "What?!" secara bersamaan. Mereka semakin menajamkan pandangannya pada Julia. Seolah menuntut gadis itu untuk cerita lebih lanjut.
Lagi-lagi, Julia mengatur nafasnya untuk lebih tenang. Sepertinya ia merasakan hal yang kurang nyaman ketika harus menceritakan tentang dirinya dan juga... Ana.
"Kalian tahu jika kemarin aku ada seleksi di UKM Taekwondo. Yang tujuannya, nggak lain dan nggak bukan adalah untuk belajar Taekwondo pada Ana."
"Mmmmm..."
"Ana menolakku untuk masuk ke UKM itu. Dia bilang fisikku terlalu lemah untuk bergabung di sana. Tapi, yang membuatku kesal adalah dia mengatakan itu di depan peserta lain. Tanpa dia melakukan tes terlebih dulu padaku."
"Tapi, apa yang dikatakan Ana memang benar. Kamu sangat lemah di bidang olahraga fisik. Saat itu, kamu juga pingsan kan saat menemani Ana jogging?" sanggah Desi.
Julia langsung menatap gadis itu dengan kesal. "Tapi aku tidak selemah itu! Paling tidak, jangan permalukan aku di depan banyak orang. Dia melakukan hal itu padaku di depan banyak orang. Kamu pikir aku nggak malu??"
Kedua temannya itu terdiam. Mereka bingung bagaimana merespon hal itu.
"Terus kamu akan menyerah mendekati Ana?"
"Tidak. Aku tidak akan menyerah."
"Terus bagaimana kamu bisa mendapatkan luka-luka ini? Kamu melakukan ujian itu?"
"Tidak. Jika mengikuti ujian, lukaku tidak akan seperti ini. Ujiannya hanya melatih kecepatan dan kekuatan tendangan! Tapi penolakan Ana membuatku malu. Aku meninggalkan ruangan itu dengan amarah. Lalu...."
"Lalu apa?" tanya Desi tidak sabar.
"Lalu, aku tiba-tiba diserang sekelompok wanita."
"Apa mereka kelompok yang sama?" tebak Gian.
"Iya, tapi tanpa Kak Inge."
"Mereka lebih banyak menamparku. Ada pula yang menendang ku dan juga menjambak rambutku."
"Kamu itu bodoh atau gimana sih? Kenapa tidak melawannya?" maki Gian dengan kesal.
"Aku sendirian, mereka bertiga! Mana bisa aku melawan mereka?!"
"Gian, kamu tidak lupa kan kalau sahabat kita ini juga lemah dalam prestasi fisik? Apalagi Julia selalu dimanjakan," ucap Desi yang langsung disambut tatapan maut Julia.
Desi langsung memberikan senyuman pepsodennya itu pada Julia. Ia sadar bahwa ia telah menambah gas pada api yang membara. Ia salah.
"Terus kalau aku menebak, pasti Ana datang dan menyelamatkanmu kan?"
Julia menoleh pada Gian. "Tidak. Ana datang hanya untuk mengobatiku."
"Lalu kenapa kamu menginap di asramanya? Aku dengar Ana tidak pernah membawa siapapun ke asramanya, kecuali Kakaknya."
Julia dan Desi membulatkan matanya dengan sempurna.
"Benarkah, Julia?" tanya Desi dengan nada tidak percaya.
"Iya. Aku pernah mendengar tentang Ana dari gadis yang tinggal di asrama yang sama dengannya. Mereka mengatakan kalau Ana tidak menerima tamu siapapun kecuali sang kakak. Ana juga tidak ingin berbagi kamar dengan siapapun. The real introvert person!"
"Julia, kamu tidak tahu hal ini? Apa semalaman kalian mengobrol atau melakukan sesuatu?" tanya Desi menyelidik.
"Tidak. Setelah mengobatiku, dia pergi. Dia datang saat aku sudah tertidur dan pergi sebelum aku terbangun."
"Bagaimana kamu tahu jika dia sempat datang ke kamar itu?"
"Dia membuatkanku sarapan dan juga meninggalkan notes."
"Fix! Ana itu aneh!" seru Gian.
"Iya, dia memang aneh. Dia menolakku bergabung dengan UKM. Tapi dia juga menolongku saat aku terluka."
Desi dan Gian memperhatikan ekspresi Julia ketika berbicara. Meskipun ada nada kesal dalam perkataan gadis itu, namun segaris senyuman juga tergambar di wajah Julia.
"Julia, apa kamu mulai menyukainya?" tanya Gian menyudutkan.
Julia langsung melemparkan pandangannya. "Tidak! Aku melakukannya hanya demi...."
Gian dan Desi saling melempar pandang dengan senyuman penuh arti.
***
Beberapa hari berlalu dengan melelahkan. Tidak ada Cecil yang mengikutinya, kini ganti Julia yang selalu mengikutinya. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu. Ia selalu mengatakan tangannya yang terluka masih terasa sakit. Bahkan meninggalkan bekas yang begitu mengerikan sehingga dia tidak bisa memakai pakaian terbuka. Ia terus meminta Ana untuk mengembalikan kulit halusnya.
Setiap hari, setiap waktu, ia datang pada Ana. Meminta gadis fakultas kedokteran itu untuk menghilangkan bekas lukanya. Dan pada akhirnya, ketika luka Julia mulai menipis, ia memberikan concealer untuk menutupi luka di bagian tangan. Serta meresepkan salep untuk menghilangkan bekas luka di kulit.
Setelah mengatakan itu pada Julia, Ana masuk ke ruang latihan Taekwondo dengan langkah santainya. Namun, seketika mata indahnya membulat ketika melihat gadis yang ia kenal berada diantara para anggota baru. Ia menatap wajah Inge dan juga Joe dengan ernyitan dahi yang begitu kentara di sana.
Seolah mengerti maksud dari tatapan Ana, Joe pun membuka suara. "Dia Cecil, satu kelas denganmu kan? Dia ingin bergabung di sini karena dia harus jadi wanita yang kuat setelah kehilangan ibunya. Dia harus bisa menjaga dirinya sendiri."
Ana sempat terkejut mendengar ucapan Joe. "Jadi ibunya sudah meninggal? Pantas saja dia tidak masuk kuliah selama 4 hari," gumamnya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku dan Master Jinny sudah mengujinya langsung. Mungkin tendangannya tidak terlalu kuat. Tapi dia memiliki semangat yang tinggi untuk berlatih. Aku melihatnya sudah latihan menendang selama satu jam tanpa berhenti, sebelum kelas di mulai."
Ana mengangguk singkat. Kemudian matanya memandang ke arah Cecil lagi. Menatapnya dengan penuh kecurigaan.
Cecil, gadis yang sama seperti Julia bergabung di UKM ini demi menjaga diri? Apa itu sungguhan? Atau hanya ingin mengejar Ana?
Seketika rasa khawatir itu timbul di hati Ana. Benarkah itu hanya kebetulan? Suatu kebetulan dimana Cecil akan menjadi muridnya? Ataukah memang direncanakan oleh Cecil untuk tetap berada di sisi Ana?
***
"Ah, lelahnya! Aku tidak menyangka pada akhirnya aku mempelajari olahraga ini," komentar Cecil usai mengganti pakaiannya. Ia menoleh pada Ana yang berdiri di sampingnya karena merapikan barang-barang di loker.
"Ana setelah ini mau langsung pulang?" tanya Cecil dengan kecentilannya yang megang tangan Ana.
Reflek, gadis itu menyingkirkan tangan Cecil dari permukaan kulitnya.
"Tidak, aku akan pergi makan malam."
"Bagaimana kalau kita makan malam bersama?"
Ana langsung menoleh pada gadis yang masih bersikeras menyentuh tangannya.
"Ya? Ya? Ya? Aku akan kehilangan nafsu makanku jika aku makan sendiri. Aku selalu teringat ibuku ketika makan sendirian," ucap Cecil dengan suara lemahnya.
Ada rasa iba hadir di hati Ana. Ia juga pernah seperti ini. Berada di posisi yang sama seperti Cecil. Apalagi ini masih beberapa hari setelah kematian sang ibu. Dulu, ia juga mengatakan hal yang sama pada bibinya dan itu terus berlangsung selama beberapa tahun hingga akhirnya dia mengerti bahwa dia harus mandiri.
"Baiklah. Aku akan makan bersamamu," jawab Ana pada akhirnya.
"Yes!! Makasih, Ana!" seru Cecil dengan mata berbinar. Reflek gadis itu memeluk Ana dan hendak menciumnya.
Namun, gadis blesteran itu sudah menjatuhinya tatapan seolah ingin membunuh, membuat Cecil mundur dengan senyuman lebar di bibirnya. "Ups, Sorry..."
***