Chereads / Sweet Dating / Chapter 20 - Belajar Lebih Lembut

Chapter 20 - Belajar Lebih Lembut

"Terima kasih untuk makan malamnya ya, Kak," ucap Julia sembari membungkukkan badan.

Saat ini ia sedang berpamitan pada Dokter Ratna di ruang tamu. Sedangkan Ana sedang berada di ruang lain. Entah apa yang gadis itu lakukan.

"Sama-sama. Lain kali datang ke sini lagi ya. Kamu boleh kok main ke sini atau menghubungiku kalau ada apa-apa. Kamu bisa minta nomorku pada Ana."

Julia tersenyum kecil. Wajahnya masih menunjukkan sikap canggung. Bagaimana bisa ia meminta nomor telpon wanita ini jika nomor Ana saja ia tidak punya?

"Nanti jika kamu sudah berhasil menjadi temannya, jangan lupa memberitahuku ya..."

Gadis berwajah cantik nan imut itu hanya mengangguk kecil. Ia tidak ingin merasa semakin canggung dengan obrolan blak-blakan antara dirinya dengan wanita di depannya itu.

Dokter Ratna membantu membukakan Julia pintu dan membiarkan gadis itu meninggalkan apartemennya. Selanjutnya ia langsung menutup bahkan mengunci pintu apartemennya.

"Sekarang kamu bisa keluar," ucapnya dingin.

Ana berjalan perlahan dari kamar sang dokter. Ia memelintir bagian bawah kemeja yang ia gunakan. Wajahnya terlihat gugup. Terlebih setelah manik matanya bertemu pandang dengan manik tajam Dokter Ratna.

"Duduk di sana. Udah saatnya kamu konsultasi padaku lagi."

Ana menurut. Ia duduk di salah satu kursi model bar yang ada di sana. Dokter Ratna mengambil dua gelas air putih. Ia meletakkan di meja depan Ana dan duduk tepat berhadapan dengannya.

"Jadi orientasimu pada hubungan berubah ya?" Dokter Ratna membuka percakapan tanpa basa-basi.

Ana mengerling. "Bagaimana bisa anda mengatakan berubah? Saya bahkan tidak pernah memulainya," jawabnya dengan bahasa formal.

Dokter Ratna terdiam. Benar juga, anak ini tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun kecuali sang Tante dan juga dokter yang merawatnya. Selebihnya, ia menganggap itu hanya sekedar kenalan. Entah lelaki ataupun perempuan.

"Kamu bilang setelah bertemu dengannya, kamu selalu memimpikan hal buruk. Tapi kenapa kamu mau terlibat dengannya?"

Ana terdiam. Ia juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Memang benar, ia sering memimpikan kejadian itu. Bahkan saat Julia menginap di tempatnya semalam.

"Aku tidak tahu," jawabnya pasrah.

Dokter Ratna mengernyitkan dahi ketika menyadari ada kantung hitam di mata Ana. "Kamu tidak tidur semalaman?"

Ana mengangguk lemah. Sebenarnya tubuhnya sudah sangat lelah. Dan sebagai informasi, dia belum pulang ke apartemen sama sekali. Apa yang ia katakan pada Julia adalah sebuah kebohongan. Ia memang sengaja datang ke tempat Dokter Ratna untuk bermalam di sini, sebagai antisipasi jika Julia masih berada di asramanya.

"Ya sudah. Tidurlah dulu. Besok pagi kita bicarakan ini lagi."

Ana masuk ke salah satu kamar yang berhadapan dengan kamar dokter Ratna. Ia menutup pintu kamar itu dan keheningan pun terjadi.

Dari mini bar apartemen itu, Dokter Ratna menatap kamar Ana yang tertutup rapat. Ia tahu, menyembuhkan pasien yang memiliki antisosial tinggi seperti Ana begitu sulit. Tapi, Ana tidak keberatan dengan kehadiran Julia yang sudah jelas kini mengganggu hidupnya.

Dokter Ratna nampak gelisah dengan pemikirannya. Di satu sisi, ia khawair dengan keadaan Ana yang terus berjuang melawan mimpi buruknya ketika berada di dekat Julia, namun di sisi lain, ia dapat melihat sisi Ana yang baru ketika ada Julia di sampingnya. Ana yang tidak peduli pada orang lain, sepertinya mulai membuka dirinya pada orang lain. Bahkan ia ma merawat orang itu dengan tangannya sendiri. Seberapa spesialkan Julia di hati Ana sekarang?

***

"Insommu semakin parah. Kamu sungguh baik-baik saja jika dekat dengannya?"

Dokter Ratna berbicara sembari menyiapkan menu sarapan untuk Ana. Gadis itu terlihat sibuk dengan laptop yang ia taruh di meja makan.

"Jika aku baik-baik saja, aku tidak akan datang ke sini kan, Dok?"

Wanita berusia 27 tahunan itu tersenyum kecil sembari meletakkan mangkuk sup merah di depan Ana. Ia menarik kursi dan duduk menghadap ke Ana. Memandang lekat gadis itu.

"Aku sebenarnya bisa memeberikanmu obat dosis yang lebih, tapi sampai kapan kamu akan bergantung pada itu? Aku juga ingin menyembuhkanmu."

Ana mematikan laptopnya. Pandangannya tertuju pada sup merah. Ia mengaduk itu, membiarkan asap putih mengepul menyapu permukaan wajahnya. "Apakah tidak ada solusi lain?"

"Melawannya."

"...."

Doktee Ratna menghentikan aktivitasnya. Ia melihat ke wajah Ana dengan tatapan serius.

"Selama ini aku salah dengan memanjakanmu. Seharusnya aku memintamu melawan rasa cemas itu sejak awal. Kamu masih takut untuk berinteraksi dengan laki-laki?"

"Aku hanya malas jika harus berinteraksi dengan mereka."

"Kalau dengan wanita?"

"Aku bisa menerimanya. Hanya saja tidak untuk menjadi temanku."

Wanita itu membenarkan posisi bandarnya yang miring. Ia juga menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Pekerjaan ini sungguh tidak mudah, terlebih dengan sifat keras kepala Ana.

"Bukankah aku sudah bilang untuk mulai membuka diri untuk pertemanan?"

"Tapi pertemanan itu sungguh merepotkan. Hatiku jadi lemah."

"Hati manusia memang harus lemah jika berhubungan dengan manusia lain. Karena kita manusia."

"Aku tidak ingin ada yang melukaiku seperti mereka melukai ibuku."

"Tidak semua orang itu jahat. Ada mereka yang baik. Seharusnya kamu coba menerima dirinya, minimal yang sama jenisnya dengan kamu. Membiasakan seorang perempuan menjadi temanmu?"

"Aku memilikinya, satu. Dia satu kelas denganku. Dia selalu mendekatiku dan sangat cerewet."

"Tapi dia juga peduli padamu kan?"

"Entahlah. Aku tidak pernah berada dalam masalah apapun."

"Kamu menyukainya?"

"Dokter tahu siapa yang aku sukai!" Ana memandang sinis dokter Ratna. Ia terlihat sangat jengkel. Sedangkan dokter Ratna terkekeh pelan.

"Sudah beneran jatuh hati dengan gadis imut dari fakultas farmasi ternyata...." Ia mengambil jeda sebentar untuk minum. Lalu matanya mengawasi Ana lagi. "Siapa wanita lain yang mengejarmu selain Julia?"

"Namanya Cecil. Dia ketua di fanclub-ku."

"Dia memanfaatkanmu?"

"Aku tidak masalah jika itu tidak menganggu. Aku menegurnya saat itu mengangguku."

Dokter Ratna menggelengkan kepalanya."Ana, kamu itu perempuan. Tapi kenapa hatimu seperti laki-laki?"

Ana menatap sinis dokter pribadinya itu. "Kenapa pembicaraan ini semakin melantur? Anda kan saat ini sedang bertindak seolah menjadi dokter saya?"

Dokter Ratna memukul kepala Ana pelan. "Bukan seolah, tapi aku memang doktermu, anak nakal!"

Ana meringis kesakitan. Ia mengusap kepalanya itu perlahan dan menatap tajam ke arah Dokter Ratna.

Dokter Ratna melanjutkan makannya dengan nikmat, begitupula Ana. Seolah diantara mereka tidak ada pembicaraan serius. Padahal, jika dilihat lebih dalam lagi, wajah kedua orang itu sangat ketat, nampak memikirkan sesuatu.

"Saranku sebagai doktermu, terima mereka yang hadir di kehidupanmu. Jangan menolaknya, dan jangan bersikap kasar padanya."

"Aku tidak pernah melakukannya."

"Kamu memang tidak menggunakan fisik, tapi mulutmu itu tajamnya sama seperti pisau. Perkataanmu bisa melukai mereka."

"...."

"Kamu juga pasti lihat kan bagaimana canggungnya Julia ketika berbicara denganku? Itu pasti karena sebelumnya kalian berdebat di luar dan aku yakin kamu pasti mengatakan hal-hal yang menyakitkan padanya."

"..."

"Ana, belajarlah lebih lembut pada orang lain, khusunya pada mereka yang ada di sekitarmu, sebelum kamu kehilangan mereka di hidupmu. Kamu harus melawan rasa cemas untuk berinteraksi dengan orang lain."

"..."

"Ingatlah, tidak semua manusia itu jahat."

***