Inge melemparkan tubuhnya di lantai. Butiran keringat yang bagaikan biji jagung itu memenuhi wajahnya. Nafasnya tersengal. Bahkan ia harus memejamkan mata ketika merasakan ribuan kunang-kunang berputar di depannya.
Di sisi lain, Ana memandang lawannya itu dengan ekspresi sulit diartikan. Wajahnya berbanding terbaik dengan Inge. Tak sedikitpun Ana merasa kelelahan setelah bertarung melawan Inge. Malahan, ia terlihat puas dan juga bahagia. Tubuhnya juga lebih segar.
"Ana, apa kamu yakin yang tadi itu hanya pemanasan? Kenapa aku merasa kamu sungguh ingin menyerangku?"
"Jangan overthinking, Kak."
"Sungguh? Tapi sepertinya tidak begitu," lirih Inge.
"Terima kasih sudah menemaniku pemanasan, Kak. Oh ya, hari ini aku tidak bisa melatih karena ada urusan."
Ana melenggang keluar gedung. Sedangkan Inge masih terbaring tak berdaya di lantai. Tenaganya sudah habis, meskipun hanya untuk duduk. Ia terus bergumam, apa yang Ana lakukan sebenarnya. Ada apa dengan gadis blesteran itu?
***
Ibarat cacing kepanasan, Julia terus bergerak ke sana kemari dengan hati gusar. Otaknya terus berpikir. Bahkan makanan yang hendak ia nikmati itu, terpaksa ia abaikan. Hanya karena sepucuk notes yang tak diketahui untuk siapa.
Wanita ini, penuh dengan misteri. Penuh dengan teka-teki. Apa gunanya menulis sebuah notes jika tidak memberitahu pada siapa itu ditujukan.
Julia mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan. Di hatinya terasa begitu gelisah. Entahlah apa yang dia pikirkan. Sakit hatikah? Kecewakah? Bahagiakah? Atau apa?
Ia mengambil ponselnya. Mengacak nomor seseorang yang mungkin saja bisa membantunya mencari informasi. Tapi siapa? Temannya? Temannya yang mana? Ia bahkan sempat bersitegang dengan Desi.
Haruskah ia menelpon Gian? Akankah Gian membantunya? Apakah Gian mengetahui masalahnya dengan Desi?
Tapi, ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Ana. Sebelum ia terjebak pada penyesalan yang menyakitkan.
Julia menghela nafasnya. Akhirnya, ia memberanikan diri menekan tombol hijau pada kontak Gian. Setelah Nada sambung beberapa detik, panggilan itu terjawab.
Julia : Gian, kamu dimana?
Gian : Yang pasti tidak di tempat yang sama denganmu.
Julia : Gian, aku tidak bercanda! Kamu di mana sekarang? Apa kamu bersama dengan Desi?
Gian : Jika kamu mencari Desi, seharusnya menelponnya. Bukan menelponku!
Julia : Jawab aja sih...
Gian : Enggak. Dia sedang makan dengan pacarnya. Kenapa?
Julia : Apa dia mengatakan sesuatu tentangku?
Gian : Tentang apa? Yang kamu berbohong itu?
Julia : (Mengerang kesal) Giiaaan..
Gian : Hahahahaha. Lagipula kamu sedang di mana sih?
Julia : Tidak penting aku di mana sekarang. Aku menelponku karena perlu bantuan.
Gian : Bantuan apa?
Julia : Apa kamu tahu pacar Ana?
Gian : Pacar? Bahkan gadis itu tidak dekat dengan siapapun, kecuali...
Julia : Kecuali??
Gian : Gadis yang pernah bertengkar denganmu waktu itu.
Julia : Siapa? Yang bertengkar denganku tidak hanya satu orang!
Gian : Hahahahaha.... maaf, aku lupa jika kamu sering bertengkar dengan gadis lain.
Julia : Giaaan...
Gian : Hahahahaha... Baiklah... Kamu ingat gadis berwajah imut yang memakai kacamata super besar?
Julia : Oh, yang kacamatanya seperti kuda itu ya? Yang mengikuti kemanapun Ana pergi...
Gian : Iya, benar gadis itu. Dia dekat dengan Ana...
Julia : Apa mereka berpacaran?
Gian : Tidak.
Julia : Lalu?
Gian : Sekarang tidak. Tidak tahu nanti...
Julia : Gak usah sok jadi Dilan deh! (FYI: Dilan yang dimaksud adalah Dilan 1990)
Gian : Hahahaha... Tapi memang kenyataannya begitu...
Julia : Jadi mereka tidak ada hubungan?
Gian : Iya, Julia cantik...
Julia : Terima kasih untuk pujiannya. Telpon kututup sekarang. Bye!
Julia langsung menyentuh tombol merah pada layarnya. Ia melihat ke arah ponsel, lalu ke notes itu.
"Jadi dia tidak punya pacar? Lalu notes ini untuk siapa?" gumam Julia dengan wajah kebingungan.
"Karena godain cowok yang disukai banyak orang, aku dapat gelar jalang. Terus kalo aku godain cewek yang banyak penggemarnya, kira-kira dapat gelar apa ya?"
***
Julia melenggang dengan wajah imutnya di koridor fakultasnya. Luka di wajahnya ia tutup dengan menggunakan concealer. Sedangkan luka di tangan dan di kaki ia tutup dengan pakaian berlengan panjang juga rok yang panjang. Penampilannya sekarang sungguh berbanding terbalik dengan penampilannya pada hari-hari sebelumnya.
Netizen adalah sekumpulan orang yang sangat peduli dengan kehidupan orang lain. Jika mereka menyukai orang itu, seperti apapun penampilannya, ia akan tetap memuji. Begitupula mereka yang menjadi haters, seperti apapun penampilan orang itu, mereka akan tetap menghujat.
Selain pujian yang didengar Julia, tak jarang juga ia mendengar kalimat cemoohan dari sekumpulan gadis yang membencinya. Memang apa salahnya ia memakai pakaian tertutup? Itu adalah hak setiap orang untuk memakai pakaian yang membuatnya nyaman.
"Julia!" panggil seseorang dari belakangnya. Ia menoleh, ternyata orang itu Gian.
Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut panjang bergelombang itu berlari kecil menghampirinya. Ia berdiri di dekat Julia dengan tatapan mata penuh selidik.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Kamu dari mana dan mau kemana?"
"Aku? Tentu saja dari apartemen dan mau ke kampus."
"Buat apa? Perkuliahan kita hari ini sudah selesai. Ini juga sudah sore."
"Aku ingin meminjam buku di perpustakaan."
"Tapi arah perpustakaan kita ke sana. Sedangkan arahmu itu menuju ke fakultas kedokteran." Gian menunjuk pada sisi yang berlawanan dengan Julia melangkah sekarang.
Julia membulatkan matanya. "A-aku akan meminjam buku dari perpustakaan di fakultas ke dokteran," jawabnya tergagap.
Gian semakin memicingkan matanya, terlebih melihat gelagat aneh sang sahabat. "Benarkah?"
"Te-tentu saja! Sudah ya. Aku pergi."
Julia bergegas melanjutkan langkahnya, namun kembali terhenti setelah tangan Gian menahannya. "Tunggu! Aku ikut denganmu!"
Julia menoleh dengan wajah kaget. "Aku juga akan meminjam buku di sana," jelas Gian.
Julia menghela nafasnya. Ia bergerak lagi, diikuti Gian di sampingnya. Tak banyak yang mereka bicarakan. Hanya Gian yang menceritakan tentang perkuliahan hari ini, meskipun perkataannya pun tak di pedulikan oleh gadis seperti Julia.
Namun langkah mereka terhenti saat melihat objek menarik di depannya.
"Wuah! Jadi hubungan mereka sudah sedekat itu ya," komentar Gian dengan wajah tidak percaya. Ia menoleh pada Julia yang terdiam.
"Bukankah kamu sedang mendekatinya? Seharusnya kamu tahu bagaimana hubungan mereka. Tapi kenapa kamu terlihat sangat kaget dengan sikap mereka?"
Julia tak menggubris perkataan sahabatnya itu. Ia menatap lekat kejadian yang seharusnya tak ia lihat jika ia tak ke kampus. Kejadian yang menjawab pertanyaannya tadi pagi, bahkan sampai melewatkan jadwal makan. Kejadian yang akhirnya ia lihat, sekalipun tubuhnya sedang terluka.
Kejadian itu adalah kejadian Ana menghapus air mata Cecil yang menunduk.
Kini Julia tahu, gadis yang dimaksud Ana dalam notes itu... Cecil. Gadis imut yang selalu menemani Ana kemanapun ia pergi.
"Julia, ada apa dengan ekspresimu itu? Apa kamu sungguh menyukai Ana?"
***