"Apa alasanmu ingin bergabung dengan UKM Taekwondo ini?" tanya Ana dengan manik yang terus mengikat manik hitam Julia.
"Alasan saya adalah karena Ana. Saya ingin bisa seperti ini Ana yang selalu melindungi saya dari serangan orang lain."
Kalimat demi kalimat yang diucapkan Julia itu berhasil membuat semua orang terdiam membisu. Mereka menatap kedua orang itu dengan sorot yang sulit untuk diartikan.
"Bodoh!"
Joe yang mendengar kalimat Ana, langsung mendekat pada wanita itu. Ia tahu pasti bahwa wanita itu memiliki bibir yang tajam. Namun, ia tidak mengira bahwa ia juga menggunakan ketajaman bibirnya untuk seorang wanita lembut seperti Julia.
"Ana?"
Ana tidak memalingkan matanya sedkitpun dari Julia. Ia terus menatapnya lekat. Mengabaikan suara Joe sebagai ketua UKM.
"Saya mem-blacklist Julia dari UKM ini," ucap Ana yang membuat semua orang di sana kaget.
"Ana, apa maksud kamu? Kita bahkan belum memberinya sebuah test," sahut Joe keheranan.
"Aku sudah melakukan tes padanya. Dengan kecepatanku berlari, dalam satu putaran dia sudah pingsan."
Ana melihat Julia yang wajahnya tiba-tiba memucat. "Yang dibutuhkan seseorang dalam berlatih taekwondo adalah kekuatan fisik. Bagaimana kamu bisa gabung di sini jika kamu tidak memiliki itu?"
Ana memalingkan wajahnya pada Joe. "Apa kakak yakin untuk menerima dia? Sedangkan aku sendiri sudah mengetesnya dan sangat tahu batas kemampuannya. Jika kakak mengizinkan dia berlatih di sini itu sama saja kakak membiarkan dia menghancurkan reputasi UKM ini. Lalu apa gunanya kita mengadakan seleksi tadi? Aku yakin beberapa orang di sini akan meloloskannya dengan mudah."
Mata Julia memerah, menampilkan serpihan-serpihan kaca berupa air yang siap terjun dari sana. Kalimat Ana sungguh belati tajam untuknya. Bagaimana bisa seorang wanita melukai wanita lain seperti itu? Mempermalukannya di depan umum?
Julia tidak sanggup berada di sana lebih lama lagi. Hatinya terlalu sakit mendengar pernyataan Ana yang merendahkannya. Harga dirinya sudah hancur di bawah wanita itu. Ia berlenggak meninggalkan ruang UKM Taekwondo dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya.
***
"Ana, aku pikir kamu sangat menyukai Julia hingga membelanya seperti itu di depanku? Tapi sepertinya kamu membenci jalang itu lebih dalam dariku. Bahkan kamu tidak memberinya kesempatan untuk mengikuti tes," cela Inge sambil berkemas.
Ana yang baru selesai membereskan badannya hanya menatap Inge sekilas. Kemudian ia melangkah pergi. Inge memandang kepergian Ana dengan senyuman tipis.
Di luar ruangan, Ana berjalan menyusuri lorong yang mulai gelap. Penerangan terjadi hanya pada beberapa ruang yang masih menyala lampunya serta lampu lorong yang masing2 berjarak 5 meter dengan tingkat kecerahan yang redup.
Tiba di taman kompleks UKM dia mendengar suara tangis seorang wanita. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya berdiri dan perasaaan was-was itu hadir menghampirinya. Ia berjalan penuh waspada. Matanya menatap tajam setiap hal yang ada di sekitar.
Langkahnya terhenti tak kala ia melihat gadis yang tadi dimakinya terduduk lemah di lantai. Ana mempercepat langkahnya. Ia menghampiri Julia yang sesenggukan dengan wajah tertutup diantara kaki.
"Julia?"
Gadis itu perlahan mengangkat wajahnya. Di sana sudah penuh dengan air mata. Lebam di beberapa tempat, serta darah yang mengalir dari bagian pelipis. Tidak hanya wajah, rambut dan pakaiannya pun juga sangat berantakan. Pandangannya pun juga kosong.
Ana terlihat begitu kaget. Ia merengkuh tubuh kecil itu. Menghapus air mata di wajah Julia.
"Julia, apa yang terjadi?" tanyanya lembut.
"Bukankah ini yang kamu mau? Melihatku tak berdaya ketika di serang orang!"
Hati Ana teriris mendengar ucapan Julia yang penuh kekecewaan. Sungguh bukan ini yang Ana harapkan. Andai dia tahu apa yang sebenarnya.
Ana memeluk Julia. Meskipun gadis itu memberontak, ia tetap berusaha memeluknya. "Maafkan aku... Maafkan aku..." Hanya kata itulah yang terdengar lirih di telinga Julia.
***
Ana membuka pintu kamarnya. Ia melangkah masuk dan segera menekan tombol saklar yang ada di dekat sana. Selanjutnya ia menaruh barang-barang pribadinya sesuai tempat yang sudah ia susun. Ketika ia merasa ada yang janggal, ia segera menoleh ke arah pintu. Benar, Julia masih tertegun di sana. Wajah polosnya yang dipenuhi luka berhasil membuat membuat Ana menggariskan senyum di wajahnya. Namun, segera ia menepis itu da mengalihkan pandangan.
"Kamu ingin jadi penjaga pintu?"
"Ha?"
"Masuk!"
Perlahan, Julia melenggak masuk ruangan. Ia melepas sepatunya dan menaruh di rak sepatu. Selanjutnya, ia hanya berdiri di sana, memperhatikan isi kamar juga kebiasaan yang dilakukan Ana.
Kamar ini terlihat sederhana dengan ornamen abu-abu putih. Di dinding atas meja belajarnya ada papan berisi sticky notes. Di sekitar kamar diisi oleh gambar-gambar organ tubuh manusia lengkap dengan oret-oretannya.
"Aku tidak menyangka gadis sepertimu ternyata sangat rapi ketika mendekor ruangan."
Ana mengabaikan pernyataan Julia. Ia mengambil kotak obat di rak susun.
"Duduklah di tempat tidurku."
Julia patuh. Ia duduk di sana, memperhatikan Ana yang sedang sibuk dengan perlengkapannya. Di situ suda ada meja kecil dengan baskom dan handuk mini.
Ana mendekat ke arah Julia dan meletakkan kotak P3K di dekat baskom. Kemudian ia berjongkok di depan Julia. Dilihatnya luka itu dengan teliti.
Julia sempat meringis kesakitan ketika jari Ana tak sengaja menyentuh salah satu bagian yang lebam.
"Ckckck... Wajahmu hancur. Matamu bengkak. Hidungmu juga sepertinya patah," ucap Ana.
Julia seketika melebarkan matanya, namun langsung meringis ketika setetes darah mengalir dari pelipisnya.
Ana terkekeh melihat gadis itu. Ia mengambil air hangat untuk membersihkan luka dan darah.
"Kamu bohong padaku?" selidik Julia dengan ekspresi menahan sakit. Tangan Ana sudah menjelajah wajah Julia untuk membersihkan lukanya.
"Aku hanya bohong ketika bilang kalau hidungmu patah. Hahahaha..."
"Tapi... Apakah wajahku sungguh hancur?"
Ana menghentikan tawanya. Ia memandang mata indah Julia. Mata yang selalu berbinar dalam kondisi apapun, sekalipun sedang penuh air mata.
"Kamu mempedulikan penampilan?"
Tangan Ana masih bergerak aktif mengobati luka-luka d wajah Julia. Matanya juga sangat tajam memperhatikan setiap luka yang disentuhnya dengan sesekali memperhatikan gerakan mata Ana.
"Bukankah setiap gadis memperhatika.n penampilan mereka untuk memperhatikan lawan jenis? Kamu juga memperhatikan penampilanmu kan? Kulihat wajahmu sangat bersih dan juga mulus.... Ah...ah..." Julia meringis kesakitan ketika Ana menyentuh salah satu lukanya dengan sangat kuat.
"Ana, kamu sengaja menyakitiku?"
"Tidak."
Ana memasangkan plester pada bagian pelipis dan menambahkan salep pada bagian pipi yang memar.
"Aku cantik sejak lahir. Tidak perlu menjaga penampilan seperti kalian. Cantik karena make up saja bangga," cemooh Ana dengan senyuman mautnya. Untuk beberapa saat, gadis itu tertegun, namun ia segera menyadarkan pikirannya.
"Kamu tidurlah di sini. Aku harus pergi sekarang." Ana mengemas perlengkapannya dan meletakkan pada meja.
"Kamu akan pergi ke mana?" Julia memperhatikan Ana yang mengambil jaket kulit dan ponselnya.
"Mengambil mobilmu di kampus."
"Tapi ini sudah malam, lagipula dari fakultas ke sini-"
"Hanya berjarak 500 meter. Aku akan segera kembali. Mana kuncimu?"
Julia memberikan kuncinya.
"Kamu mengambil mobil dengan siapa? Naik apa?"
"Jalan kaki seorang diri."
Julia kaget. Ada rasa cemas di hatinya. Wajahnya juga menggariskan semburat kecemasan yang sama.
"Tapi, Ana...."
"Kamu tidak lupa kan aku siapa?"
"Pelatih Taekwondo."
Ana tersenyum. "Tidurlah di sini. Jangan menungguku pulang." Ia melenggang meninggalkan Julia.
"Ana!" Ana segera menghentikan langkah dan menoleh padanya.
"Terima kasih." Julia tersenyum. Matanya menampilkan ketulusan.
Untuk sesaat Ana tertegun, namun ia juga tersenyum dan mengangguk singkat sebelum akhirnya meninggalkan Julia seorang diri di kamar.
***