Chereads / VIRA MORENO / Chapter 35 - 35-

Chapter 35 - 35-

MEREKA segera berpamitan setelah pulang. Beberapa spekulasi memenuhi pikiran Lavi yang mulai runyam. Ketakutannya satu persatu muncul.

Setelah mereka berpamitan, Lavi mati-matian menahan tangisnya dan menghalau beberapa tetes air mata yang mulai jatuh tak tahu tempat.

"Kita mau kemana lagi?" Tanya Irene.

Lavi menoleh, "Terserah Mommy, Lavi nurut aja," ujarnya sembari menenteng beberapa roti yang sebelumnya mereka beli.

Mall yang berada di pusat kota, dengan 4 Lantai dengan beberapa lantai berisi stan khusus yang dibagi, membuat Lavi lelah karena sedari tadi harus menuruni Lantai dan berjalan lebih jauh menuju parkiran mobil setempat.

Irene yang peka saat melihat wajah lelah putri nya sedikit panik dan segera menelpon supir pribadinya agar menyediakan mobil lebih cepat.

Siang terik begini membuat kepala mudah pusing, apalagi jika mobil terparkir di depan mall membuat Lavi lagi-lagi menghela nafas berat.

'Pasti panas banget di dalam.' batinnya

Mereka mencapai pintu mall depan, sebelum suara nyaring dari atensi yang melambai membuat pergerakan Irene dan Lavi terhenti.

Irene mengerutkan dahinya saat dirasa samar mengenal wanita yang tergesa menemui dirinya, "hoshh.. ah emh.. Selamat siang Bu." Sapa nya dengan sedikit terengah kemudian dengan gerakan panik segera memberi hormat.

Ternyata itu adalah sekertaris cantik milik perusahaan Gardapati, salah satu pesaing mereka yang berjalan di bidang kain dan tekstil lainnya.

"iya? ada apa?" Irene sedikit bingung dengan kedatangan sekertaris milik perusahaan Gardapati ini.

"Saya dan bapak tadi dari pintu arah mall yang berbeda, bapak sama saya lihat ibu sama anak ibu keluar dari sini. Bapak bilang dia mau ngajak makan siang sebentar sekaligus ngobrol." Ucap nya setengah gagap dengan wajah memerah

Irene mengerutkan dahi. Kenapa permintaan nya terkesan tidak sopan? apalagi pengucapan gadis didepannya ini yang sedikit kurang tepat dan terkesan kaku, sekaligus bahasa baku yang digunakan kurang dalam dan terkesan berbicara dengan satu angkatan.

Irene sedikit tersinggung, pikirannya sedikit melayang. Kemudian, ia mendengus dan sedikit memperbaiki tali selempang kulit miliknya, "Maaf, kami ga bisa ikut. Saya dan Lavi harus pergi, nanti suami saya marah karena tidak pulang ke rumah dalam waktu yang tepat." Irene berucap dengan intonasi dingin.

Kemudian mengangkat dagu angkuh sembari memakai kacamata besarnya, tangan putih nya terangkat ke atas, sedikit menghalau matahari dan mengipas lehernya dengan gerakan lamban. kemudian ia segera melangkah dengan anggun.

sekertaris cantik itu terpanah melihat tingkah laku Irene yang sangat mencerminkan feminisme. Kemudian pandangan nya beralih ke arah Lavi yang terlihat sangat modis seperti ibunya.

"Daebak !! Mereka sangat menganggumkan dan Fantastis, Irene.. anda panutan saya !!" Sekertaris itu sedikit berteriak heboh dengan semangat membara.

Bak menemukan sebuah berlian, ia sedikit berteriak girang dengan ekor mata mengikuti ibu dan anak itu yang mulai menghilang dari pandangan, "Bener-bener panutan yang hebat !" ia berbisik dengan mata mengeluarkan kobaran api semangatnya.

Segera ia terkesiap kala ponselnya berdering, dengan cepat membuka tas kecil dan mengangkat telepon dari sang bos. Meneguk ludah kaku ia menatap sekitar dengan nanar.

'Duh, alamat mati kalo gini.' batinnya sembari melihat ke arah ponsel di tangannya.

_________

Tria panik saat melihat dua batang coklat sebagai penghias nya patah karena dirinya yang tak sengaja menekan coklat dengan sedikit keras.

"ASTAGA !! PATAH !!" Tria berseru panik.

Ia segera menelpon kekasihnya untuk segera membeli dua batang coklat lebar untuk menutupi batangan coklat yang telah patah dibuatnya.

"Cepetan !! jangan telat !!" Tria panik kala pesan teks dari ibunya terpampang.

Mereka tengah makan siang di alun-alun kota. Arya yang tengah tertidur siang sembari menikmati hidup, segera terlonjak kala ponsel pintarnya berdering. Kemudian, terdengar suara nyaring dari kekasihnya.

Hampir mengumpat jikalau bukan kekasihnya yang menggangu tidur tenang nya di siang terik ini, "Iya-iya sayang. sabar ya"

_________

Tria semakin panik, ia mengumpat berkali-kali kala ekor matanya belum menangkap kehadiran arka untuk membawa beberapa coklat batangan yang baru untuk melengkapi patahan kecil di samping kue coklat besar yang ia beli.

"Aduh !! gimana ini." Tria berujar panik sembari menggigit kuku gemas

Rish yang tak sengaja lewat ke arah dapur yang terlihat ramai, mengerutkan dahi dan sedikit mengintip di sela dapur. Terlihat pelayan mereka tengah sibuk menyiapkan potongan kue coklat yang besar.

Rish membuka dapur, dan melangkah dengan angkuh. Aura dominan nya menjadi pertanda jikalau beberapa pesuruh harus sedikit mengundurkan diri.

"Kenapa ini?" Suara bass Rish mengalun merdu.

"eh? Daddy !!" Tria menghamburkan diri ke arah sang ayah, memeluk dalam dan menghirup aroma maskulin milik Daddy nya.

"Kenapa sayang?" Rish mengusap lembut rambut milik putri nya.

Rish semakin heran kala Tria tak kunjung mengangkat kepalanya, "hey ? kenapa kamu.." Pertanyaan nya menggantung kala ia mendengar isakan kecil dibahu kiri nya.

"h-hiks.. Daddy." Suara Tria terdengar, sedikit samar karena ia mengubur dalam kepalanya dalam-dalam.

"kenapa hm?" Tria semakin merasa bersalah kala melihat perhatian ayahnya yang sangat hangat kepadanya. Lain halnya pada Lavi, mereka sangat mengacuhkan anak itu.

Hanya Irene lah yang sedikit mempunyai hati lembut kepada anak itu. Rasanya, ia merasa gagal menjadi seorang kakak. Ingin rasanya ia memutar ulang waktu dimana ia dan Lavi masih kecil dan bisa meluangkan waktu bersama.

Hening sejenak, atmosfer ruangan mendadak gelap dan sepi. Waktu terasa berhenti, kedua ayah dan anak itu masing-masing menyelami pikiran mereka. Jaket yang dipakai oleh Tria pun melambai di belai lembut angin yang berhembus kencang.

Seperti tahu jika sekarang adalah saat dimana seorang kakak yang memilki seorang saudara, menyia-nyiakan kesempatan untuk menjalin suatu ikatan layaknya seorang saudara.

Tirai putih itu menyapu lantai, sedikit terbang kala jendela besar di ruang dapur yang besar itu tertiup angin, dapat dilihat awan yang sedikit mendung dan menandakan bahwa hujan siap membasahi bumi.

"hiks... Tria salah Daddy.. ini salah Tria"

Rish masih setia mengusap lembut punggung anak tertuanya, ia mengerti. Sedari tadi ia melirik sebuah kue pengantin yang dibeli oleh Tria dan bertuliskan nama besar di atasnya.

LAVI, nama indah anak bungsunya terpajang apik di atas kue indah itu. Kue besar pengantin yang dibeli Tria membuat Rish sedikit menangkap maksud anak pertamanya.

Benar, kue pengantin. Ternyata, kue besar dengan dua tingkat itu adalah kue pengantin. Tria tak tahu jika kue yang ia pesan adalah golongan kue pengantin, tapi persetan. Tria bahkan rela membeli apa saja di dunia ini agar ia dan Lavi dapat menjalin suatu hubungan darah layaknya saudara diluar sana.

Rish mengela nafas sejenak, ia mengecup kening anak tertua nya dengan lembut, memejamkan mata dan meresapi beberapa menit suasana yang mulai gelap.

Lambat laun ia mulai sadar akan dirinya yang sekarang, bukan layaknya seorang ayah yang sebenarnya, ia bahkan tak bisa mencurahkan kasih sayang pada anak bungsunya.

Tria mendongak, "Hiks.. Daddy?" suara parau nya terdengar, mata sembab dan bulir bening air mata terlihat membasahi pipi tirus nya. Rish dengan perhatian mengusap lelehan air mata itu dengan sayang.

Bukannya berhenti Tria semakin menangis kencang, perlahan menurunkan tangan sang ayah dan menepis dengan pelan, "Kenapa?" Tanya nya heran.

Rish bertanya heran, "Bukan hiks.. bukan Tria Daddy, harus nya yang Daddy gituin bukan Tria.. hiks.. harusnya Lavi. Harusnya adek yang digituin Daddy,"

Kata-kata menohok tersebut diucapkan Tria dengan suara parau dan sedikit sesegukan, Rish terpaku dan terdiam. Ia bahkan tidak bisa membalas perkataan sang anak di depannya.

Adik, kapan anak itu terakhir memanggil Lavi adik? bahkan ia pun tak ingat kapan ia terakhir memanggil Lavi dengan embel-embel 'nak' dan semacamnya.

"Hiks.. maafin aku"

________

-TBC-

#alv