MALAM menyapa meninggalkan kemilau cerah yang menyinari dunia, menggantikan posisi semua cahaya menjadi gulita yang memadamkan sinar mentari. Saat yang tepat untuk semua makhluk hidup mengistirahatkan tubuh dari hari yang berat.
Di dalam kamar yang luas, terdapat Irene yang tengah menyisir Surai indah nya. Di samping kamar itu tirai indah terbuka, di depannya terdapat beberapa kursi yang menghiasi halaman depan kamarnya. Balkon kamar Irene dan Rish terlihat elegan dengan tambahan Sofa abu-abu dengan hiasan lampu berwarna kuning.
Kamar sepi itu dihiasi sapuan tirai putih yang menyapa mata. Dengan paduan cahaya remang, menambahkan kesan panas yang kentara.
Lampu temaram berwarna merah berpijar terang memenuhi ruangan itu. Aroma maskulin di campur aroma laut menambah kesan Romantis yang panas, Irene mematikan lampu di samping nakas dan menghidupkan pendingin ruangan.
Angin dingin yang menerpa tubuhnya membuatnya bergidik pelan, Lingerie putih yang membalut tubuh indahnya sedikit bergoyang samar diterpa angin. Ia segera beranjak pelan menuju Tirai balkon yang sedari tadi melambai keras di terpa angin, menutup dengan pelan jendela kaca pembatas antara balkon dan kamarnya.
Mata indah nya menatap kosong ke arah depan, pemandangan yang sangat indah menyambut dirinya. Iris matanya tak henti-hentinya memandang lurus ke atas sana, dimana langit dibalut awan dan berselimut gulita membuat dirinya merasa lebih nyaman.
Sedari kecil, Irene sangat mencintai bintang dan semacamnya. Kecil bersinar, jauh dan tak digapai. Tetapi, mampu membawa kebahagiaan hanya karena melihatnya. Bintangnya adalah Lavi. Kecil bersinar, jauh dan tak dapat digapai dirinya tetapi membawa kebahagiaan ketika ia menatap mata kecilnya.
Lavi nya bagai bintang yang tak mampu ia gapai, gadis mungil itu terlalu jauh untuk ia genggam. Begitu rapuh dan sangat bersinar. Kadang, sinar bintang yang berpijar sedikit redup, seperti gadis kecil nya. Sinar Lavi akan meredup jika dirinya merasa sedih.
Irene tak suka itu, ia tak suka bintang kecilnya redup walau sedikit. ia ingin bintang kecilnya selalu berpijar terang, menyinari keluarganya dengan seluruh tingkah, perilaku, tawa, dan senyum ceria miliknya.
Bahkan, ia pun tak bisa menghidupkan kembali pijaran terang dari bintang kecil nya. Terlanjur sangat redup dan hampir mati.
Obsidian Irene terlihat berlinang, ia hampir gagal menghidupkan kembali sinar bintang kecilnya. Matanya dipenuhi pantulan bintang yang ia tatap dengan seksama, kilatan cahaya terlihat karena air mata yang hampir membuat pandangan buram dan kabur.
Di tengah rintikan hujan yang mulai turun, Irene menghempas kedua tirai putih itu dengan cepat. Gerakan cantik dimana ia berada di posisi tengah dengan kedua kain yang ia tutup dengan cepat. Bagai dimakan waktu, saat kedua tirai ditutup. Maka, semuanya menjadi gelap.
'Aku harap, dapat menghidupkan kembali bintang itu.'
Irene menghela nafas, Ia mendudukkan diri di sisi ranjang dan mulai mengambil ponsel pintarnya. Menunggu dengan sabar, suaminya yang akan pulang dengan cepat.
Gemuruh suara petir tak membuat Irene ketakutan, ia sedari telah dimakan oleh ruang dan waktu. mata nya menatap kosong dengan dibalut suara tetesan air dibalik kamar mandi yang terbuka.
________________
Rish sedari tadi tak henti-hentinya membaca beberapa berkas yang berada di tangannya. Tugas nya telah selesai, ia hanya merevisi beberapa berkas yang menurut nya kurang ataupun perlu di tambahkan.
Disamping meja berwarna hitam metalik, terdapat foro Irene yang terpajang. Kaca besar yang berada dibalik punggungnya menampilkan pemandangan kota yang mulai gelap dan beberapa lampu yang menghiasi.
Rish duduk dengan angkuh di atas kursi hitam gelap yang terbuat dari bahan textile yang di impor langsung dari turki. Salah satu hadiah dari ayah Richard sebagai tanda terima kasih karena mereka telah mengirim beberapa coklat impor dari Jepang.
Ruangan Rish sangat dijaga ketat oleh penjaga. Beberapa aksitetur rumit didalamnya membuat ruangan itu benar-benar sangat elegan dan berkelas. Warna merah dan hitam membalut ruangan itu, kesan mewah dan misterius membius siapa saja yang melihat.
Rancangan yang di buat oleh Rish karena mendengar Lavi yang berceloteh tentang gambaran ruangan masa depan miliknya. Rish yang saat itu tak sengaja mendengar gadis kecil nya berceloteh sebelum tidur didepan sebuah gambar membuatnya penasaran. Dan ia tak menyangka, bahwa desain yang dibuat Lavi sangat modern dan klasik.
Apalagi dibalut warna elegan serta gabungan antara desain Eropa, Yunani, dan modern. Membuat nya benar-benar terpana, ia tak menyangka bahwa desain yang dibuat oleh putri nya sangat bagus dan indah.
Tria dan Lavi tak pernah menginjakkan kaki ke dalam ruangan milik perusahaan ayah mereka. Rish memajang foto Tria dan Lavi di dinding dengan ukuran sangat besar. Mereka berdua sangat cantik di foto itu. Bahkan, Rish tak menginjinkan sekertaris nya sendiri untuk memasuki ruangan miliknya.
Asap yang mengepul dari kopi disamping nya membuat Rish sedikit mengantuk, "Tuan Waktu nya untuk pulang"
Terdengar suara samar-samar dari pintu didepannya, "Iya sebentar lagi"
"Tuan gamau bareng pulang nya?"
"Gapapa duluan aja"
"Baik tuan"
Rish mendesah pelan, apalagi hari mulai hujan membuatnya kembali menghela nafas panjang. Kemudian, tersengar suara deringan yang berasal dari ponsel nya. Rish segera mengangkat telepon saat melihat nama Irene tertera.
"Hallo?"
'Hallo, kenapa belum pulang?'
Rish segera melihat jam yang membalut tangannya, "Bentar lagi lah, baru jam segini"
'ish, aku udah nunggu loh ini.. dingin' disebrang sana Irene dibalut selimut sedikit menarik tali lingerie seksi miliknya.
"Hm? sebentar lagi ya?"
'Daddy, aku udah kedinginan loh'
Rish paham dengan kode yang diberikan istrinya. Ia hanya sedikit terkekeh dan merapikan dokumen serta berkas ditangannya.
"oke, sekarang aku pulang. tunggu ya, ga lama kok" Balas Rish dengan smirk kecil. kemudian mematikan sambungan sepihak yang dibalas dengusan pelan oleh Irene disebrang.
"Dasar laki-laki"
__________
-TBC-
#alv