Lavi berujar dengan pandangan kaget sekaligus bingung. Richard? Sejak kapan manusia ghosting sepertinya tiba-tiba berada di Indonesia?
"Sejak kapan?.." Pertanyaannya menggantung dengan bisikan pelan.
Richard hanya tersenyum tipis. Perawakan tinggi dengan dada bidang yang terbalut kaos hitam, Jam tangan rolex yang menghias lengan kekar dan berurat nya, hidung mancung, Obsidian amber yang tajam. Sedikit bulu halus dan tipis dibagian dagu dan sepanjang rahang nya.
RICHARD XAVIER, adalah pemuda blasteran Arab-dubai dengan setengah darah Indonesia, pakistan, dan Turki melekat pada dirinya. Tatapan tajam khas orang timur, dengan suara deep bass serta rambut undercut membuat dirinya sangat menjadi incaran para wanita.
Apalagi di mall yang besar ini, banyak nya gadis pribumi yang terlihat mencuri pandang ke arah Rhicard yang tengah menunggu sang ibunda yang tengah memilah beberapa sayur dengan teliti.
"Bentar, aku panggilin Mommy dulu."
"Eh ? Tapi--"
"Gapapa kok Tan, lagian Tante sama mama udah lama ga ketemu, terakhir di taman belakang rumah nenek muda kan?"
Rhicard menyela dengan sopan, nenek muda yang ia maksud adalah mendiang nenek Rachel yang telah lama meninggal. Lavi terlihat tersenyum kecut, ia tak menyangka Rhicard yang selalu ia ejek 'anak babi' karena bentuk badannya yang gempal.
Berubah menjadi seorang pria jantan yang pesona dan tatapan mata panas nya yang tak dapat terbantahkan, ia sedikit lupa akan tiga darah sekaligus yang mengalir didalam tubuh Rhicard.
Lavi menoleh ke arah wanita cantik dengan rambut ikal berwarna coklat tua yang tengah memegang brokoli dan jamur. Ia hampir melupakan, jika ibu Rhicard adalah keturunan murni turki. Sementara ayahnya adalah keturunan Arab dan Pakistan.
"Yauda, biar Tante aja yang nyamperin." Irene segera bergegas dengan bersemangat ke arah ibu Rhicard yang tengah fokus memilih sayuran.
Lavi dan Rhicard kompak melihat dari pandangan jauh, Irene terlihat tersenyum saat menepuk kecil pundak ibu Rhicard. Setelah itu, terdengar pekikan kecil dan mereka terlihat saling berpelukan dengan hebohnya, kedua sahabat lama itu kembali bertemu setelah 4 tahun berpisah.
Rhicard lebih dulu mengalihkan pandangan ke arah Lavi. Seorang gadis muda yang selalu mengejeknya dikala bertemu, tupai kecil yang selalu mengganggunya hingga menangis, mulut kecil yang selalu mengejeknya habis-habisan tanpa peduli ia akan menangis atau akibat lain yang ditimbulkan.
Lavi masih terfokus ke arah kedua ibu yang tengah mengobrol dengan berisik, ia tersenyum kecil. Membuat Rhicard tersentak dengan pandangan lembut, tatapan teduh nya mengunci Lavi.
Tak menyangka jika gadis kecil nakal dengan kuncir dua dan jepitan rambut stoberi khas miliknya, berubah menjadi gadis lembut yang cantik dan natural. Hoodie yang menenggelamkan Lavi membuat Rhicard gemas sendiri.
Jari kecil Lavi sedikit meremas rok berwarna abu-abu miliknya, jepitan rambut stoberi nya dulu, sekarang berubah menjadi peach polos dengan bandul stoberi di ujungnya. Rhicard terkekeh kecil, Lavi tak pernah berubah.
Ia mengamati garis rahang gadis itu yang tegas, hidung kecil dan Bangir nya itu terlihat menonjol, kulit seputih susu dengan aroma bayi menguar dari tubuh Lavi. Surai hitam kecoklatan serta mata coklat dengan bibir pink yang tipis. Membuat Rhicard mengalihkan pandangan dengan rona pipi samar.
Mengapa ia menjadi se-mesum ini? Lavi mengalihkan pandangan ke arah Rhicard yang memalingkan wajahnya. Alis nya bertaut, "Kenapa?"
Ia bertanya dengan nada menggemaskan, Rhicard menoleh dengan cepat, "Huh? ah? gapapa kok." Ia sedikit berdehem gugup dan mengulum senyum dan sedikit menjilat bibir nya yang terasa kering sekarang.
Pandangan Lavi perlahan menatap lekat beberapa camilan didepannya dengan pandangan kosong, sedangkan Rhicard terfokus pada Lavi yang tengah menatap kosong ke depan.
"Dah lama ya ga ketemu... anak babi." Bisikan pelan sarat makna membuat Rhicard tersentak.
Dadanya bergemuruh ribut dengan detakan jantung menjadi satu-satunya yang dapat ia dengar sekarang, Berdehem singkat dengan senyum yang mati-matian ia tahan dan memalingkan wajahnya yang mulai merona samar.
Sial, kenapa reaksinya se-lebay ini? kemana jiwa jantan nya? kenapa ia sangat lemah didepan Lavi?
"Kemana aja? ga ada kabar?" Lavi kembali melanjutkan kata-katanya dengan pandangan tetap fokus ke arah depan dengan tatapan kosong.
Raut nya datar tanpa ekspresi membuat Rhicard sedikit heran. Ia segera ingin menjawab. Tetapi, Lavi segera menyela, "Gimana? Dimana kelinci kecil ku?.." bisiknya dengan suara parau.
Rhicard terdiam, kemudian sedikit menundukkan kepalanya, Hening melanda. sampai ia kembali mendengar bisikan lembut itu, "kangen... dia." Rhicard menoleh dan kembali diam, lebih memilih mendengarkan dengan seksama suara parau tersebut melanjutkan kalimatnya.
"Kemana? bi? kelinci kita kemana? ga kangen sama kita ya?"
Rhicard paham dengan arti yang disampaikan oleh Lavi, pandangan Lavi masih terfokus pada satu tempat tanpa berpindah dengan kedipan pelan. Samar-samar bibir tipisnya di gigit dengan pelan.
Lavi segera menghapus lelehan air mata yang akan turun. Angin dari pendingin ruangan serasa mendukung suasana yang mulai kelam, Waktu terasa terhenti. Rhicard menundukkan kepala dengan rasa penyesalan teramat dalam.
"bukan salah Lavi--"
"Salah ku. Seandainya lebih cepet, seandainya... hiks hiks." Lavi berujar tegas, menyalahkan dirinya dengan tangisan kecil sedikit terdengar.
Ia mendongakkan kepala, menghalau beberapa tetes liquid yang bersiap turun. Lavi berhak menyalahkan dirinya sendiri. Kematian kelinci kecil mereka, adalah akibat ceroboh dirinya.
Sampai sekarang, Lavi tak sanggup menampakkan diri didepan keluarga Rhicard. walaupun mereka tak menyalahkan dirinya untuk kematian putra bungsunya. Tetapi, Lavi menyalahkan dirinya sendiri, ia berhak salah. ia salah. ia harus dihukum. dan semua ini salah dirinya.
"Lavi, stop nyalahin diri sendiri. Ini udah 4 tahun yang lalu, dan semua.. semua bukan salah Lavi." Rhicard berbisik dengan tangan menggapai bahu teman masa kecilnya.
Lavi segera mengelak dan menghindar, "Salah ku. dan akan tetap jadi salahku."
Matanya menatap nanar ibu Rhicard yang tengah mengobrol ringan dengan ibunya. Tawa riang dengan obrolan heboh, membuat Lavi semakin dilanda rasa bersalah. Apalagi saat melihat tatapan setengah kosong yang terdapat di obsidian milik wanita berkepala empat tersebut.
Membuat dirinya benar-benar merasakan penyesalan seumur hidup. Ia yang menghilangkan setengah kehidupan dari wanita cantik itu. Meskipun aura lembut masih sangat kental di dalam dirinya.
Tetapi, semua itu akan tetap menjadi suatu dosa besar baginya.
Lavi adalah monster.
__________
-TBC-
#alv