Gerhana bulan berlalu. Perlahan cahaya bulan kembali menerangi bumi. Hawa dingin tetap menyelimuti Gunung Tidar. Di puncak gunung tampak dua sosok manusia sedang berhadapan. Seorang di antaranya memakai baju serba putih. Ia adalah Mpu Sitra. Tubuhnya kurus kerempeng. Ia melawan Ken Praba. Pria yang setengah telanjang dada dengan celana dan rambut gondrong hampir menyentuh pinggang. Tubuh Ken Praba besar dan kekar.
Wajah mereka penuh memar dan luka. Sementara luka di tubuh mereka basah oleh kucuran keringat dan goresan darah. Bau anyir darah menyebar terbawa angin. Mata Ken Praba tajam mencekam menatap tubuh Mpu Sitra.
"Aku ulangi lagi, Mpu Sitra. Serahkan keris Nagatapa itu padaku. Kalau tidak, terpaksa aku harus merebutnya," bentak Ken Praba.
"Pusaka ini tidak cocok bagi orang sepertimu, Ken Praba. Kau haus akan kekuasaan dan sedang terbakar cemburu," sahut Mpu Sitra sambil memejamkan mata dan mengatur nafas.
"Cuih! Aku tak sudi mendengar ceramah darimu. Hari ini adalah hari sial untukmu. Celakalah dirimu yang akan mati di tanganku! Di umurmu yang sudah kepala empat pada hari Senin Pon sesuai dengan wuku milikmu. Terimalah takdirmu!"
Ken Praba langsung menerjang dengan sangat cepat. Mpu Sitra menghalau tendangan sambil melompat menjauh, berdiri di atas dahan pohon.
Mata Ken Praba tajam menatap lawan. Lalu terbang mengejar dan menyiapkan pukulan. Mpu Sitra juga sudah pasang kuda-kuda menyerang. Terjadilah pertarungan sengit di udara. Keduanya dengan kecepatan tinggi hingga hanya terlihat bayangan saja. Adu serang dan adu tangkis bergantian dilancarkan kedua pihak. Namun belum ada yang benar-benar berhasil mendaratkan pukulan tepat sasaran.
Kembali Mpu Sitra meloncat menjauh dan bersembunyi di balik pohon besar. Ia tampak kerepotan mengimbangi kecepatan Ken Praba yang penuh amarah.
"Baiklah. Kalau kau mengajak bermain petak umpet akan kulayani."
Ken Praba tampak menggerakkan kedua tangan di depan dada. Sekujur tubuh diliputi aura merah. Artinya, ajian yang akan ia keluarkan dengan cakra besar itu mengandung elemen tanah. Tangan kanan di angkat ke atas, menusuk langit. Lalu dihujamkan ke bawah, meninju tanah yang diinjak. Seketika tanah di puncak Gunung Tidar itu merekah, terpecah-belah berantakan. Pepohonan bertumbangan satu per satu, rata dengan tanah. Itulah ajian Rengkah Gunung. Jika dihujamkan langsung ke tubuh lawan, bisa hancur seketika. Jika lawann sakti maka akan gosong sekujur tubuh tanpa terkecuali.
Menyadari ganasnya ajian Rengkah Gunung, Mpu Sitra berdiri di udara. Sebab, tak ada lagi pohon untuk bersembunyi dan tanah hancur berantakan. Tiba-tiba sebongkah tanah sebesar rumah, melayang datang menuju mukanya. Dengan gesit, ia menghindar. Tak dinyana, datang empat bongkahan tanah lagi dari penjuru mata angin. Kali ini, tampaknya ia tak akan bisa menghindar. Tapi, satu per satu bongkahan tanah itu hanya melewati samping tubuhnya. Tipis sekali, hanya beberapa inchi saja. Sementara itu, aura hijau tampak berpendar dari tubuh Mpu Sitra. Tak salah lagi, ia menggunakan ajian Lembu Sekilan dengan cakra elemen angin. Serangan dari senjata apapun bisa meleset dari sasaran, meski hanya sejengkal saja.
"Cukup! Aku tak ingin membunuhmu Ken Praba. Kita tak perlu saling membunuh hanya gara-gara keris ini. Mengapa kau sangat berhasrat dengan keris ini?"
"Bukan urusanmu. Aku sudah terlanjur menginginkan keris itu. Keris itu sudah memanggilku. Akulah tuannya, bukan dirimu. Apapun yang aku inginkan harus tercapai. Jika terpaksa harus melangkahi mayatmu, akan kulakukan."
Ken Praba mengambil Seruling Sungsang yang tersemat di pinggang. Mpu Sitra menatap lurus ke arah lawan sambil menutup telinga. Sepertinya Ken Praba hendak mengeluarkan ajian Nyanyian Kematian yang berasal dari cakra dua elemen, yakni elemen suara dan elemen tanah. Benar saja, ketika ia mulai memainkan Seruling Sungsang, aura tubuhnya berlapis dua: merah dan biru muda. Tak lama berselang, beberapa burung malam yang kebetulan sedang melintas berjatuhan. Menjadi korban ganasnya ajian Nyanyian Kematian. Bahkan, para serangga tak ada satu pun yang selamat dari nyanyian itu. Terdengar samar-samar erangan kesakitan dari Mpu Sitra. Meski ia telah mematikan fungsi indera pendengaran untuk sementara, namun ia tetap merasakan sakit yang luar biasa.
Jika seperti ini telingaku bisa pecah karena rasa sakit yang luar biasa, pikirnya.
Ia pun memejamkan mata. Lalu muncul kobaran api di depannya. Hampir bersamaan, disusul guyuran air pada api itu. Asap muncul mengerubunginya dan ia menghilang. Ternyata ia berubah menjadi asap dengan ajian Wewe Putih untuk menyergap musuh. Ia meluncur cepat menuju Ken Praba bak anak panah lepas dari busurnya. Serangannya meleset. Ken Praba melesat ke atas, tepat di depan bulan purnama yang kembali bersinar utuh selepas gerhana pergi. Hanya bayangan hitam saja yang tampak pada Ken Praba saat berada tepat di depan bulan purnama. Seakan-akan ia di dalam bulan.
Sambil terus memainkan Seruling Sungsang, ia menciptakan banyak gundukan tanah. Lalu dari gundukan itu muncul puluhan bala bantuan dari bangsa jin dan dedemit yang semuanya dalam bentuk bayangan hitam tanpa bentuk. Satu per satu bayangan hitam itu melesat cepat ke arah asap putih yang merupakan jelmaan dari Mpu Sitra. Mereka berkejaran, bertabrakan, dan bertarung tanpa bisa dilihat dengan jelas. Ken Praba berhenti memainkan seruling karena sudah berhasil membangkitkan puluhan prajurit bayangan.
Meski puluhan bayangan hitam sudah dikalahkan oleh Mpu Sitra, namun puluhan bayangan hitam lain datang bergantian tiada henti. Situasi tersebut tentu tak menguntungkan baginya. Sebab, ia merasa tubuhnya semakin lelah dan cakranya kian menyusut. Sementara itu, Ken Praba berdiam diri, melayang dan bermandikan cahaya bulan. Duduk bersila di udara. Tampaknya ia meregenerasi cakra.
"Sialan. Cerdik sekali Ken Praba. Kalau begini, aku harus mengeluarkan ajian pamungkasku sebelum cakraku semakin menipis."
Masih dalam wujud asap, Mpu Sitra mencoba mengeluarkan Ajian Brajamusti. Ajian ini merupakan ajian tingkat atas yang tak semua pendekar di dunia persilatan mampu menguasai lantaran harus menggabungkan tiga elemen cakra dengan rumus yang tepat. Mula-mula ia mendatangkan elemen air, lalu disusul setengah elemen api untuk menguapkan air. Awan tercipta lalu didatangkan setengah elemen angin untuk mengubah awan menjadi mendung dan didatangkan lagi elemen angin untuk mengikat mendung agar menghasilkan petir.
Petir menyambar, Mpu Sitra menyambar petir dengan keris. Hanya dengan sekali ayun semua bayangan hitam yang dibangkitkan Ken Praba lenyap.
"Akhirnya keris itu digunakan juga. Tapi kau tidak bisa menggunakan keris itu dengan baik. Bahkan, tak layak memiliki keris itu," ejek Ken Praba sambil tetap memejamkan mata. Seakan-akan tak terjadi apa-apa. Ia tampak sangat tenang. Sedangkan, Mpu Sitra ngos-ngosan mencoba mengatur nafas.
"Lancang kau. Aku akan memenggal kepalamu!"
Sambil membuka mata, Ken Praba hanya membalas ancaman itu dengan menyunggingkan senyum sinis di bibirnya.
Sejurus kemudian, keduanya sudah saling beradu sakti di udara. Beberapa kali Ken Praba terpaksa mengegos agar tidak terkena tusukan keris Nagatapa yang sudah diisi dengan Ajian Brajamusti. Namun, ia selalu menyiapkan serangan balik setiap kali menghindar. Bahkan beberapa kali pukulan dan tendangan yang ia layangkan mengenai sasaran. Namun, tak berarti apa-apa bagi Mpu Sitra. Tak ada rasa sakit. Tak pula membuatnya terpukul mundur. Hanya terasa seperti sentuhan biasa. Itulah kesaktian Ajian Brajamusti yang membuat pemakainya kebal dari pukulan dan tendangan. Bahkan, senjata apapun.
Meski begitu setelah beberapa pukulan kemudian, Ken Praba berhasil menyerang pergelangan tangan Mpu Sitra sehingga keris di tangan terlepas jatuh ke tanah. Kemudian Ken Praba melayangkan tendangan dengan posisi tubuh menyamping dan lintasan tendangan lurus ke samping. Bagian kaki yang digunakan adalah bagian tajam telapak kaki dan tumit. Entah mengapa Mpu Sitra terlempar jauh jatuh ke tanah. Ia tampak tergeletak tak berdaya. Tubuhnya tak berkutik dan lemah tak bertenaga. Darah segar keluar dari bibir. Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan adalah dengan membuka mata secara perlahan. Ia kehabisan cakra.
Setelah ia berhasil membuka mata. Ternyata musuh sudah berada di depan hidung.
"Sampai kapan pun, kamu tak mungkin bisa menang melawanku. Karena aku ditakdirkan untuk menjadi raja agung di bumi ini. Dan, kerismu itu adalah keris para raja. Siapa pun yang memilikinya akan menjadi raja..."
Kata-kata Ken Praba terhenti. Keris Nagatapa menusuk lehernya dari belakang. Ternyata, Mpu Sitra mampu mengumpulkan sisa-sisa cakra untuk menggerakkan kerisnya. Keris menembus tenggorokan Ken Praba hingga berlubang. Kemudian keris itu kembali dalam genggaman Mpu Sitra dengan sendirinya.
Darah mengalir deras ke tubuh dan tanah dari tenggorokan Ken Praba. Mata melotot. Mulut seakan ingin bergerak namun tak ada suara yang keluar. Tubuh roboh ke tanah. Mata terpejam.
Sambil berbaring tak berdaya, Mpu Sitra bernafas lega. Keris yang ia genggam, terlepas tergeletak di tanah. Matanya lelah menatap langit. Beberapa detik kemudian, ia berusaha bangun. Lalu perlahan menghaturkan sembah menatap langit. Namun, keanehan terjadi. Tiba-tiba tanah bergejolak. Dari dalam tanah keluar tumbuhan yang menjalar cepat dan tumbuh besar seketika. Tumbuhan itu dalam sekejap menjadi pohon-pohon raksasa.
Belum hilang rasa heran Mpu Sitra, terdengar suara tertawa membahana dari langit.
"Hahahahaha....."
Itu adalah suara Ken Praba, pikir Mpu Sitra.
Ia hafal betul dengan suara lawannya itu. Namun, ia benar-benar terkejut ketika tak melihat tubuh Ken Praba di tempat semula. Begitu juga dengan keris Nagatapa yang tadi berada di dekatnya. Hanya dahan, daun, dan akar seukuran tak lazim yang tampak di sekitarnya. Ia seperti kurcaci yang tersesat di hutan yang lebat dan gelap. Bahkan, cahaya bulan purnama tertutup rimbunnya akar, daun, dan dahan pohon raksasa itu.
Tiba-tiba muncul akar sebesar paha orang dewasa dari tanah yang diinjak Mpu Sitra. Akar itu langsung menyambar tubuh, melilit, lalu mengangkatnya tinggi. Dari atas tampak seseorang bertelanjang dada dengan menggenggam keris di tangan kanan. Orang itu tampak turun dari langit dengan berdiri di atas daun raksasa.
"Jangan-jangan...."
"Inilah ajian Rawarontek yang tiada tandingan di dunia persilatan mana pun."
Ajian Rawarontek merupakan salah satu ajian legendaris di dunia persilatan. Adapun rumus elemen ajian Rawarontek, yakni elemen tanah ditambah setengah elemen air. Kemudian dicampur dengan bagian tubuh pemiliknya bersama elemen angin. Maka, tubuhnya akan tumbuh kembali. Jika ajian Brajamusti mengandung elemen petir. Ajian Rawarontek mengandung elemen pohon.
Pendekar yang menguasai ajian ini tak bisa mati meski leher sudah putus dari tubuh. Selama anggota tubuhnya masih menyentuh tanah, kepalanya akan kembali menyatu dengan tubuh dan hidup kembali. Meskipun tubuhnya hancur lebur, jika masih ada serpihan tubuh yang menyentuh tanah akan kembali utuh lagi dan bangkit. Oleh karena itu mereka yang memiliki ajian ini dikenal abadi dan tak bisa mati. Ajian ini berasal dari kalangan pendekar ilmu hitam, sehingga termasuk salah satu ajian yang terlarang.
"Bagaimana kau mampu mendapatkannya?"
"Aku telah berhasil mencuri kitab rahasia dari Maha Guru dan membunuhnya."
"Biadab kau! Dasar binatang. Murid tak tahu rasa terima kasih."
"Sebentar lagi kau akan menyusul gurumu. Sampaikanlah kepada Maha Guru, bahwa selangkah lagi aku akan mewujudkan impianku, pasti Maha Guru akan bangga mendengarnya."
"Tak sudi."
"Dengan ajian ini aku akan abadi. Dengan kerismu aku bisa menjadi raja. Meski aku bukan darah biru, tapi dengan kekuatan maha dahsyat ini, aku bisa menjadi raja abadi yang tak terkalahkan. Akulah orang pertama yang akan menjadi raja, tanpa mengalir darah seorang raja di tubuhku. Aku hanya perlu menumpahkan darah para raja sebanyak-banyaknya."
"Cepat bunuh aku."
"Sabar. Masih ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu. Kau pasti terkejut dengan kedahsyatan keris ini. Dan kau akan mati tragis di ujung keris kesayanganmu."
Mpu Sitra hanya diam tak membalas perkataan Ken Praba, kecuali dengan tatapan tajam penuh kekesalan dan keputusasaan.
"Baiklah, sudah saatnya aku tunjukkan ajian Nagabara dari keris Nagatapa ini. Ajian rahasia yang diciptakan oleh guru kita."
Mata Mpu Sitra langsung terbelalak terkejut. Ajian Nagabara adalah ajian yang dijanjikan oleh Maha Guru kepada Mpu Sitra setelah melalui persyaratan berat yakni tapa brata khusus. Persyaratan itu bisa dikatakan hampir selesai dijalani oleh Mpu Sitra.
Ken Praba mulai melakukan ajian Nagabara. Ia meniupkan api dari mulut, terciptalah lautan api. Setelah menggunakan satu elemen api, ia gunakan satu elemen tanah dengan mendatangkan bongkahan tanah sebesar gunung. Gunungan tanah itu ia lebur dalam lautan api sehingga menjadi aliran lava gunung berapi. Terakhir, ia gunakan elemen suara dengan merapalkan mantra sebelum melemparkan keris Nagatapa ke arah lava yang ia ciptakan. Muncul seekor naga raksasa dari dalam lava itu. Seluruh tubuh naga merupakan lava, kecuali sebilah keris di mulut Nagabara itu.
"Sekali lagi aku ulangi. Hari ini adalah hari naasmu sebagai orang dengan wuku Sinta. Senin Pon pada usia paruh baya, mereka yang punya wuku Sinta akan sial. Hari ini, aku mengantarkan kesialanmu dalam bentuk dewa maut. Terimalah takdirmu," teriak Ken Praba sambil menggerakkan jarinya ke depan.
Bersamaan dengan itu, Nagabara bergerak maju ke depan meluncur ke arah Mpu Sitra. Petapa muda itu hanya mampu pasrah dan menerima keris Nagatapa menghujam di lehernya bersamaan dengan gigitan Nagabara.
Itulah keris Nagatapa yang kelak menjadi senjata sekaligus pusaka paling dicari oleh para raja. []