Chereads / Satria Braja / Chapter 5 - Wuku

Chapter 5 - Wuku

Sehari semalam Satria Braja tak sadarkan diri setelah insiden ditanduk kerbau. Satria Braja dirawat oleh seorang pendekar perempuan tingkat sanak di Bilik Pengobatan Padepokan Banteng Mukti. Yakni, Kirana Maheswari.

Ia perempuan berwajah bulat.Tapi tak bulat-bulat amat. Agak sedikit memanjang, namun belum oval. Berbibir ranum dan merekah. Tebal tapi mempesona. Hidungnya tak mancung dan tak pesek pula. Pas. Rambutnya hitam terurai. Matanya sungguh indah. Kelopaknya bulat benar dengan warna kebiru-biruan sedikit coklat tak seperti penduduk bumi. Bulu matanya panjang, lentik, dan nakal. Dan alisnya aneh. Lebat tapi tak beraturan. Tak simetris pula antara kanan dan kiri. Kedua pangkal alis menimbulkan efek gradasi. Ujung alis lebat tapi pangkal alis yang hendak bertemu justru menipis. Pangkal alis bagian kanan, malahan tak lurus tapi sedikit melingkar. Oleh karena itu beberapa kawan, memanggilnya Perempuan Beralis Ulat Bulu.

Sepotong kain membalut tubuhnya dari dada ke perut, disebut kemben. Warna kembennya biru muda, serasi dengan bola matanya yang kebiru-biruan. Wanita memang pandai memadukan warna pakaian. Sementara kain jarik berupa batik berwarna biru muda dengan motif bunga menutup bagian perut ke bawah hingga mata kaki.

Kirana Maheswari menahan rasa penasaran terhadap sakit yang diderita Satria Braja. Ia sangat heran dengan penyakit anak ini. Sebab, jika dilihat dari lukanya tidak terlalu parah hanya sedikit lecet di sekitar pusar dan bagian dada lebam. Seharusnya bagi seorang pendekar yang sudah belajar pencak silat satu tahun luka semacam ini bisa sembuh dalam waktu yang tak lama. Namun, Satria Braja belum sadar selama hampir dua hari satu malam. Ia koma.

"Bagaimana kondisi Satria Braja, Nak Kirana Maheswari," tanya Mbah Putih yang tiba-tiba nyelonong masuk ke Bilik Pengobatan. Sontak, gadis cantik itu terkejut.

Ketika ia menoleh, Mbah Putih sudah berdiri di belakangnya. Kirana Maheswari langsung menghaturkan salam sembah sebagai bentuk penghormatan kepada Mbah Putih. Ia menempelkan kedua telapak tangannya tepat di depan dada sambil membungkuk rendah.

"Keadaannya semakin memburuk, Mbah Putih. Jika seperti ini terus, dia tidak akan mampu bertahan selama tiga hari ke depan. Ia tak pernah bangun, sekadar menggerakkan jari saja ia tak mampu. Namun, nafasnya masih normal. Ia seperti orang tidur," jawab Kirana Maheswari dengan lembut namun penuh rasa khawatir.

Mbah Putih hanya diam saja sambil membelai jenggot. Matanya menatap tubuh Satria Braja yang tergeletak di atas dipan.

"Nyuwun sewu, Mbah Putih. Kalau boleh tahu bagaimana dia bisa menderita sakit misterius seperti ini?" tanya Kirana Maheswari untuk mencari jawaban atas rasa penasaran yang sempat dipendam.

"Ia hanya diseruduk kerbau."

"Apa? hanya diseruduk kerbau," sahut Kirana Maheswari karena terkejut.

"Seharusnya ia sudah sadar sejak kemarin."

"Betul, Mbah Putih. Jika hanya diseruduk kerbau seharusnya ia hanya pingsan sebentar. Awalnya aku kira ia terkena racun, namun ternyata setelah aku periksa tidak ada racun di tubuhnya."

Mbah Putih melirik ke arah Kirana Maheswari.

"Aku percaya, kau mampu menyembuhkan anak ini. Kau salah satu pendekar muda dengan ilmu ketabiban terbaik di padepokan ini," sanjung Mbah Putih kepada Kirana Maheswari.

"Aku akan melakukan yang terbaik, Mbah Putih."

Mbah Putih membalikkan badan dan berjalan keluar Bilik Pengobatan Padepokan Banteng Mukti.

***

Cahaya bulan purnama menembus celah-celah dedaunan pohon Trembesi yang rindang serupa payung. Di salah satu dahan pohon itu tampak Kirana Maheswari sedang melamun. Air mukanya tampak tegang bercampur sedih.

Ia teringat pada suatu malam, pada pasaran Senin Kliwon, saat desanya diserang oleh pendekar sakti dari kalangan ilmu hitam, Srigala Manggala bersama pasukan serigala. Serangan itu membuatnya hampir terbunuh, untung ia berhasil selamat. Namun, kedua orangtuanya tewas saat melindungi desa dari serangan Srigala Manggala. Ibunya tewas setelah ditusuk tombak oleh Srigala Manggala. Sementara ayahnya tewas digigit salah satu serigala milik Srigala Manggala. Kirana Maheswari ngeri setiap kali teringat kejadian tragis itu. Ia melihat di depan hidungnya sendiri, kedua orangtuanya tewas mengenaskan. Sementara ia selamat karena disembunyikan ayahnya di dalam gentong depan rumah. Tak terasa, air mata mengalir membasahi pipi alus gadis cantik itu.

"Jika ilmu ketabiban tak mampu mengetahui sumber penyakit anak itu, maka hanya satu kemungkinan. Penyakit itu mungkin berkaitan dengan wuku," gumamnya sambil mengusap air mata dan memasang penutup wajah.

Wuku adalah suatu siklus dalam penanggalan selama tujuh hari atau sepekan. Satu wuku sama artinya dengan seminggu. Siklus wuku berjalan selama 30 pekan. Masing-masing wuku memiliki nama tersendiri. Dimulai dari wuku Sinta sebagai wuku pertama. Dan, diakhiri wuku Watugunung sebagai wuku terakhir, wuku ketiga puluh.

Tiap wuku memiliki dewa penjaga masing-masing. Para dewa penjaga turun ke bumi secara bergantian. Mereka berdiam tujuh hari di bumi. Saat ada bayi yang lahir, maka ia akan memberinya sedikit kekuatan. Seringkali berupa potensi cakra yang besar dengan elemen yang sama dengan dewa penjaga. Misalnya, seorang bayi lahir pada saat Dewa Api menjaga bumi. Maka, ada kemungkinan bayi yang lahir pada wuku itu mempunyai cakra elemen api yang besar.

Perhitungan wuku atau Pawukon juga digunakan untuk mengetahui watak seseorang, mencari hari baik, menghindari hari apes, menangkal kesialan, dan mengetahui kelemahan seseorang. Pawukon serupa dengan zodiak atau shio namun lebih rumit karena bukan hanya 12 macam, melainkan 30 macam wuku. Meski rumit, wuku dipercaya akurat dijadikan pedoman untuk mengetahui watak seseorang dan membaca isyarat langit.

Malam ini, Kirana Maheswari memakai pakaian serba hitam. Tampaknya, ia hendak menyelinap ke Pusat Pustaka Rahasia Padepokan yang berada di Joglo Agung. Hanya Ketua Sepuh dan para mbah, termasuk Mbah Wakil Ketua dan Mbah Putih yang boleh memasuki Joglo Agung. Selain mereka, tak boleh seorang pun masuk. Jika dilanggar pasti ada hukuman yang akan diterima. Biasanya dikeluarkan dari padepokan. Bahkan, jika diperlukan bisa dihukum gantung.

Kirana Maheswari menghirup nafas dalam-dalam. Lalu dihembuskan lewat hidung dengan kasar. Tampaknya ia gelisah dan tegang. Sejurus kemudian, ia telah mendarat di samping Joglo Agung yang berada tak jauh dari pohon Trembesi tempatnya bersembunyi. Ia mengendap saat memasuki Joglo Agung. Berjalan lurus tujuh langkah, lalu belok ke kanan. Ia menghentikan langkah sambil merapatkan badan ke dinding, mencoba memeriksa keadaan lewat suara. Sepi. Tampaknya tak ada pergerakan apa pun di sekitarnya. Ia kembali berjalan empat langkah, lalu belok kanan dan menyusuri lorong. Setelah melewati tiga pintu, ia membuka pintu keempat dan masuk.

Di dalam ruangan, ia melihat rak yang penuh kitab-kitab dari daun lontar. Ia langsung mengambil lampu teplok yang menempel di dinding. Lampu itu digunakan untuk mencari kitab yang dibutuhkan. Setelah memilah beberapa kitab beraksara jawa, akhirnya jarinya terdiam. Ia melihat satu kitab berjudul Pawukon Padepokan yang ditulis dengan aksara Jawa. Kitab yang merupakan data induk para pendekar itu langsung disambar dan dibuka olehnya. Ia segera mencari nama Satria Braja.

Bola matanya bergerak lincah mengikuti gerak jarinya meraba tulisan jawa di daun lontar. Ia segera menutup daun lontar itu dan mengembalikannya.

"Apa yang kau cari?" bentak seseorang dari arah jam enam.

Ia terkejut. Mendadak keringat dingin membasahi wajah cantik itu. Tubuhnya gemetar. Tapi ia berusaha tenang. Pikirannya kalut. Ia coba menimbang apa yang harus dilakukan. Jika berkata terus terang, ia pasti dapat hukuman berat. Jika menyerang, ada dua kemungkinan. Kemungkinan terbaik, ia mampu lolos tanpa diketahui identitasnya. Kemungkinan terburuk, ia bisa tertangkap dan mendapat hukuman lebih berat. Bahkan, bisa saja ia terbunuh.

"Apa yang kau cari?" ulang sosok berbaju putih yang ada di belakang Kirana Masheswari dengan nada tinggi.

Spontan, ia lari cepat ke depan dan menendang salah satu rak kitab sebagai tumpuan untuk membalikkan tubuhnya dan menyerang. Ia mengambil sesuatu dari dalam bajunya dan melemparkan ke seseorang di belakangnya. Sosok berbaju putih itu dengan cepat mengambil salah satu kitab daun lontar, lalu membuka seperti kipas. Kitab itu berhasil menjadi tameng dari lima jarum yang dilemparkan pendekar tingkat sanak itu.

Kirana Maheswari bergegas lari menuju pintu untuk kabur. Begitu sampai di pintu, ia terkejut lantaran lawan sudah berada tepat di depannya. Ia lebih terkejut begitu mengetahui lawan tersebut adalah Mbah Putih. Ia melompat mundur sambil mengibaskan cemeti yang diambil dari pinggang. Cemeti itu mengarah ke wajah Mbah Putih. Secepat kilat, kakek-kakek itu menghindar lalu melakukan serangan balik dengan memukul perut Kirana Maheswari. Tubuh gadis itu terhempas ke belakang dan membentur rak kitab. Tiba-tiba, Mbah Putih sudah di depan hidungnya. Dengan cepat, beberapa bagian tubuh Kirana Maheswari ditotok. Lalu membuka penutup muka dan terlihat wajah cantik pendekar muda itu.

Mbah Putih tak mampu menyembunyikan rasa terkejut begitu melihat di balik penutup muka itu adalah Kirana Maheswari. Ia segera menotok kembali tubuh gadis itu agar bisa bergerak lagi.

"Kenapa kau melanggar aturan?" tanya Mbah Putih dengan nada rendah.

"Ampun, Mbah Putih. Aku mengaku telah melakukan kesalahan besar, saya siap menerima hukuman berat," ucap Kirana Maheswari dengan penuh penyesalan sambil berjongkok dan meletakkan kedua telapak tangan yang menempel di depan hidung. Kepalanya menunduk.

"Kenapa kau melanggar aturan, Nak Kirana Maheswari?" ulang Mbah Putih dengan suara lirih.

"Aku hanya melihat wuku Satria Braja agar bisa menyembuhkan penyakit misterius itu. Bukankah Mbah Putih sudah percaya, aku akan menyembuhkan Satria Braja? Dan, aku sudah berjanji bakal memberikan yang terbaik," jawab Kirana Maheswari dengan pelan.

"Besok pagi kamu harus menghadap Mbah Wakil Ketua untuk menerima hukuman," perintah Mbah Putih.

"Tapi Mbah Putih, aku sudah menemukan obat dari penyakit Satria Braja. Wuku Satria Braja, Tolu. Pantangannya, tak boleh kena tandukan, gigitan, atau sengatan hewan."

"Aturan tetap aturan. Dengan melihat kitab Pawukon Padepokan, kau mengetahui kelemahan pendekar lain. Itu adalah kesalahan yang besar. Hukuman harus diberikan. Temui Mbah Wakil Ketua, besok pagi!"

"Kirana Maheswari siap menemui Mbah Wakil Ketua dan menerima hukuman atas kebodohan ini." []