Chereads / Satria Braja / Chapter 9 - Gagak Hitam

Chapter 9 - Gagak Hitam

Cahaya bulan menerangi malam. Mengusir kegelapan di bumi. Kunang-kunang girang menyambut cahaya bulan. Katak bersenandung riang menyanyikan kidung-kidung pujian pada sang bulan. Jangkrik mengerik, berteriak nyaring dengan gembira menyambut terang malam.

Seorang perempuan kasihan melihat bulan yang tak lagi utuh. Secercah kegelapan merusak tubuh bulan sehingga tak lagi bundar penuh. Bulan purnama telah berlalu kemarin. Ia membayangkan bulan itu adalah dirinya. Terlihat sempurna, tapi meratapi ketaksempurnaan.

Parasnya mempesona, hidung mancung, muka tirus. Perawakan tinggi semampai. Rambut terurai hitam berkilau. Kulit terang serupa cahaya bulan. Lekukan tubuhnya kencang, tak ada yang kendur sama sekali. Meski usianya sudah di atas 40 tahun, tapi ia tampak 10 tahun lebih muda. Hanya, wajahnya pucat pasi.

Kalung zamrud hijau menggantung di leher, nyaris menempel pada belahan dada. Telinga dihiasi anting permata yang berkilau. Gelang emas menumpuk di kedua tangan mengkilap terkena terpaan cahaya bulan. Cincinnya hanya satu dari berlian terbaik yang melingkari jari manis tangan kiri. Tapi, hatinya bersedih.

"Istriku Ratih Nareswari, tampaknya adinda sedang bersedih. Apa yang membuat adinda murung seperti ini?" tanya Raja Bantala Negara sambil melangkah ke jendela, ke arah permaisuri berada.

"Tiba-tiba aku teringat Radya Sambara, Kakang Mas Ken Praba. Sudah tujuh tahun, dia meninggalkan istana. Sampai sekarang aku tak mendengar kabarnya barang sekali," jawab Ratih Nareswari penuh gelisah.

"Sudah tujuh tahun penuh, pengawal istana mencari ke pelosok desa sejak dia minggat tapi tak ditemukan, adinda. Apakah putra-putriku yang setia menghiburmu tak cukup menghilangkan rasa kehilanganmu, Permaisuriku?"

"Bukan begitu Kakang Mas. Aku hanya merasa bersalah telah mengatakan kebenaran yang seharusnya aku simpan dalam-dalam. Aku menyesali waktu itu."

"Cukup adinda! Tak perlu merasa bersalah, karena semua ini sudah takdir kita."

Raja Bantala Nagara membelai mesra rambut sang permaisuri.

Bayangan tujuh tahun silam mencuat di benak Ratih Nareswari. Saat itu, Radya Sambara datang kepada Ratih Nareswari menangis sambil mengungkapkan rasa iri kepada tiga saudaranya; Aryasetya Danadyaksa, Aryasuta Cadudasa, dan Aryanti Ratnadewati.

"Mengapa ayahanda selalu bersikap berbeda kepadaku, ibunda? Tak pernah sekali pun ayahanda berkenan menemaniku bermain."

"Mungkin kesibukan sang prabu sangat padat mengurusi kerajaan sebesar ini, putraku. Sehingga tak sempat bermain dengamu"

"Tapi mengapa setiap hari, ayahanda bermain bersama saudara-saudariku, ibunda?"

"Sesungguhnya, kau bukan darah daging dari sang prabu. Tapi, kau sepenuhnya adalah anakku."

Tiba-tiba, lamunannya buyar. Terdengar suara kentungan kerajaan dipukul dua kali secara berulang, tanda bahwa ada maling masuk istana.

***

Seorang bertopeng burung gagak melompat melewati pagar istana. Geraknya cepat. Tampak di belakangnya ada lima pengawal yang mengejar. Sosok bertopeng hinggap di dahan pohon untuk sembunyi. Namun, sia-sia. Para pengawal sudah mengetahui. Ia kembali berlari menerobos hutan di belakang istana. Para pengawal terus mengejar.

Tibalah ia di oro-oro atau tanah lapang yang luas. Ia terhenti. Di depannya ada lima pengawal istana. Seketika saja, ia balik badan hendak berlari. Namun, lagi-lagi ada lima pengawal yang menghadang. Total ada 10 pengawal yang mengepungnya.

"Hei, maling kecil. Kau sudah tak bisa lari lagi. Menyerahlah. Serahkan dirimu dan harta yang kau curi kepada kerajaan. Mungkin sang prabu mengampunimu," teriak salah satu pengawal.

Jika diperhatikan memang tubuh sosok bertopeng itu lebih kecil dari tubuh para pengawal yang gagah dan kekar. Sepertinya ia tersebut bukanlah orang dewasa, namun seorang bocah.

"Betul. Menyerahlah! Sang prabu tak akan tega membunuh bocah sepertimu," imbuh pengawal lain.

Sosok bertopeng itu, menurunkan buntelan karung di pundaknya. Buntelan itu, ia taruh ke tanah secara perlahan. Lalu ia membungkuk menyentuh tanah. Tubuhnya memancarkan cahaya merah. Ia berdiri tegak kembali. Tiba-tiba dari kepalan tangannya terlempar tanah sebesar kepalan tangan orang dewasa ke arah para pengawal. Hanya tiga orang yang mampu menghindar dari tanah yang meluncur cepat, menghantam mereka yang tak sigap. Salah satu dari tiga orang pengawal itu menyerang dengan menusukkan tombak. Sosok bertopeng menghindar dan memberikan tendangan ke dada lawan.

Satu tinju meluncur tak terduga, ia mengelak dan hendak memukul balik. Tapi satu tendangan dari belakang mendarat di punggung. Ia terhempas. Terpojok. Tujuh pengawal lain, sudah bangkit kembali. Situasi kembali seperti semula: satu lawan sepuluh.

Setelah terhempas, ia memilih berjongkok daripada berdiri. Telapak tangannya menyentuh tanah, lalu tangan diputar sedemikian rupa.  Tiba-tiba para pengawal tak mampu bergerak terkena Ajian Lemah Lempung yang terdiri dari cakra elemen tanah dicampur setengah elemen air. Kaki mereka ditahan kuat oleh tanah liat. Bahkan, semakin lama tanah liat itu menarik kaki mereka semakin dalam. Sosok itu menyambar buntelan karung yang tergeletak di tanah dan terbang melarikan diri.

Ia terus berlari hingga sampai di pemukiman desa. Ia mengetuk salah satu pintu rumah. Pemilik rumah terkejut tak mendapati seorang pun di depan pintu. Namun, ia kegirangan menemukan belasan keping uang tercecer di tanah depan pintu rumah. Sosok bertopeng itu terus melakukan hal serupa di sepanjang rumah yang dilewati, hingga buntelan karung yang dibawa olehnya kosong tak berisi.

Di suatu lorong gelap, ia berhenti. Ia mencoba mengatur nafas. Tubuh disandarkan pada sebuah pohon. Menghirup udara dalam-dalam. Lalu, ia membuka topeng yang menutupi wajah. Ternyata sosok bertopeng itu adalah Istungkara. Ketika ia hendak melangkah, seketika empat orang serba hitam mendarat tepat di depan Istungkara. Tampak gambar kepala gagak hitam di leher mereka. Keempatnya menghaturkan sembah hormat kepada Istungkara.

"Salam hormat, Ketua. Wiyasa Item Utara menghadap."

"Salam hormat, Ketua. Wiyasa Item Timur menghadap."

"Salam hormat, Ketua. Wiyasa Item Selatan menghadap."

"Salam hormat, Ketua. Wiyasa Item Barat menghadap."

"Ada informasi apa tentang persiapan dan kondisi Kerajaan?" tanya Istungkara kepada keempatnya.

"Persiapan sudah berjalan sesuai rencana, tinggal menunggu perintah dari ketua," jawab Wiyasa Item Utara.

"Prabu Astrabhumi menunda penunjukkan Yuwaraja dan memerintahkan para pangeran dan putri untuk mengawasi kondisi kerajaan tetangga. Mereka juga bertugas memastikan surat jawaban koalisi dari Pawana Nagara dan Baruna Nagara," papar Wiyasa Item Selatan sambil menatap wajah Istungkara.

"Pangeran Aryasuta Cadudasa ditugaskan untuk menetap sementara di Jawi Bhumi. Mohon berhati-hati. Sedangkan Pangeran Aryasetya Danadyaksa bertugas di Danta Bhumi. Begitu juga Putri Aryanti Ratnadewati yang akan sering tinggal di Arima Bhumi. Sang Prabu memberi waktu sebulan agar Pawana Nagara dan Baruna Nagara bersepakat koalisi sebagaimana yang dilakukan oleh Pawaka Nagara," lanjut Wiyasa Item Selatan.

"Semakin rumit sepertinya. Kita tidak boleh terburu-buru. Bisa-bisa rencana kita berantakan. Berarti, kerajaan akan semakin kuat karena bersiap perang. Selain itu, dukungan dari Pawaka Nagara tentu memperkuat kerajaan," timpal Istungkara.

"Betul, Ketua. Jika Pawana Nagara atau Baruna Nagara tak berkoalisi dengan kerajaan. Maka, perang tak bisa dihindari," sahut Wiyasa Item Selatan

"Meski bertambah kuat, mereka akan lengah terhadap pergerakan kita. Sehingga kita punya kesempatan untuk merongrong dari dalam sewaktu mereka fokus ke kerajaan tetangga. Tapi kita tetap harus berhati-hati. Laporan kalian telah aku terima. Kembalilah ke pos masing-masing!" perintah Istungkara.

"Baik, Ketua. Kami mohon undur diri," jawab keempatnya nyaris serentak.

Keempat anggota Wiyasa Item itu langsung melompat ke empat penjuru mata angin. Mereka meninggalkan Istungkara sendirian. Suara kokok ayam terdengar bersahutan. Semburat jingga di ufuk timur menyeruak tanda pagi akan segera datang. []