Pangeran Aryasetya Danadyaksa bersama rombongan kerajaan memasuki desa Denta Bhumi. Di samping anak sulung raja, tampak seorang pendekar besar dan kekar. Ia adalah Senopati Bratajaya. Seorang pendekar yang sangat disegani di kerajaan Bantala Nagara. Bisa dikatakan, ia adalah orang terkuat setelah sang raja Prabu Astrabhumi. Ia terkenal sebagai seseorang yang tak pernah kalah dalam perang. Selain kekuatan yang besar, ia dikenal sebagai seorang yang ahli di bidang siasat perang.
Senopati Bratajaya dengan sengaja membujuk Pangeran Aryasetya Danadyaksa agar diizinkan untuk mengantarkan sang pangeran ke desa Danta Bhumi. Sang Pangeran mengendarai kuda poni warna putih, sedangkan Senopati Bratajaya menunggangi kuda poni warna hitam pekat.
"Bagaimana pendapatmu tentang ide ayahanda yang berencana mengangkat yuwaraja berdasarkan misi ini, Paman Senopati Bratajaya? Bukankah jabatan yuwaraja merupakan hak bagiku sebagai anak sulung raja?" tanya Pangeran Aryasetya Danadyaksa.
Mata Senopati Bratajaya menatap ke depan, ke jalan setapak yang hendak dilalui rombongan kerajaan.
"Betul, Pangeran. Yuwaraja merupakan hak bagi anda sebagai anak sulung raja. Barangkali, raja bermaksud untuk menguji kemampuan putra putrinya dalam menjalankan tugas. Bagaimana pun, Pangeran Aryasetya Danadyaksa yang menjadi yuwaraja. Oleh karena itu, aku mendampingi anda agar tugas ini terlaksana dengan baik," jawab Senopati Bratajaya sambil melirik sang pangeran yang disambut dengan anggukan kepala oleh putra sulung raja.
"Apalagi aku mendengar beberapa kali desa Danta Bhumi tidak mengirimkan upeti sebagaimana permintaan kita. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi di desa ini," imbuh Senopati Bratajaya.
"Mungkinkah desa Danta Bhumi membangkang pada kerajaan?" tanya Pangeran Aryasetya Danadyaksa penasaran.
"Bisa jadi, namun aku belum tahu secara pasti. Sebab, unit sandi mengalami yang bertugas di desa Danta Bhumi sepertinya telah bersekongkol dengan pejabat perwakilan desa Danta Bhumi. Oleh karena itu, aku berencana mencari tahu secara langsung apa yang terjadi di desa yang berbatasan dengan wilayah kerajaan Baruna Nagara. Bisa jadi, kerajaan tetangga sudah bergerak lebih dulu dari kita," jelas Senopati Bratajaya sambil tetap memacu kuda.
"Baiklah kalau begitu, Paman Senopati Bratajaya. Tapi ingat, aku punya tanggung jawab dalam tugas ini. Jadi, mohon jaga nama baikku agar aku bisa menjadi yuwaraja. Jangan sampai tindakanmu mengganggu jalanku menuju kursi yuwaraja," pesan Pangeran Aryasetya Danadyaksa.
"Tenang saja, Pangeran. Aku tahu apa yang harus aku lakukan," sahut Senopati Bratajaya.
Tak berselang lama rombongan kerajaan mulai memasuki desa Danta Bhumi. Mereka menangkap kesan sunyi pada desa ini meski matahari sudah terbit sepenggalah. Tak ada satu pun warga yang mereka jumpai mulai dari luar desa hingga pemukiman rumah warga.
"Aneh sekali desa ini, Paman Senopati Bratajaya. Sepi sekali seperti desa mati, tak berpenghuni. Meski begitu bangunan di desa ini tetap terlihat seperti biasa, hanya tak ada warga yang keluar," ucap pangeran.
"Betul Pangeran Aryasetya Danadyaksa. Kondisi desa ini mencurikan. Mohon ikuti aku. Kita harus ke danau Gajah Mungkur di sana ada mahkota desa yang terkenal yakni bunga Puspa Rasa. Besar kemungkinan, kondisi sepi ini berkaitan dengan bunga tersebut," beber Senopati Bratajaya.
Kuda pangeran dan sang senopati beserta rombongan kerajaan Bantala Nagara melaju lurus menuju danau Gajah Mungkur. Setelah melakukan perjalanan beberapa saat, tibalah mereka di sebuah tebing. Dari tebing tersebut terlihat seekor ular raksasa dengan ukuran tak lazim sedang menatap tajam tubuh seorang gadis di dermaga danau. Di belakang gadis tampak banyak warga yang berkerumun namun tak melakukan apa-apa.
"Dari sorot mata sang ular, seakan-akan gadis itu hendak dijadikan mangsa," kata Pangeran Aryasetya Danadyaksa.
"Biar aku yang mengurus ular raksasa itu dan pengendali ular yang berdiri di atas hewan jadi-jadian itu. Ia bernama Ragasarpa, pendekar ular dari Baruna Nagara. Pangeran Aryasetya Danadyaksa hanya perlu menyelamatkan gadis itu. Aku jamin nama baik Pangeran Aryasetya Danadyaksa terjaga," ucap Senopati Bratajaya.
Tak menunggu lama, Pangeran Aryasetya Danadyaksa langsung memacu kencang kuda poni warna putih mengikuti jalan kecil di samping tebing. Kuda sag pangeran menerabas jalan menurun menuju waduk Gajah Mungkur diikuti oleh rombongan pengawal kerajaan. Ketika tiba tak jauh dari kerumunan warga yang menggelar ritual singkat Pakan Uwel, Pangeran Aryasetya Danadyaksa langsung melompat dari atas kuda yang ditunggangi. Sekali lompatan, ia sampai di ujung dermaga tepat dua langkah di depan gadis yang hendak diselamatkan oleh pangeran.
"Ada apa ini Ragasarpa? Berani-beraninya menginjakkan kaki di wilayah kekuasaan Prabu Astrabhumi. Apalagi membawa hewan jadi-jadian sejelek itu," gertak Pangeran Aryasetya Danadyaksa.
"Punya nyali juga rupanya pemuda anak sepertimu. Dari sikap dan pakaianmu, tak diragukan lagi kamu adalah seorang pangeran, putra dari raja yang terkenal hebat hanya karena keris Nagatapa. Meski kamu tahu namaku, namun sepertinya kamu tak tahu betapa ditakutinya aku di dunia persilatan. Pendekar yang sudah melalangbuana di rimba persilatan saja gentar mendengar namaku, namun kamu yang masih bau kencur berani-beraninya memanggilku dengan nada enteng dan memaki," balas Ragasarpa dengan jumawa.
"Hahaha..... Mungkin di kerajaan seberang, namamu begitu ditakuti. Tapi di sini, di kerajaan Bantala Nagara yang dikuasai oleh ayahanda Prabu Astrabhumi, kamu tiada lain hanya seekor ular tanpa bisa," ledek sang pangeran.
"Lancang sekali. Pendekar sepertimu berani berkata seperti itu. Jangan samakan aku dengan pendekar lain. Bagiku, tak ada bedanya kamu anak raja atau anak rakyat jelata. Aku lebih segan pada pendekar yang berilmu tinggi daripada pada seorang pangeran yang tak pernah bertarung sepertimu."
"Tak perlu banyak cincong, pergi saja dari wilayah kekuasaan Bantala Nagara. Maka, aku ampuni nyawamu. Kalau tidak segera pergi dari sini, aku potong leher ular jelek kesayanganmu itu. Bukan hanya leher ular, lehermu juga," ancam putra raja.
Mendengar kata-kata pedas dari Pangeran Aryasetya Danadyaksa, wajah Ragasarpa memerah. Sepanjang karir kependekaran yang telah dilalui, Ragasarpa tak pernah diusir dan dihina seperti itu oleh seorang anak yang belum banyak makan asam garam dunia persilatan. Maka, ia tak mampu menyembunyikan amarah yang meledak oleh ledekan sang pangeran. Ia melesat cepat, meluncur lurus hendak menerjang menyerang Pangeran Aryasetya Danadyaksa. Gerakannya cepat bagaikan kilat. Semua orang yang melihat tampak mengkhawatirkan nyawa pangeran.
Criiiiiiing....
Tiba-tiba leher Uwel, ular raksasa milik Ragasarpa putus tepat di depan muka putra sulung raja. Pedang sang pangeran tak lagi berada di tempat semula, tak lagi tersemat di pinggang. Namun, sudah menancap dan menembus leher pendekar Ragasarpa. Darah meluap berhamburan dari leher Uwel. Membasahi tubuh pangeran dan gadis di belakangnya. Bahkan, beberapa warga dan pengawal kerajaan ada yang terkena cipratan darah dari sang ular raksasa.
Mata warga dan pengawal kerajaan terbelalak tak percaya melihat kejadian mengejutkan di depan mata mereka. Ragasarpa bersama ular raksasa miliknya takluk hanya oleh satu tebasan pedang sang pangeran. Istungkara dan Kirana Maheswari yang menyaksikan kejadian tersebut dengan posisi terbalik dan teeikat juga kagum dengan kekuatan tebasan pedang Pangeran Aryasetya Danadyaksa. Bahkan, Istungkara yang bisanya tenang dan tak mudah terkejut sampai tak percaya dengan peristiwa itu.
Hanya satu orang yang mengetahui kejadian yang sebenarnya, yakni Mbah Putih. Dengan jelas pendekar sepuh itu melihat gerakan super kilat dari Senopati Bratajaya yang menghunus pedang Pangeran Aryasetya Danadyaksa dan menebas leher Uwel serta menghujamkan tepat di tengah tenggorokan Ragasarpa. Lalu sang senopati menyelam ke dalam danau Gajah Mungkur tanpa meninggalkan jejak apapun.
Sorak sorai bergemuruh dari para warga dan pengawal kerajaan. Mereka mengumandang keharuman nama sang pangeran.
"Hidup Sang Pangeran Aryasetya Danadyaksa. Sang Pewaris Tahta, Sang Raja Muda!"
"Mulai hari ini, Sang Raja Bantala Nagara, Prabu Astrabhumi yang mulia, telah memandatkan kepadaku untuk tinggal di desa ini. Barang siapa yang berani mengacau di Danta Bhumi, maka sama artinya menantangku. Siapa yang berani berulah akan berhadapan denganku!" teriak pangeran yang disambut sorak sorai dukungan dari warga.
Sementara itu, dataran kecil di tengah danau tiba-tiba muncul di penglihatan para warga. Daratan tersebut lengkap dengan ratusan bunga Puspa Rasa yang bermekaran. Rupanya, Ragasarpa menggunakan Ajian Kelambu Sewu dengan menggunakan cakra berelemen cahaya. Namun, para warga dan pengawal kerajaan tak menyadari. Lagi-lagi hanya Mbah Putih yang menyadari ajian ini sejak awal. Ajian Kelambu Sewu merupakan teknik ilusi dengan memanipulasi secara visual pemandangan atau wujud benda yang besar dan berefek pada banyak orang.
Akhirnya, Kirana Maheswari bersama Mbah Putih dan Istungkara dilepaskan berdasarkan perintah dari Pangeran Aryasetya Danadyaksa. Bahkan, mereka diberi beberapa tangkai bunga Puspa Rasa untuk dijadikan obat. Ketiganya bergegas kembali ke desa Jawi Bhumi untuk menyelamatkan Satria Braja. Mereka berpacu dengan waktu. []