Mbah Putih membawa Satria Braja ke Laboratorium Padepokan Banteng Mukti. Di dalam laboratorium mereka bertemu dengan Guru Adhidrawa. Pendekar tingkat guru ini merupakan orang yang bertanggungjawab di Unit Penelitian Padepokan Banteng Mukti di laboratorium. Bilik penelitian ini penuh dengan tumpukan kitab penelitian, nyaris menyerupai perpustakaan lengkap dengan lemari buku yang menjulang tinggi. Namun, di ruangan ini ada berbagai peralatan khusus dan obat-obatan. Ruangan ini gambaran dari kombinasi bilik pustaka dan bilik pengobatan padepokan.
"Hormat Mbah Putih, lama tak mampir ke bilik penelitian ini. Ada angin apa yang mendorong Mbah Putih mampir ke sini?" sapa Guru Adhidrawa sambil membungkukkan tubuh saat Mbah Putih dan Satria Braja memasuki ruangan.
"Biasa, aku terlalu sibuk gembala kerbau dan anak-anak calon sanak. Aku butuh bantuan darimu Guru Adhidrawa," ucap Mbah Putih kepada seseorang di depannya.
"Apa kiranya bantuan yang bisa aku lakukan, Mbah Guru?"
"Tolong cari tahu elemen cakra anak ini," kata Mbah Putih sambil melirik Satria Braja.
"Baiklah, Mbah Putih," jawab Guru Adhidrawa kepada Mbah Putih, lalu beralih menatap Satria Braja. "Siapa namamu, anak muda?"
"Satria Braja," jawab anak di samping Mbah Putih.
"Sini. Duduk di sini, Satria Braja," ajak Guru Adhidrawa.
Satria Braja melangkah maju menuju tempat yang ditunjuk Guru Adhidrawa. Lalu duduk di depan guru yang kepala bagian atasnya tak ditumbuhi rambut lagi.
"Boleh aku tahu wukumu?" tanya Guru Adhidrawa pelan-pelan.
Satria Braja melirik ke Mbah Putih, seakan meminta persetujuan dari sosok yang berdiri di sampingnya. Mbah Putih mengangguk, tanda setuju da tak keberatan. Satria Braja, mengetahui maksud Mbah Putih.
"Wukuku Tolu," jawab Satria Braja singkat.
"Secara teori, seharusnya ia memiliki cakra dengan elemen angin yang lebih besar dibanding elemen lain. Sebab, wuku Tolu merupakan titisan Dewa Angin. Sehingga, kemungkinan besar kekuatan Dewa Angin juga mengalir di tubuhnya. Artinya, elemen angin lebih dominan dibanding elemen lain sebagai sumber energi. Namun, untuk memastikan secara teori juga harus diketahui pasaran weton. Apa pasaran wetonmu, Satria Braja?" papar Guru Adhidrawa.
"Pon, Guru Adhidrawa," jawab Satria Braja.
"Pon? Berarti ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Satria Braja mempunya elemen angin yang dominan, berasal dari wuku Tolu dengan Dewa Angin sebagai dewa yang menaunginya. Kemungkinan kedua, elemen air yang dominan berasal dari pasaran weton pon. Sebab, dalam konsep sedulur papat limo pancer yang berkaitan dengan elemen dalam tubuh. Orang yang lahir pada pasaran pon secara alami mempunyai elemen air yang besar dibanding elemen luar atau pratama lainnya," jelas Guru Adhidrawa.
Elemen luar atau pratama yang dimaksud Guru Adhidrawa yakni empat elemen dasar yakni elemen tanah, elemen air, elemen api, dan elemen angin. Elemen pembentuk cakra dalam tubuh seseorang ada tujuh macam yang terbagi menjadi tiga tingkatan. Tingkat paling luar, yakni empat elemen pratama. Secara umum, seseorang memiliki keempat elemen ini namun ada yang dominan dan ada yang hanya kecil sehingga sulit dijadikan sumber energi. Elemen ini bersifat alami namun bisa juga diperkuat dengan dilatih. Sementara cakra elemen madya merupakan sumber sumber energi lanjutan yang seringkali didapat dari hasil latihan khusus. Elemen madya ada dua macam, yakni elemen suara dan elemen cahaya. Terakhir, tingkat tertinggi adalah cakra utama atau biasa disebut inti cakra yang hanya terdiri dari satu elemen, yaitu elemen mahkota. Hanya orang tertentu yang mampu mencapai dan mengendalikan elemen ini.
Dalam konsep sedulur papat limo pancer yang merupakan peninggalan pengetahuan leluhur Jawi Bhumi, dikaitkan dengan elemen dalam tubuh manusia. Terutama berkaitan dengan elemen pratama yakni empat elemen dasar. Seseorang yang lahir pada pasaran Wage, diketahui mempunyai elemen tanah yang besar. Pon untuk elemen air, Pahing untuk elemen api, dan Legi untuk elemen angin. Sementara pasaran weton Kliwon bersifat acak, bisa di antara keempatnya. Seseorang bisa juga menguasai satu atau dua elemen sekaligus. Bahkan, ada yang mampu menguasai ketujuh elemen, namun sangat langka. Dan tentunya, tak sembarang orang. Ia harus memang orang yang terpilih, berbakat,. dan mampu mengasahnya hingga level tertinggi.
"Berarti, aku punya dua elemen dominan. Elemen angin dan elemen air?" tanya Satria Braja.
"Bisa jadi seperti itu. Tetapi umumnya hanya salah satu yang paling dominan. Jika bukan elemen angin berarti elemen air. Oleh karena itu, agar bisa dipastikan perlu dilakukan tes obat," ujar Guru Adhidrawa.
"Tes obat?" tanya Satria Braja heran.
"Iya, tes obat. Suatu cara untuk mengetahui elemen cakra dalam tubuh seseorang dengan metode Larutan Gabungan. Yakni, minum Larutan Hijau untuk melarutkan elemen dominan dalam darah. Selanjutnya, sampel darah diambil untuk diteteskan pada Larutan Biru. Apabila Larutan Biru berubah warna menjadi hitam, berarti elemen terkuat adalah elemen tanah. Bila larutan berubah warna menjadi kuning, artinya elemen dominan adalah elemen air," jelas Guru Adhidrawa dengan seksama.
"Bagaimana mengetahui elemen angin yang dominan?" tanya Satria Braja penasaran.
"Untuk mengetahui elemen angin yang dominan, yakni apabila Larutan Biru berubah warna menjadi putih setelah ditetesi oleh sampel darah yang bercampur Larutan Hijau. Namun, apabila larutan tersebut berubah menjadi merah, maka artinya elemen api yang dominan," imbuh Guru Adhidrawa.
"Aku semakin penasaran dengan elemen apa yang dominan di dalam tubuhku. Ayo Guru Adhidrawa, kita mulai," pinta Satria Braja yang bersemangat.
Guru Adhidrawa segera meracik ramuan khusus yang ia beri nama Larutan Hijau dan Larutan Biru, menyesuaikan dengan warna cairan masing-masing. Larutan Hijau berwarna hijau, sedangkan Larutan Biru berwarna biru. Selesai membuat dua larutan tersebut, ia menyuruh Satria Braja untuk minum Larutan Hijau. Satria Braja diminta berbaring sesaat. Menunggu agar Larutan Hijau mengikat elemen cakra dalam aliran darah. Tak begitu lama, ia menusuk jari Satria Braja dengan jarum khusus. Lalu meneteskan beberapa tetes darah ke dalam Larutan Biru. Guru Adhidrawa menggoyang-goyangkan wadah bening larutan berwarna biru itu. Ia menunggu reaksi dari percampuran antara Larutan Biru dengan darah dari jari Satria Braja. Setelah menunggu lama, ternyata Larutan Biru itu tetap membiru. Tak ada yang berubah.
"Sesuatu yang tak beres terjadi, Mbah Putih. Seharusnya Larutan Biru sudah berubah warna. Entah menjadi putih, hitam, kuning, atau merah. Namun, tak ada reaksi apapun di larutan ini," kata Guru Adhidrawa.
"Maksudnya?" tanya Mbah Putih bingung.
"Artinya, metode larutan gabungan tidak bisa mendeteksi elemen cakra dalam tubuh Satria Braja. Kemungkinan ada suatu masalah dalam diri Satria Braja sehingga aliran cakranya tidak mampu dideteksi dengan metode larutan gabungan," jelas Guru Adhidrawa.
Mbah Putih berusaha tenang, meski ia heran terhadap penjelasan Guru Adhidrawa. Bagaimana mungkin, metode larutan gabungan yang selama ini dikenal ampuh untuk mengetahui cakra seseorang tak berlaku pada diri Satria Braja. Sementara secara teori, ada dua kemungkinan elemen angin dan elemen air. Mbah Putih sudah mencoba melakukan serangkaian percobaan agar elemen angin milik Satria Braja keluar, apabila ia punya. Namun, nyatanya Satria Braja tak mampu menunjukkan potensi elemen angin meski sedikit. Mungkinkah elemen cakra Satria Braja yang dominan adalah elemen air?
"Mungkinkah ada cara lain untuk mengetahui elemen cakra Satria Braja?" tanya Mbah Putih penuh harap.
Guru Adhidrawa geleng-geleng. Melihat gerakan kepala Guru Adhidrawa, raut kesedihan menempel lekat di wajah Satria Braja.
"Namun...." ucap Guru Adhidrawa yang tak diteruskan.
"Namun apa, Guru Adhidrawa?" tanya Satria Braja tak sabar.
"Masih ada satu cara untuk mengetahui masalah dalam tubuh Satria Braja. Sehingga bisa mengetahui mengapa aliran cakra Satria Braja bermasalah," jawab pendekat tingkat guru itu.
"Caranya?"
Satria Braja semakin penasaran. Ia tetap berharap segera menemukan jawaban terhadap elemen apa yang dominan di dalam tubuhnya. Ia sangat ingin memiliki elemen angin agar bisa terbang. Lebih dari itu, ia ingin menjadi kuat dan hebat sebagai pengendali elemen angin untuk mewujudkan mimpinya sebagai seorang senopati.
"Ajian Raga Sukma," jawab Guru Adhidrawa.
"Apa? Bukankah Ajian Raga Sukma salah satu ajian yang sangat beresiko untuk penggunanya? Bisa-bisa pengguna ajian tersebut tak bisa kembali ke tubuhnya dan sukmanya tersesat di dimensi lain," ujar Satria Braja.
"Benar, ajian ini sangat berbahaya bagi penggunanya. Menggunakan ajian ini sama artinya berjudi. Peluang hidup dan mati, sama besarnya," ucap Guru Adhidrawa menguatkan pendapat Satria Braja.
"Lantas, Guru Adhidrawa hendak mempertaruhkan nyawa dengan menggunakan Ajian Raga Sukma?" tanya Satria Braja terharu.
"Aku belum mampu melakukan Ajian Raga Sukma karena hanya pendekar yang sudah mencapai tingkatan cakra utama yang bisa melakukannya. Hanya pendekar yang bisa mengendalikan elemen mahkota, yang mampu melakukan Ajian Raga Sukma. Dan, belum tentu sukma mereka bisa kembali ke raganya," tandas pendekar yang bertanggungjawab di Unit Penelitian Padepokan Banteng Mukti itu.
"Lalu, siapa yang bisa melakukan Ajian Raga Sukma?" tanya Satria Braja kepada Guru Adhidrawa.
"Aku," jawab Mbah Putih. []