Seusai latih tanding, Satria Braja menghampiri Waring Alit dan Wulung Tole. Wajah mereke terlihat letih. Keringat mereka belum kering sepenuhnya. Mereka hendak pulang ke rumah masing-masing. Terkadang mereka bertiga pulang bersama-sama seusai latihan. Apalagi, rumah Satria Braja dan Wulung Tole bisa dikatakan berdekatan, tak terlalu jauh. Rumah mereka searah jika pulang dari padepokan. Bedanya, rumah Waring Alit lebih dekat dari padepokan.
"Jangan lupa besok ada festival desa, kita berangkat bersama-sama ya," ajak Satria Braja kepada dua temannya.
"Oh iya, besok ada festival desa. Asyik. Aku sampai lupa kalau besok ada festival desa," sahut Waring Alit.
"Kalau aku tak mungkin lupa, di sana banyak penjual makanan. Enak-enak lagi," ucap Wulung Tole.
Saban tahun, desa Jawi Bhumi menggelar festival desa. Sebuah acara yang diadakan dengan tujuan untuk mensyukuri berkah dari para dewa atas panen dan keselamatan warga desa. Festival tersebut diramaikan dengan berbagai pertunjukan untuk menghibur warga seperti pertunjukan wayang kulit, pentas seni ketoprak, hingga lomba ketangkasan. Tentunya ada ritual khusus yang bersifat sakral. Namun, bagi anak-anak seperti Satria Braja, Waring Alit, dan Wulung Tole, aneka jajanan yang dijajakan saat festival adalah perhatian utama. Apalagi Wulung Tole yang hobi makan. Selain itu, keluarga Wulung Tole termasuk keluarga yang terpandang karena kaya dan ayahnya seorang saudagar.
"Hei Istungkara, besok kami akan berangkat ke festival desa bersama-sama. Kamu mau ikut bergabung dengan kami?" sapa Wulung Tole ketika melihat Istungkara lewat di depan mereka.
Istungkara tak segera menjawab. Ia menghentikan langkah dan menatap Satria Braja.
"Tidak, aku tidak tertarik," ucap Istungkara singkat. Ia melanjutkan langkah dan mengabaikan mereka.
"Sombong amat," gerutu Satria Braja pelan.
"Ya sudah, mari kita pulang. Besok jangan lupa kita berangkat bersama," kata Waring Alit.
"Ayo, pulang," timpal Satria Braja dan Wulung Tole hampir bersamaan.
Mereka melangkah bersama meninggalkan padepokan. Setiap sore, mereka harus kembali ke padepokan untuk mengantarkan kerbau-kerbau ke kandang dari Oro-oro Ombo, tempat menggembala. Sementara Istungkara tetap di padepokan. Sebab, padepokan adalah tempat menginap. Ia tinggal di asrama padepokan dengan sejumlah murid lain. Asrama padepokan diperuntukkan untuk mereka yang tidak punya tempat tinggal atau yatim piatu.
***
Alun-alun desa Jawi Bhumi yang terletak tepat di depan Kantor Perwakilan Kerajaan Bantala Nagara, ramai. Hiruk pikuk terdengar dari jauh. Orang-orang berlalu lalang. Para pedagang berjejeran. Para pengemis tumpah ruah mengharap rejeki dari tangan-tangan dermawan. Di tengah alun-alun, pentas seni ketoprak menjadi primadona dengan kerumunan penonton yang duduk tanpa alas di tanah. Hanya sedikit yang duduk di kursi empuk, tempat terdepan yang berisi orang-orang kaya dan disegani.
Tampak jelas status sosial dalam festival ini. Orang-orang kaya dan pejabat perwakilan kerajaan berpakaian mewah dengan baju cerah dan gemerlap. Baju mereka tampak baru dan bersih. Sementara warga yang tak punya harta, sebagian besar memanfaatkan festival ini untuk mengemis. Sisanya hanya sekedar ingin menghibur diri dengan menonton hiburan. Para pria kebanyakan tak memakai baju, hanya memakai celana usang. Sementara para wanita tampak sederhana dengan kemben lusuh. Berbeda jauh dengan pakaian orang-orang berharta. Selain itu, satu hal yang sangat tampak untuk membedakan sang kaya dan si miskin di festival ini. Yakni, orang miskin tak memakai alas kaki dan si kaya memakai sepatu yang bagus.
Wulung Tole mondar-mandir dari satu pedagang ke pedagang yang lain. Ia mencari berbagai macam jajanan yang menarik mata, memikat hati, dan memanjakan lidah. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia dari golongan orang terpandang dan berharta. Sepatu berujung lancip dengan warna mengkilap perak. Celana warna emas dan gemerlap. Bajunya seperti emas yang bersinar, menyilaukan mata. Sementara dua orang berpakaian sederhana terkesan lusuh dan tanpa alas kaki yang setia mengikuti langkahnya. Tentu saja, mereka adalah Satria Braja dan Waring Alit.
"Lihat ini, ini makanan kesukaanku tritik-genik," teriak Wulung Tole sambil mengambil jajanan yang dibungkus daun pisang. "Wow.... Ada klepon, nagasari, dan dumbeg."
Satu per satu makanan itu, diambil dan langsung disantap di tempat. Satria Braja hanya menelan ludah melihat betapa lezat dan cepat cara makan Wulung Tole. Sementara Waring Alit terlihat kesal dengan Wulung Tole yang telah menyantap berbagai macam jajanan tanpa menawari teman.
"Makan jajan lagi? Perutmu punya tempat yang tak terbatas untuk makanan. Untung uangmu juga tak terbatas," ucap ketus Waring Alit.
Mendengar perkataan itu, Wulung Tole menangkap kesan kekesalan di raut muka Waring Alit. Sehingga ia mencoba mencairkan suasana dengan mentraktir Satria Braja dan Waring Alit.
"Tenang aja, kali ini kalian boleh pilih jajanan apa yang kalian suka," ucap Wulung Tole.
"Kalau hanya memilih jajan, tanpa kamu suruh, kami juga bisa. Bayarnya bagaimana? Itu yang terpenting," sahut Satria Braja.
"Ambil saja. Urusan bayar biar aku saja," kata Wulung Tole.
"Serius?" tanya Satria Braja penuh keraguan.
"Iya, aku serius. Asal jangan banyak-banyak," lanjut anak bertubuh tambun dengan pakaian gemerlap.
"Nah, kalau gitu kan enak. Dari tadi kami hanya melihatmu makan sebanyak itu, tanpa ditawari, kayak pengawal saja," timpal Waring Alit.
Tak menunggu lama, keduanya memilih beberapa makanan yang langsung dimasukan mulut.
"Ingat, jangan banyak-banyak. Mulutmu sudah penuh dengan makanan tapi tanganmu masih mengambil lagi," tegur Wulung Alit kepada Satria Braja.
"Kapan lagi makan enak, kalau tidak sekarang," jawab Satria Braja sambil memasukkan nagasari ke dalam mulut yang penuh makanan.
"Eh, lihat. Bukankah itu Istungkara? Wow dia jalan sama gadis cantik. Pantesan dia tak mau bareng kita," sela Waring Alit sambil menunjukkan posisi Istungkara berada kepada dua rekan sejawatnya.
"Mana... Mana... Oh iya, itu Istungkara," tandas Wulung Tole.
Satria Braja memandang jauh Istungkara yang sedang berjalan dengan gadis yang ia kenal. Tentu, Satria Braja mengenal gadis itu. Selain pernah ditolong dan diobati olehnya, ia juga suka gadis itu. Gadis beralis ulat bulu, Kirana Maheswari. Di tengah lamunannya terhadap Kirana Maheswari, ternyata Wulung Tole dan Waring Alit sudah tak berada di sampingnya. Ia sudah menemui Istungkara. Satria Braja mau tak mau harus menyusul mereka.
Satria Braja setengah berlari ke arah Istungkara berada. Istungkara sedang mencoba permainan uji ketangkasan dan sasaran. Saat Satria Braja tiba, Istungkara sudah berhasil memasukkan tiga menjalin yang dibuat melingkar. Tongkat setinggi lutut orang dewasa yang menancap di tanah sudah terisi tiga menjalin hasil lemparan Istungkara.
"Lemparan yang bagus, tuan muda. Tiga lemparan, tiga kali pula menjalin yang masuk tepat sasaran. Empat kali lagi, anda berhak mendapatkan hadiah utama berupa boneka besar dari akar wangi," ucap penjual jasa permainan lempar menjalin.
Istungkara melempar menjalin keempat, masuk lagi. Tepuk tangan meriah diberikan dari para penonton yang mengerubungi permainan itu. Jarak antara posisi pelempar menjalin dan tongkat yang menancap di tanah sejauh dua puluh langkah. Lemparan kelima, masuk lagi. Satria Braja melihat wajah Kirana Maheswari tersenyum girang sambil tepuk tangan setiap kali Istungkara berhasil memasukkan menjalin ke dalam tongkat. Istungkara bersiap melakukan lemparan keenam, Satria Braja berharap Istungkara gagal. Namun akurasi lemparan Istungkara sangat bagus dan tepat saran, menjalin keenam masuk lagi.
"Satu kali lagi dan boneka besar ini milik anda, tuan muda," ucap sang penjaja permainan.
"Ayo, kamu bisa kawan," ucap Waring Alit memotivasi.
Istungkara mengambil menjalin ketujuh. Ia bersiap melakukan lemparan. Menjalin dilempar, bergerak cepat menuju sasaran. Jari tangan Satria Braja bergerak pelan mengeluarkan elemen angin ke arah menjalin yang terbang menuju tongkat. Menjalin hanya membentur tongkat, terpental. Tak masuk. Istungkara gagal. Lebih tepatnya, berhasil digagalkan oleh Satria Braja dengan cakra elemen angin.
"Sayang sekali tuan muda, anda gagal pada lemparan ketujuh. Boneka besar dari akar wangi ini belum rejeki anda. Ayo, siapa lagi yang berani mencoba dan membuktikan keterampilan lempar menjalin," seru orang yang mengambil menjalin di tongkat itu.
"Aku," jawab Satria Braja lantang.
"Traktir aku untuk permainan ini ya. Biar aku kalahkan Istungkara," bisik pelan Satria Braja ke telinga Wulung Tole.
"Baiklah. Jadi semakin menarik ini," jawab lirih Wulung Tole sambil memberikan sekeping uang ke tangan Satria Braja.
Satria Braja berjalan ke penjual jasa permainan lempar menjalin. Ia memberikan sekeping uang, lalu menerima tujuh menjalin untuk dilempar ke tongkat. Lemparan pertama, masuk tepat sasaran. Tentu dengan bantuan elemen angin yang dimiliki. Tepuk tangan terdengar untuk Satria Braja, terkeras tepuk tangan dari Wulung Tole. Ia menjagokan Satria Braja.
"Awal yang sempurna, tuan muda," puji penjaja jasa lempar menjalin
Satria Braja melempar menjalin kedua, masuk lagi. Menjalin ketiga, kembali tepat sasaran. Lemparan keempat dan kelima, berhasil mendarat sempurna. Enam menjalin bertumpuk melingkari tongkat setinggi lutut. Satria Braja bersemangat melihat wajah Kirana Maheswari yang tersenyum dan ikut tepuk tangan saat menjalin lemparannya masuk.
"Ayo satu kali lagi, Satria Braja. Kamu pasti bisa," dukung Wulung Tole.
"Jika tuan muda mampu melemparkan menjalin itu ke dalam tongkat, boneka besar akar wangi ini menjadi milik anda. Satu lemparan lagi, anda akan memenangkan permainan ini," ucap sang penjaja jasa.
Satria Braja bersiap melakukan lemparan terakhir. Tangannya mengayun, pergelangan tangan bergerak, jari-jari tangan kanan melempar menjalin sambil melepaskan cakra elemen angin. Menjalin bergerak di udara, meluncur cepat, mendarat tepat sasaran. Satria Braja berhasil memenangi lomba. Ia dan Wulung Tole melompat senang merayakan kemenangan. Tepuk tangan meriah menyambut kemenangan Satria Braja. Sang penjaja jasa permainan lempar menjalin menghampiri Satria Braja dan menyerahkan boneka besar dari akar wangi.
"Selamat tuan muda, anda adalah sang juara di permainan kami. Anda yang terbaik," sanjung sang penjaja jasa.
Setelah menerima boneka akar wangi itu, Satria Braja berjalan menuju Kirana Maheswari. Wulung Tole dan Waring Alit berada di kanan-kiri pemenang lempar menjalin itu. Satria Braja memberikan boneka besar itu kepada Kirana Maheswari.
"Ini untukmu, Kirana Maheswari. Sebagai ucapan terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku," kata Satria Braja.
"Terima kasih, Satria Braja. Boneka ini sangat cantik," ucap Kirana Maheswari sambil tersipu malu.
Istungkara berjalan di depan Satria Braja. Lalu menghampiri Satria Braja dan berbisik ke telinganya. "Dasar curang, permainan seperti ini saja menggunakan cakra elemen angin," bisik Istungkara sambil berjalan meninggalkan Satria Braja.
"Iri bilang kawan," balas Satria Braja sambil menjulurkan lidah. []