Hamparan padi menguning terbentang sejauh mata memandang. Gemericik air aliran sungai memanjakan telinga para petani. Tubuh mereka basah kuyup oleh keringat. Meski tampak lelah namun tersirat rasa bahagia dari mata para petani. Musim panen tiba dengan berlimpah di Desa Jawi Bhumi.
Beberapa petani sibuk memanen padi. Empat orang pria memotong padi, lalu mereka mengangkutnya ke tepian sawah. Sementara tiga wanita memukulkan padi yang telah dipotong pada tatakan kayu untuk memisahkan jerami dengan bulir padi atau gabah. Setelah semua padi dipotong, para pria beralih tugas memasukkan gabah ke dalam karung kain.
Aryasuta Cadudasa memerhatikan aktivitas para petani itu dari bawah pohon Mahoni sambil berteduh, meski matahari sudah condong ke barat. Ia sendirian, tanpa kawalan. Sang pangeran menyamar menjadi rakyat biasa dengan caping di atas kepalanya dan pakaian compang-camping.
Dari kejauhan Aryasuta Cadudasa melihat enam orang berpakaian selayaknya prajurit kerajaan menarik cikar yang ditarik dua ekor sapi. Ternyata mereka mendatangi para petani yang sedang memanen padi. Sesampainya di depan para petani, mereka langsung mengangkut satu per satu karung berisi padi. Ketika karung kedua belas dinaikan ke atas cikar, salah satu petani berusaha mencegah sambil memohon.
"Tolong tuan, sisakan cukup gabah untuk kami. Kemarau sebentar lagi, kami harus menyimpan padi jika paceklik terjadi," kata seorang petani pria yang sudah tua sambil mencium kaki salah satu prajurit.
Si prajurit tidak menjawab, justru menendang orang tua itu hingga tersungkur. Beberapa petani langsung berusaha menolong orang tua yang tersungkur tadi. Sementara prajurit lain tetap menaikkan beberapa karung ke atas cikar. Mereka menyisakan lima karung untuk para petani dan mengambil 20 karung yang diangkut dengan cikar.
"Jangan pernah melawan kerajaan kalau masih ingin hidup. Ini adalah upeti untuk kerajaan," bentak prajurit yang menendang orang tua itu.
Lantas enam orang prajurit itu meninggalkan para petani malang itu.
Aryasuta Cadudasa melihat kejadian tersebut dari kejauhan sempat bergerak satu langkah, namun ia mengurungkan niatnya untuk memarahi para prajurit. Meski ia tak dengar percakapan antara prajurit dan petani, sang pangeran menilai tindakan prajurit itu kelewatan. Namun ia sadar, saat ini ia sedang menyamar.
Rombongan prajurit berjalan menjauh menuju Kota Garuda Bhumi untuk menyerahkan padi kepada kerajaan. Sementara sang pangerang mengambil jalan berlawanan menuju pemukiman Jawi Bhumi.
Menjelang senja, Aryasuta Cadudasa sampai di sebuah kedai di pinggir pemukiman. Matanya tertuju pada suatu keributan. Tampak tiga orang dewasa sedang menginjak-injak seorang anak. Darah mengucur dari dahi dan hidung anak itu.
"Bocah tengik, ini kali kedua kamu mencuri di warungku. Berani mencuri lagi, aku patahkan tanganmu!" ancam pria bertubuh kekar dan berkumis lebat.
Setelah puas menghajar anak itu, ketiganya masuk ke kedai. Membiarkan anak itu terkapar bersimbah darah. Mata anak itu lebam menghitam. Matanya terbuka pelan. Bola matanya bergerak gesit mencari sesuatu. Gerak bola matanya terhenti saat melihat sepotong singkong sebesar kepalan tangannya. Sepotong singkong yang kotor terkena tanah itu ia ambil, langsung ia masukkan ke mulut tanpa dibersihkan. Ia makan singkong itu sambil memejamkan mata dan tetap tergeletak di depan kedai.
Sang pangeran hanya memperhatikan dengan seksama, lalu mencoba mendekat. Anak pencuri singkong itu tetap tak bergerak, bahkan matanya masih terpejam. Dadanya bergerak pelan naik turun. Suara nafas terdengar berantakan. Lalu sang pangeran dengan pakaian compang-camping berusaha membantu anak itu berdiri. Anak itu kaget ketika tangan pangeran menyentuh lengannya. Seketika saja, ia membuka mata dan terkejut.
Keduanya berpindah tempat menjauh dari kedai. Aryasuta Cadudasa menuntun anak itu berjalan. Ia melihat wajah anak yang babak belur itu, tak tampak sama sekali penyesalan seorang pencuri.
"Kenapa kamu mencuri?" selidik sang pangeran.
"Minta minum," ucap anak itu sambil melirik kantong minuman di pinggang pangeran.
Tanpa berkata, pangeran menyodorkan kantong minumnya. Anak itu langsung menyambar dan meneguk habis air di dalam kantong tersebut.
"Aku kelaparan, seharian belum makan," ucap anak itu.
Tiba-tiba anak itu berlari kencang lalu menghilang saat berbelok di sebuah gang. Pangeran hanya diam, terheran-heran. Pangeran berdiri, membalikkan badan dan berjalan menuju kedai. Ketika di depan pintu kedai, ia baru tersadar kantong uangnya raib.
"Sialan, bocah itu mencuri uangku," gumam Aryasuta Cadudasa.
Kriiiucukkk... Kriiucukkk... Perut pangeran berbunyi tanda lapar datang. Ia hanya mampu memegangi perut dan berjalan lesu.
***
Bulan tenggelam. Bintang pun hilang. Gelap. Langit hitam tanpa cahaya. Mendung berkuasa atas malam. Tawa kegirangan memecah tengah malam yang sunyi. Dua orang melintas di suatu sudut desa Jawi Bhumi. Seseorang di antaranya berjalan sempoyongan karena mabuk. Sementara satu orang lain berjalan tegap menjaga orang yang mabuk itu.
"Malam ini, aku menang banyak. Akulah sang dewa judi. Kita habiskan uang ini, lalu berjudi kembali besok. Hahaha," oceh si pemabuk.
Lawan bicara hanya diam. Melangkah penuh hati-hati. Mata menatap jalan lurus ke depan. Tubuhnya lebih besar dari si pemabuk. Pedang tersapasang di pinggang.
Empat orang serba hitam tiba-tiba menahan langkah mereka. Mengejutkan pria pembawa pedang bertubuh besar itu. Dengan cepat, ia menghunus pedangbdan bersiap mengayunkan kepada seseorang serba hitam di depannya.
"Sabar, aku tak suka kekerasan. Serahkan saja uangnya," perintah salah satu pria berpakaian serba hitam.
Si pembawa pedang langsung menerjang, namun sosok tersebut bisa menghindar.
"Baiklah, kami terpaksa menggunakan kekerasan jika itu yang kalian inginkan," ancamnya sambil bergerak menghindari tebasan pedang.
Pria serba hitam lainnya, berupaya merebut uang yang ada di tangan si pemabuk namun gagal karena dengan gesit pedang meluncur ke belakang melindungi si pemabuk yang diam gemetaran.
Keributan kecil itu membangunkan Aryasuta Cadudasa yang tidur di atas pohon di seberang mereka. Sang pangeran diam-diam memperhatikan pertarungan mereka. Tampak empat orang serba hitam mengepung seorang yang membawa pedang. Pemabuk diabaikan.
Tebasan pedang dilakukan pria bertubuh besar itu dengan membabi buta. Semuanya meleset bisa dihindari. Pukulan dan tendangan dari keempat sosok serba hitam itu secara bergantian mengenai tubuhnya. Hingga akhirnya, pedang tajam itu terlepas dari genggaman. Tendangan beruntun telak mengenai perut, dada, dan wajah. Sehingga pria penjaga pemabuk itu terkapar tak sadarkan diri.
Salah satu gerombolan serba hitam itu mendatangi si pemabuk dan merampas semua uang yang ada dipegangnya. Pemabuk itu tak melawan. Ia ketakutan. Bahkan, ngompol di celana sebelum, akhirnya melarikan diri dengan jurus kaki seribu hilang dalam gelap malam.
Tiba-tiba pangeran melompat dari dahan pohon tempatnya tidur. Kini ia berada di tengah-tengah para pria serba hitam. Keempat pria itu memperhatikan sosok bercaping dengan pakaian compang-camping.
"Ada keperluan apa, kawan?" tanya salah satu pria pada pangeran.
"Aku mau menghajar kalian," jawab pangeran dengan tegas sambil menatap lurus pria yang membawa sekantong uang di tangannya.
"Biar saya saja yang melawannya," ucap salah satu dari mereka.
Tiga orang lainnya tersenyum kecil. Tampaknya Aryasuta Cadudasa hendak menggunakan elemen api dalam pertarungan itu. Tubuhnya diselimuti aura warna kuning. Kedua tangannya terangkat ke samping menyerupai bentuk sayap. Kaki kanannya naik menjauh dari tanah, lutut ditekuk. Kaki kiri menjadi tumpuan di atas tanah. Sorot mata tajam laksana mata garuda.
Kaki kanannya menendang lurus ke depan mengincar ulu hati lawan. Namun berhasil ditangkis. Lawan melakukan serangan balik dengan tendangan berputar. Pangeran sempat menghindar mundur dua langkah. Pukulan lawan datang, pangeran menangkis. Serangan pukulan bertubi-tubi, kanan kiri. Pangeran tetap bertahan, sambil menunggu kesempatan untuk menyerang. Ia terpaksa mundur hingga dekat dengan pohon.
Tiba-tiba ia membalikkan badan dan berlari menuju pohon. Lawan mengejar. Pangeran menendang batang pohon lalu memutar tubuhnya di atas lawan dan mendaratkan Tinjugeni pada leher lawan. Pukulannya tepat pada sebuah gambar gagak hitam di leher. Lawan tersungkur kesakitan.
"Tinjugeni ya? Lawan!" perintah pemimpin kelompok kepada dua orang lainnya.
Keduanya segera menyerang pangeran. Salah satunya berhasil menjatuhkan pangeran dengan sapuan. Namun pangeran segera berguling menghindari tendangan susulan. Bahkan, pangeran bisa menendang punggung lawan meski dari posisi lebih rendah. Ia berdiri. Lawan lain menyambut dengan tendangan. Ia tak sempat menghindar. Telak, tendangan itu menyasar ulu hati. Linu.
Tanpa pangeran sadari, lawan lainnya berada di belakang. Menangkapnya. Ia berusaha melepaskan diri namun kesulitan. Ketika sibuk berupaya melepaskan diri, tendangan dan pukulan silih berganti menghajar perut. Ia pusing dan kesakitan. Pangeran ambruk ke tanah ketika orang di belakangnya melepaskan cengkeraman pada dirinya.
Pemimpin kelompok menghampiri pangeran yang hampir pingsan itu. Ia mengeluarkan beberapa keping uang dari kantong rampasan milik pemabuk. Kepingan uang itu ia jatuhkan di depan pangeran.
"Jika ingin menjadi kuat bergabunglah bersama kami. Demi sebuah mimpi tentang dunia tanpa penindasan, hidup tanpa penderitaan, dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat," ucap pemimpin kelompok itu sambil berjalan meninggalkan Pangeran Aryasuta Cadudasa. []