Chereads / Satria Braja / Chapter 6 - Puspa Rasa

Chapter 6 - Puspa Rasa

Sinar matahari pagi memudarkan kabut tipis di Padepokan Banteng Mukti. Embun bening menghiasi rerumputan. Seorang gadis memakai kemben dan kain jarik melangkah pelan. Langkahnya penuh rasa bersalah. Begitu tiba di plataran Joglo Alit. Ia terhenti sejenak. Berdoa sebentar.

Gadis itu tiada lain adalah Kirana Maheswari. Ketika ia hendak menaiki undak-undakan Joglo Alit. Sesosok anak laki-laki menyalip. Langkah anak itu cepat tanpa keraguan.

Ternyata ada anak lain yang hari ini mendapat hukuman, pikir Kirana Maheswari.

Begitu memasuki Joglo Alit, ia melihat beberapa orang sudah menunggu, salah satunya seorang pemuda berusia 28 tahun yang menjabat sebagai Mbah Wakil Ketua. Posisi tertinggi kedua, setelah Ketua Sepuh. Panggilan mbah di padepokan ini bukan hanya untuk orang tua saja. Namun, panggilan mbah merupakan simbol penghormatan kepada mereka yang dituakan dan dihormati. Meski masih muda, Mbah Wakil Ketua merupakan orang yang sangat dihormati, sehingga panggilan mbah melekat pada dirinya. Ia juga seorang pendekar tingkat mbah, satu tingkat di atas guru.

Di sebelah kanan Mbah Wakil Ketua, ada Mbah Putih. Tampak seorang wanita seusia 25 tahun di samping kiri Mbah Wakil Ketua. Bau wangi semerbak menyebar di ruangan berasal dari wanita itu. Bau wangi itu akrab terhadap hidung Kirana Maheswari. Sebab, pemilik wangi yang sangat khas itu adalah Guru Kirana Maheswari di Unit Pengobatan Padepokan, yakni Guru Ambarwati.

Mereka duduk di kursi utama di Bilik Balinda, tempat penghakiman terhadap para pendekar padepokan yang melakukan kesalahan. Kirana Maheswari duduk, menyatukan kedua lutut yang menempel di lantai. Tubuhnya tegak menjulang bertumpu pada tumit dan telapak kaki yang mempel di pinggul. Di samping Kirana Maheswari ada seorang anak laki-laki duduk bersila dan sempat mencuri pandang ke arahnya. Istungkara dan Kirana Maheswari menghadap kursi baudenda, kursi para hakim.

"Selamat datang, Sanak Kirana Maheswari dan Istungkara di Bilik Balinda. Berdasarkan catatan padepokan, ini merupakan kali pertama bagi kalian memasuki ruang sidang ini," kata Mbah Wakil Ketua.

"Betul, Mbah Wakil Ketua. Aku baru melakukan kesalahan besar satu kali. Selama ini, aku berusaha sepatuh mungkin terhadap peraturan padepokan," sahut Kirana Maheswari.

Sementara, Istungkara hanya diam tanpa reaksi apa pun. Istungkara hanya diam, tenang, dan terkesan cuek.

"Baiklah kalau Sanak Kirana Maheswari mengakui kesalahannya tadi malam. Bahwa hanya petugas berwenang yang boleh memasuki Pusat Pustaka Rahasia. Di dalam ruangan ada kitab yang tidak boleh dibaca oleh sembarang orang, salah satunya tentang wuku dan weton pendekar di padepokan ini. Wuku dan weton merupakan data pribadi seseorang dan termasuk data yang perlu dirahasiakan. Pertanyaan untuk Kirana Maheswari, bagaimana Sanak bisa memiliki kemampuan tentang pawukon? Padahal di dalam kitab hanya menulis data soal weton dan wuku Satria Braja. Tapi Sanak tahu soal kelemahan Satria Braja," cecar Mbah Wakil Ketua.

"Ibuku adalah salah satu orang yang punya Kitab Pawukon. Wuku ibu, Sungsang. Dewa penjaganya, dewa pengetahuan atau Batara Gana. Tak heran, kalau ibu sangat mencintai ilmu, salah satunya ilmu membaca wuku atau pawukon. Sehingga beliau sangat paham tentang watak dan nasib seseorang. Sejak kecil, ibu sering mendongengkan tentang asal usul wuku, para dewa penjaga, hingga takdir seseorang. Salah satunya, soal takdir ibu dan ayah."

Kirana Maheswari diam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Hembusan nafasnya berubah jadi berat.

"Pada suatu malam, desa kami diserang oleh kawanan serigala yang dipimpin Srigala Manggala. Ibu meminta ayah melarikan diri, karena wuku ayah adalah Tolu yang tak boleh kena gigitan, sengatan, atau tandukan hewan. Wuku Tolu sangat apes jika berhadapan dengan hewan. Sehingga, ibu melarang ayah bertarung. Sebetulnya, ibu tahu wuku Sungsang juga tidak cocok melawan Srigala Manggala yang mempunyai tombak. Wuku Sungsang apes jika tertusuk besi. Oleh karena itu, ayah tak mau melarikan diri. Akhirnya, keduanya bertarung menjemput takdir mereka sekaligus bukti keteguhan cinta mereka. Ibu meninggal oleh tombak dan ayah digigit serigala," ungkap Kirana Maheswari.

Ia mengambil nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan cerita.

"Setelah mereka meninggal, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menguasai pawukon agar bisa menghindar dari takdir atau menyelamatkan orang lain. Oleh karena itu, aku mendalami pawukon dan ketabiban."

"Lalu apa yang kau ketahui tentang sakit Satria Braja. Bukankah kau sempat bilang, mengetahui obatnya setelah melihat wuku Satria Braja," tanya Mbah Putih.

"Betul Mbah Putih, saya sudah mengetahui obat dari penyakit Satria Braja. Obatnya adalah bunga Puspa Rasa yang merupakan bunga air. Orang dengan wuku Tolu, dijaga oleh Dewa Angin atau Batara Bayu. Sehingga berpotensi punya cakra elemen angin yang besar. Apabila terkena tandukan, segel cakra rusak. Mungkin bocor. Cakranya menyesaki tubuh hingga otak, namun tak bisa keluar dari tubuh. Aliran energi menjadi terhambat dan tak lancar. Ia seperti orang yang ditotok. Hidup tapi tak bisa bergerak. Satria Braja sakit cukup parah. Bahkan, menggerakkan mata agar terbuka saja tak mampu. Bunga Puspa Rasa bisa memperbaiki segel cakra elemen angin milik Satria Braja," papar gadis cantik berkemben itu. Cara bicara Kirana Maheswari yang lancar dan jelas menunjukkan bahwa ia paham banyak soal Puspa Rasa.

"Apakah betul begitu, Guru Ambarwati?" tanya Mbah Wakil Ketua kepada wanita di sampingnya.

"Benar bahwa bunga Puspa Rasa mampu memperbaiki segel elemen angin. Namun, aku tidak tahu apakah Satria Braja mempunyai cakra elemen angin yang besar. Selain itu, Puspa Rasa hanya ada di ujung desa Danta Bhumi. Desa terluar dari Kerajaan Bantala Nagara ini, berbatasan dengan Kerajaan Baruna Nagara. Jika ingin ke sana harus melewati desa Kapi Bhumi dan Kota Garuda Bhumi," jawab Guru Ambarwati.

"Kalau begitu, hukuman bagi Sanak Kirana Maheswari adalah pengasingan. Tak boleh menginjakkan kaki di padepokan ini, tanpa membawa bunga Puspa Rasa dengan batas waktu tiga hari," vonis Mbah Wakil Ketua.

"Mohon izin menyampaikan keberatan, Mbah Wakil Ketua yang kami hormati. Mohon Mbah Wakil Ketua tidak buru-buru menjatuhkan vonis hukuman kepada Kirana Maheswari. Hukuman itu terlalu berat bagi seorang Sanak yang melakukan kesalahan demi mengobati orang sakit...." sela Guru Ambarwati membela murid kesayangannya.

Belum selesai Guru Ambarwati menyampaikan keberatan, Kirana Maheswari langsung memotong pembicaraan dengan menyatakan siap menjalani hukuman.

"Aku sanggup menjalani hukuman ini, mohon izinkan aku untuk menebus kesalahanku. Aku tak ingin melihat orang meninggal hanya karena aku tak bisa melakukan apa-apa. Sementara aku mengetahui obat dari penyakit inj."

Guru Ambarwati terdiam. Perasaan bangga, haru, dan tak tega campur aduk. Bagaimana pun, Kirana Maheswari adalah murid kesayangannya.

"Kalau begitu, mohon izinkan saya mendampingi Sanak Kirana Maheswari agar bisa kembali ke padepokan ini dengan selamat dan membawa bunga Puspa Rasa," tutur Guru Ambarwati dengan lembut kepada Mbah Wakil Ketua.

"Mohon maaf Guru Ambarwati, aku tidak mengizinkanmu pergi dari padepokan ini karena jumlah orang di Unit Pengobatan Padepokan terbatas. Jika anda pergi, maka unit anda kehilangan dua orang. Sehingga padepokan kekurangan orang untuk mengobati orang sakit."

"Oleh karena itu, aku menyuruh Istungkara untuk datang ke sini. Dia akan mendampingi Nak Kirana Maheswari. Aku yang akan menjaga keduanya. Unit Gembala Padepokan tidak akan terganggu meski kami berdua pergi. Wulung Tole dan Waring Alit tetap bisa menggembala kerbau dengan baik," sahut Mbah Putih.

"Terima kasih, Mbah Putih telah berkenan mendampingi muridku dalam menjalani hukuman," ucap Guru Ambarwati sambil menghaturkan salam hormat ke Mbah Putih.

Mbah Putih membalas salam hormat itu dengan senyuman.

"Meski begitu, apakah perlu mengajak seorang pendekar yang belum mencapai tingkat sanak dalam misi yang berbahaya ini?" tanya Guru Ambarwati penuh keraguan terhadap kemampuan bertarung Istungkara.

"Meski Istungkara belum mencapai tingkat sanak, namun aku menjamin bahwa kemampuan bela dirinya tak kalah dengan pendekar tingkat sanak di padepokan ini," jawab Mbah Putih menyakinkan.

Mendengar pernyataan Mbah Putih, kedua orang di sampingnya langsung terkejut. Mbah Wakil Ketua menatap wajah Mbah Putih menangkap sebuah keseriusan dari pernyataannya. Begitu juga, Guru Ambarwati yang langsung mengamati sosok Istungkara.

Mbah Putih merupakan pendekar terlama yang berada di padepokan tersebut. Jauh sebelum Mbah Wakil Ketua dan Guru Ambarwati mengasah kemampuan bela dirinya di Padepokan Banteng Mukti. Mbah Putih sangat disegani di padepokan, meski begitu ia selalu meminta agar diberikan tugas oleh padepokan untuk menggembala kerbau. Tampaknya, menggembala kerbau sudah menjadi hobi utamanya.

"Merepotkan," gumam Istungkara setengah berbisik sambil melirik sinis ke arah gadis di sampingnya.

Sontak, Kirana Maheswari langsung meliriknya dengan penuh kesal. []