Matahari terik. Tak ada satu pohon besar pun di tengah-tengah Oro-oro Ombo, hanya ada sungai kecil yang mengalir dan semak-semak. Pepohonan yang rindang hanya mengelilingi tepi oro-oro. Sedangkan luas Oro-oro Ombo setara dua desa digabungkan. Puluhan ekor kerbau tampak berkubang di sungai, mengusir panas tubuh mereka. Kerbau merupakan hewan ternak yang tak tahan panas. Sehingga mereka gemar berkubang dalam lumpur.
Tak jauh dari kawanan kerbau, tampak empat anak sedang bertarung. Ada Istungkara yang berada di tengah. Ia melawan tiga anak, salah satunya Satria Braja. Sementara dua orang lain, yakni Waring Alit dan Wulung Tole.
Hanya Istungkara yang pakaiannya masih bersih, pakaian serba hitamnya tak ada debu dan tanah yang menempel di baju atau celana tanda bahwa ia unggul dari ketiga anak itu. Tak ada pukulan dan tendangan yang mengenai Istungkara. Ia selalu bisa menghindar dan menyerang balik.
Sebaliknya, pakaian ketiga lawannya sangat kotor oleh debu dan tanah yang bercampur oleh keringat. Baju mereka basah kuyup. Kecuali Satria Braja, bukan pakiannya yang kotor tapi tubuhnya. Sebab, ia telanjang dada. Hanya mengenakan celana hitam dan ikat kepala berwarna merah yang penuh oleh keringat dan goresan tanah. Sinar matahari yang bertemu bulir keringat, memberi kesan berkilauan. Nafasnya ngos-ngosan tak karuan. Memar dan lebam tampak menghiasi wajah dan tubuh Satria Braja.
Satu pukulan keras dari tangan kanan Waring Alit menyasar wajah Istungkara, namun berhasil ditangkis dengan tangan kiri. Waring Alit berganti melancarkam pukulan dengan tangan kiri, Istungkara melakukan tangkisan ke dalam dengan tangan kanan sambil bersiap melakukan tendangan. Kaki Istungkara membentur wajah Waring Alit dengan keras. Waring Alit roboh.
Istungkara langsung memutar tubuh dan mendaratkan tendangan ke perut seorang anak bertubuh tambun yang sudah bersiap menyerang dari belakang. Tumitnya telak menghujam perut lawan. Itu adalah teknik tendangan belakang yang tepat sasaran.
Hampir bersamaan tiba-tiba meluncur satu tinju ke arah Istungkara. Posisinya tak menguntungkan, tak siap untuk menerima serangan dadakan. Ia berusaha mengelak dengan menjatuhkan diri.
"Rasakan ini, Istungkara!" teriak Satria Braja.
Pukulan Satria Braja hanya menyerempet pipi Istungkara, bukan telak mengenai sasaran. Meski begitu, cukup untuk membuat Istungkara gagal mempertahankan agar tetap berdiri sekaligus memaksa dirinya untuk menjatuhkan diri demi menhindari tinju Satria Braja yang tiba-tiba meluncur tanpa Istungkara ketahui.
"Akhirnya bisa juga menjatuhkanku," puji Istungkara kepada Satria Braja.
Istungkara berdiri kembali. Namun, ia tak menyerang. Tiga lawannya sudah kehabisan tenaga. Satria Braja, bahkan tak kuasa menahan tubuh untuk tetap berdiri. Lututnya turun menyentuh tanah. Ia seperti orang mau merangkak tapi tak bergerak. Ia kehabisan tenaga. Dua teman lain, tak ada yang berdiri. Satu orang tergeletak tak berdaya. Sedangkan Wulung Tole merasakan kesakitan tak terkira di perut. Anak bertubuh tambun itu hanya bisa memegangi perut sembari berguling-guling.
Seorang kakek-kakek muncul dari kerumunan kerbau. Sekali melompat, ia sudah ada di tengah mereka. Rambutnya panjang beruban. Jenggotnya putih seirama dengan baju yang dipakai.
"Kalian sudah tak kuat lanjut lagi?" tanya kakek-kakek itu sambil membangunkan Waring Alit yang tergelatak tak berdaya agar mampu duduk. Ia juga mengajak duduk Wulung Tole.
"Istungkara, penguasaan jurusmu sangat mengesankan. Kau melakukannya dengan baik. Pertahanan adalah kunci di Padepokan Banteng Mukti ini. Jadi, kemampuan bertahan kita harus benar-benar teruji. Kita juga hanya boleh menggunakan silat untuk membela diri, bukan untuk menyerang. Oleh karena itu, Jurus Benteng Banteng merupakan salah satu jurus dasar yang wajib dikuasai di padepokan ini. Dan, kau menguasai jurus ini dengan sangat baik," puji Mbah Putih.
"Sekarang, aku akan mengajarkan kalian tentang pengendalian cakra," lanjutnya sambil memperhatikan wajah keempat anak itu.
"Apa cakra itu, Mbah Putih?" tanya si tambun itu.
"Pertanyaan yang bagus, Wulung Tole. Ada yang sudah tahu?"
Setelah melemparkan pertanyaan kepada para bocah itu, Mbah Putih mengedarkan pandangan ke arah kawanan kerbau yang menikmati makan siang. Pandangannya teralihkan saat salah satu dari empat bocah yang duduk bersila itu mengacungkan jari telunjuk.
"Bagus. Coba jelaskan kepada teman-temanmu, Istungkara. Apa itu cakra?"
"Cakra adalah sumber energi dalam tubuh manusia. Terdapat tujuh sumber energi utama atau cakra di tubuh manusia. Tujuh cakra itu mempunyai elemen masing-masing. Elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen angin, elemen suara, elemen cahaya, dan elemen mahkota," jawab Istungkara.
Mbah Putih memerhatikan wajah-wajah serius mereka. Ia mendapati Satria Braja tampak seperti orang mengantuk. Beberapa kali kepalanya mengangguk-angguk tidak jelas. Matanya terpejam terbuka bergantian. Bahkan, tubuhnya kadang terlihat hampir ambruk beberapa kali.
"Penguasaan salah satu dari empat elemen dasar atau cakra terluar, yakni tanah, air, api, dan angin akan membantu kalian memenangi ujian kenaikan tingkat. Sebab, salah satu indikator penilaiannya adalah penguasaan cakra yang baik."
"Aku pasti lulus menjadi sanak di ujian itu. Aku akan memenangkan turnamen sebagai juara!" sahut Satria Braja yang dari tadi diam seperti mengantuk itu. Tiba-tiba ia menjadi ceria dan antusias.
"Tapi sebelum itu, kau harus mampu mengendalikan cakra, Satria Braja," pesan Mbah Putih.
"Aku akan mengendalikan cakra dengan mudah," ucap Satria Braja sambil meringis dan mengacungkan jempol ke depan.
Sontak saja para teman-temannya memandang sinis seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Satria Braja.
"Baiklah, kalian akan langsung berlatih mengendalikan cakra. Ini adalah waktu yang tepat. Ketika kalian kehabisan tenaga fisik, kalian akan lebih mudah memaksa mengeluarkan cakra sebagai sumber tenaga dalam. Konsentrasi dan gali cakra elemen tanah di bagian tubuh terbawah kalian saat duduk bersila seperti itu. Saya menggembala kerbau dulu. Sebelum sore, kita berlatih lagi," pungkas Mbah Putih.
***
Matahari sudah condong ke barat. Bayang-bayang para calon sanak semakin memanjang. Mereka bersila berjauhan. Mereka tampak serius. Mata terpejam. Tubuh diam. Nafas teratur.
"Cukup. Kini saatnya kita melihat kemampuan pengendalian cakra kalian," ucap Mbah Putih yang tiba-tiba berada di samping Istungkara.
Mbah Putih memberikan isyarat kepada para calon sanak selain Istungkara untuk menjauh dengan mengibaskan tangan. Lalu menunjuk Istungkara. Artinya, latihan pengendalian cakra ini dimulai dari Istungkara.
Mbah Putih berjalan cepat ke arah kawanan kerbau, lalu memukul salah satu kerbau dengan suket teki. Tiba-tiba kerbau itu berlari kencang seperti sedang marah. Tampaknya, kerbau itu hendak menyerang Istungkara. Ia pasang kuda-kuda Jurus Benteng Banteng. Tangan kanan dan kirinya berada di depan dada, masing-masing membentuk huruf L. Kerbau marah itu menyeruduk Istungkara, tapi meleset hanya dengan sekali tangkisan. Di tubuh Istungkara, Mbah Putih melihat aura merah. Bukti bahwa ia berhasil menguasai cakra elemen tanah dengan baik.
"Sempurna, kamu memang mengesankan," bisik Mbah Putih yang tiba-tiba berada tepat di samping Istungkara.
"Waring Alit, sini," ucap Mbah Putih sambil memberi isyarat kepada Istungkara untuk menjauh.
Begitu Waring Alit sudah berada di depannya, Mbah Putih menghilang. Tiba-tiba ia sudah ada di dekat kawanan kerbau. Ia kembali memukul salah satu kerbau. Sontak saja kerbau itu langsung menyerang Waring Alit. Sama seperti Istungkara, Waring Alit menggunakan kuda-kuda khas Jurus Benteng Banteng. Saat kerbau itu sampai di depan Waring Alit, ia menahan tanduk kerbau. Ia sempat terdorong ke belakang beberapa langkah, sebelum akhirnya meloloskan diri dengan melompat tinggi melewati tubuh kerbau dan mendarat di belakang hewan itu.
Tepuk tangan pelan dilakukan oleh Mbah Putih dari dekat kawanan kerbau. Menurut Mbah Putih, Waring Alit berhasil mengendalikan cakra elemen tanah karena sempat keluar aura berwarna merah dari tubuh Waring Alit. Meski hanya sebentar, lalu auranya menghilang. Namun keputusan Waring Alit untuk melompat adalah hal yang tepat jika tak ingin terkena tandukan kerbau. Sebab, ia tak sekuat Istungkara.
Giliran ketiga, yakni Wulung Tole. Ia berbeda dengan kedua temannya. Tampak dari kuda-kuda yang ia pilih, bukan Jurus Benteng Banteng tetapi Jurus Tanduk Banteng. Jurus yang terakhir itu biasanya digunakan untuk menyerang. Berarti Wulung Tole hendak menerjang serangan kerbau. Ia ingin adu kuat dengan hewan ternak milik Padepokan Banteng Mukti. Begitu kerbau bergerak, ia juga berlari. Namun, ketika keduanya sudah dekat, Wulung Tole tersandung batu dan terjatuh ke samping. Ia selamat dari tandukan kerbau. Mbah Putih hanya tersenyum. Meski ia tak melihat aura merah di tubuh Wulung Tole. Jika saja terjadi adu tandukan, sudah bisa dipastikan Wulung Tole akan terpental dan kesakitan mendapati tandukan kerbau di tubuhnya.
Terakhir, giliran Satria Braja. Ia bersiap di posisinya menunggu serangan kerbau. Kuda-kuda Jurus Benteng Banteng dilakukan dengan baik. Ia konsentrasi dan bersiap menyambut kerbau yang sedang berlari. Ia tetap mencoba untuk fokus konsentrasi agar cakra elemen tanah keluar. Saat kerbau itu satu langkah di depan hidung, ia baru membuka mata. Terlambat. Tanduk kerbau membentur tubuhnya dan Satria Braja terlempar jauh ke belakang. Ia bangkit. Melihat mata kerbau yang memerah seakan haus darah. Ia langsung lari tunggang langgang dan berteriak tidak jelas minta tolong.
"Ttttt.... Ttttoolong," teriaknya sambil lari menyelamatkan diri.
Mbah Putih dan para anak-anak lain menertawakan tingkah Satria Braja yang berlari dikejar kerbau mengelilingi Oro-oro Ombo. []