Matahari belum nampak. Langit mulai terang dengan warna jingga yang menyebar di ufuk timur. Kokok ayam bersahutan tak mampu mengganggu mimpi seorang anak dalam selimut. Hawa dingin menembus selimut, menusuk kulit anak itu, tapi mimpinya terlalu indah. Ia tetap terlelap dalam tidur.
"Satria Braja, ayo bangun. Sudah siang!" ucap Asti Arsanti, ibu anak itu sambil menarik selimut.
Mata Satria Braja tetap tertutup. Tak ada jawaban dari mulutnya. Satria Braja hanya menggeliat, meregangkan tangan ke atas sambil menarik kaki ke bawah. Masih dengan mata tertutup rapat, ia menekuk kaki sambil merapatkan ke dada. Kedua tangan juga ditekuk, diletakkan dekat lutut. Rupanya, ia menggigil kedinginan.
"Ayo bersiap latihan. Siapa yang mau menjuarai turnamen di padepokan lalu menjadi prajurit di istana kerajaan?" tanya wanita dengan rambut disanggul ke atas sambil melipat selimut.
"Aku!"
Jawaban Satria Braja menyerupai teriakan, energik dan penuh semangat. Kedua matanya langsung terbuka lebar berbinar-binar. Bibir merekah menyunggingkan senyum kepada ibunya.
"Bukan hanya menjadi prajurit, aku bertekad menjadi yang terkuat. Menjadi senopati. Pelindung raja dan rakyat!" lanjutnya sambil mengepalkan tangan kanan di depan mukanya. Sorot matanya tajam tergambar sebuah keyakinan kuat.
Melihat keseriusan Satria Braja dalam berkata, kedua mata Asti Arsanti berkaca-kaca. Seakan ada perasaan campur aduk antara amarah, bangga, dan haru. Sekilas kenangan masa lalu terlintas di benaknya, namun wanita seusia 44 tahun itu mengabaikan. Ia mencoba mengalihkan pikirannya.
"Ayo makan. Tapi bersihkan dulu tubuhmu," ucap sang ibu dengan lembut sambil berjalan ke dapur meninggalkan Satria Braja di kamar.
Ketika Satria Braja bangun dari tempat tidur dan berdiri, ia menyadari sesuatu. Ia menatap dinding bilik yang terbuat dari anyaman bambu, ia curiga. Lalu membuka jendela kamarnya.
"Emaaaaak..... Emak bohong. Katanya sudah siang, tapi masih gelap seperti ini," teriak Satria Braja berusaha protes karena merasa dibohongi ibunya agar dia mau bangun tidur.
"Ngga usah bawel. Sana mandi, jangan lupa gosok gigi. Lalu sarapan," sahut ibunya dari dapur.
Di dapur, air mata Asti Arsanti meleleh hingga ke pipinya. Ia menatap karung beras yang kosong sejak tiga hari yang lalu. Ia hanya punya beberapa singkong yang masih terpendam di dalam tanah dan satu singkong yang telah ia rebus. Perkiraannya singkong-singkong yang terpendam dalam tanah itu hanya mampu digunakan untuk bertahan hidup dalam sepekan. Dari jendela dapur, ia mengamati dua pohon singkong kecil di belakang rumah.
Tepat di samping dua pohon singkong itu, terdapat batu bertumpuk. Tiga batu bertumpuk. Batu paling bawah lebih besar dari batu yang yang di tengah. Batu yang paling atas, paling kecil dibandingkan kedua batu lain. Batu itu serupa nisan yang berada di ujung sebuah kuburan, lengkap dengan tanah rata sepanjang dua setengah langkah. Air mata wanita itu terhenti. Ia mencoba menyunggingkan senyum tegar pada batu bertumpuk itu. Meski matanya tetap berkaca-kaca, menahan bendungan air mata yang masih ingin berjatuhan. Ia berusaha kuat.
"Makan singkong rebus lagi mak?"
Pertanyaan yang lebih menyerupai protes dari Satria Braja itu membuyarkan lamunan Asti Arsanti. Ternyata Satria Braja sudah berdiri di meja makan dan melihat sepotong singkong. Sang ibu bergegas mengelap matanya, menghentikan aliran air mata. Lalu berjalan mendekati Satria Braja sambil senyum yang sedikit dipaksakan.
"Kenapa kita hanya makan singkong saja, mak? Lama sekali kita tidak makan nasi. Apalagi ikan, aku sudah lupa rasa ikan bawal. Tempe, aku suka sekali tempe. Aku tak akan lupa rasanya, meski sudah lama tak makan tempe," oceh Satria Braja sambil memandangi sepotong singkong rebus di depannya.
"Sabar nak, kondisi lagi serba sulit. Kita harus bersyukur masih punya singkong untuk mengganjal perut kita. Di luar sana banyak yang mengemis karena tak ada yang bisa dimakan. Jangan sampai kita mengemis seperti mereka."
"Tapi kan bapak bekerja sebagai prajurit di istana. Masak kita kelaparan? Lagian bapak gimana sih kok enggak pernah pulang? Aku kangen bapak. Kapan bapak pulang, mak?" cecar Satria Braja sambil merengek.
Asti Arsanti bingung. Ia tak punya jawaban apa pun untuk semua itu. Tapi jika ia tak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, ia justru harus mengatasi hal yang lebih mustahil yakni mempertemukan Satria Braja dengan bapaknya untuk mengobati rasa rindu. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan ia hembuskan. Ia berusaha kembali kuat. Meski hatinya bersimbah luka. Ia mencoba mencari jawaban, tapi belum menemukan. Meski masih pagi, tapi dahinya berkeringat. Detak jantungnya cepat tak karuan. Ia panik. Ia gagal menemukan jawaban.
"Ahaaaa.... Aku punya ide untuk membawa pulang bapak. Aku harus lebih kuat, lebih kuat lagi. Memenangi turnamen lalu menjadi prajurit di Istana. Jika aku bisa menjadi senopati maka aku akan menyuruh bapak pensiun. Istirahat di rumah sambil menjaga emak...."
Tiba-tiba kata-kata Satria Braja terhenti. Ia tampak mengernyitkan dahi, memikirkan sesuatu.
"Oleh karena itu, aku harus datang lebih awal ke padepokan untuk latihan. Sebelum siswa lain datang. Aku harus jadi yang pertama. Aku adalah calon senopati. Tapi aku harus menghabiskan singkong yang tak lezat ini dulu agar aku punya tenaga untuk berlatih."
Sang ibu hanya mampu diam dan menunduk. Tak mampu melihat betapa lahapnya Satria Braja memakan singkong rebus yang membosankan itu. Bahkan, sekedar melihat rambut Satria Braja saja ia tak kuasa. Ia hanya diam dan menunduk. Diam dan menunduk. Memendam luka dan air mata. Supaya anaknya tak merasakan hal yang sama. Kepahitan sebuah kenyataan. Ia ingin anaknya tetap ceria dan bahagia meski hidup di dunia dongeng yang penuh kebohongan.
"Mak..... Aku berangkat latihan dulu," teriak Satria Braja sambil berlari penuh semangat keluar dari rumahnya yang kecil.
Asti Arsanti bergegas berlari ke belakang rumah. Ia ingin menumpahkan tangis di depan tumpukan tiga batu itu. Ia menangis menjadi-jadi. Ia benar-benar melepas tangisnya tanpa ada yang ditahan. Ia menangis setengah menjerit. Air mata bercucuran membasahi pipi.
"Kangmas, aku tak mampu lagi. Aku merindukanmu. Aku telah menjalani hari-hari yang sulit setelah kepergianmu. Dua belas tahun, aku sendirian merawat Satria Braja. Setiap hari membuat cerita bohong agar dia tetap ceria dan bangga menjalani hidup ini. Aku tak ingin dia sedih. Aku tak ingin dia murung. Aku tak ingin dia tahu bapaknya telah lama mati. Aku tak ingin dia kehilangan impiannya, karena Kangmas dalam cerita-cerita bohongku telah menjelma menjadi cita-cita baginya."
Asti Arsanti mencium pelan satu batu yang terletak di ujung batu bertumpuk itu. Lalu memetik setangkai bunga yang tumbuh di dekat tanaman singkong. Setangkai bunga itu ia letakkan di samping batu paling bawah. Ada perasaan lega setelah ia menceritakan semua yang ia rasa pada batu bertumpuk itu. Tapi air matanya tetap dibiarkan mengalir. Ia ingin menghabiskan air matanya pagi ini agar ia tak mampu lagi menangis saat Satria Braja pulang dari latihan. []