Satria Braja berdiri di bawah gapura padepokan. Gapura dari pohon jati itu terukir tulisan Padepokan Banteng Mukti dengan aksara kuno. Ia melangkah mantap memasuki padepokan yang sepi. Berlari dengan semangat menuju salah satu taman di sudut padepokan. Angin pagi yang sepoi menyambutnya. Embun di rumput buyar terinjak telapak kaki Satria Braja.
Betapa terkejutnya Satria Braja ketika melihat seorang anak sudah berlatih di taman. Ia mengendap-endap, bersembunyi di balik pohon. Ia picingkan mata kanan, mencoba mengintip. Ia melihat sesosok anak dengan tubuh lebih besar dan lebih tinggi darinya. Mulut dan hidung ditutup kain hitam menyerupai masker. Seakan-akan kain itu menyatu dengan baju hitam yang dipakainya. Celananya panjang, hitam pula.
"Sialan. Istungkara mendahuluiku," gumam Satria Braja pada dirinya sendiri.
Ia tetap menatap Istungkara latihan. Diam-diam ia mengagumi gerakan Istungkara. Anak di tengah taman itu bergerak gesit, meninju dan menendang udara kosong. Satria Braja tak tahu jurus apa yang sedang diperagakan Istungkara. Sebab, selama satu tahun di Padepokan Benteng Mukti angkatannya baru diajari dua jurus saja yakni Jurus Benteng Banteng dan Jurus Tanduk Banteng. Namun tak ada satu gerakan jurus dari keduanya yang diperagakan oleh Istungkara.
Belum habis keheranannya terhadap keindahan dan kecepatan gerakan Istungkara, tiba-tiba mata Satria Braja terbelalak saat melihat Istungkara melempar segenggam tanah yang mampu terbelah menjadi empat. Keempat tanah tersebut mengenai pohon yang berbeda-beda dan jarak antar pohon lebih dari dua langkah.
"Hebat," teriak Satria Braja dengan spontan.
Mendengar teriakan Satria Braja, Istungkara menoleh dan mendapati seorang anak yang sedang sembunyi di balik pohon dengan wajah kebingungan. Tak mau malu, Satria Braja berjalan mendatangi Istungkara.
"Hmmm... Maksudku tadi, itu hanyalah keberuntungan. Aku juga tak sengaja melihatmu latihan. Jadi jangan besar kepala dulu kamu," dalih Satria Braja menutupi rasa malu.
Istungkara hanya diam dengan ekspresi wajah datar. Tak ada rasa bangga di wajahnya, tak ada rasa senang di sorot matanya, bahkan ia tak menganggap Satria Braja ada. Ia berjalan hendak keluar taman untuk menyudahi latihannya. Namun, Satria Braja menahannya.
"Tunggu, aku akan menantangmu."
Istungkara berhenti melangkah tanpa membalikkan badan.
"Kamu memang sudah mengalahkanku sebanyak empat puluh tujuh kali. Tapi kali ini, aku tak akan kalah," ucap Satria Braja dengan jumawa.
Tanpa menunggu lama, Satria Braja berlari lalu melompat hendak menerjang punggung Istungkara. Tanpa melihat, Istungkara menghindari terjangan Satria Braja hanya dengan satu gerakan. Istungkara membuka kaki kanan dan menekuk lutut kanan sambil memiringkan tubuhnya ke depan. Justru Satria Braja yang jatuh ke tanah karena pendaratannya tidak sempurna.
Satria Braja berdiri kembali. Bersiap melakukan serangan lagi. Ia berlari lalu melayangkan tinju ke arah dada lawan. Namun, tinjunya justru membentur telapak kaki Istungkara. Rupanya Istungkara menahan tinju lawan dengan tendangan. Satria Braja terpental. Pergelangan tangannya sakit. Namun, ia mencoba bangkit.
Ia mencoba mendekat dan melayangkan tendangan sabit ke arah pinggang Istungkara. Namun justru punggung kaki Satria Braja membentur tulang kering Istungkara yang dinaikkan untuk melindungi pinggangnya. Satria Braja merasa seperti menendang baja, keras sekali. Satria Braja mundur dua langkah sambil berusaha mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.
"Curang. Kenapa kamu tak pernah mau mengalah. Selalu ingin menang sendiri," gerutu Satria Braja.
Saat ia bersiap melakukan tendangan depan dengan kaki kirinya, tiba-tiba telapak kaki Istungkara sudah mendarat dengan keras di dadanya. Ia terpental lima langkah. Satria Braja terkapar di rerumputan. Kepala pusing. Dada sesak. Ia merasa ditertawakan oleh burung-burung di atasnya. Istungkara melangkah pergi meninggalkan Satria Braja yang tergeletak tak berdaya.
"Payah, aku kalah lagi. Dia bahkan tak menggunakan tangan," gumam Satria Braja sambil memejamkan mata.
***
Kentongan padepokan yang terbuat dari bambu dipukul tiga kali, tanda waktunya berkumpul di lapangan padepokan. Latihan pagi akan segera dimulai. Dua puluhan anak berdatangan menuju lapangan padepokan, termasuk Istungkara. Namun, Satria Braja belum menongolkan hidungnya. Ia tak ada di antara anak-anak itu.
Anak-anak yang berkumpul itu adalah para calon sanak, tingkatan pendekar terendah di Padepokan Banteng Mukti. Tingkatan di padepokan ini ada lima tingkat. Terendah adalah sanak yang berarti masih junior. Di atasnya ada tingkat kakang. Mereka yang di tingkat kakang ini dianggap sudah senior namun belum boleh melakukan pengajaran terhadap orang lain. Baru di tingkat ketiga, yakni tingkat guru yang boleh melakukan pengajaran tentang seni bela diri di Padepokan Banteng Mukti. Secara umum, tiga tingkat tersebut hampir ada di seluruh padepokan di wilayah Kerajaan Bantala Nagara, terutama di Desa Jawi Bhumi tempat Padepokan Banteng Mukti berdiri.
Sementara tingkat di atasnya, masing-masing padepokan atau tempat belajar bela diri membuat tingkatan sendiri. Di Padepokan Banteng Mukti, terdapat dua tingkat di atas tingkat guru yakni tingkat mbah dan tingkat ketua. Bisa dikatakan, tingkat mbah adalah kelas bintang empat dan tingkat Ketua sudah bintang lima. Hanya ada satu orang yang sampai tingkat ketua di padepokan ini, yakni Ketua Sepuh. Sosok yang mengelola sekaligus pendiri Padepokan Banteng Mukti.
Para calon sanak itu berbaris. Seorang pendekar tingkat guru berdiri di depan mereka. Guru tersebut menyampaikan sambutan bagi para calon sanak yang telah libur selama dua bulan. Artinya, saat ini merupakan hari pertama masuk latihan dengan tahun ajaran baru.
"Kami para guru berharap pada calon sanak untuk mengembangkan diri dan mempersiapkan ujian kenaikan tingkat. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam ujian tersebut selalu diadakan turnamen. Turnamen tahunan ini sebagai ajang bertanding dan penerapan dari keterampilan yang telah kalian pelajari selama ini."
Sang guru menjelaskan bahwa setiap tahun pemenang turnamen akan diikutkan dalam kejuaraan antar padepokan yang diselenggarakan oleh pihak Kerajaan Bantala Nagara. Mereka yang mampu membuat pihak kerajaan terkesan biasanya direkrut menjadi prajurit dengan tingkat tertentu.
Setelah memberikan sambutan sang guru pergi meninggalkan para calon sanak. Puluhan anak itu selanjutnya melakukan pemanasan dengan berlari keliling lapangan, push up, sit up, dan gerakan lain untuk menguatkan otot tubuh mereka. Dilanjutkan dengan memperagakan dua jurus wajib, yaitu Jurus Benteng Banteng dan Jurus Tanduk Banteng yang telah dipelajari oleh para calon sanak itu.
Di taman yang terletak di sudut padepokan, Satria Braja masih tergeletak di rumput. Ia mendengkur, tidur nyenyak. Seekor lalat hinggap di hidungnya. Merasa terganggu, ia memukul lalat itu. Kena. Ia terbangun.
"Payah."
Ia segera berlari ke lapangan padepokan, namun terlambat. Tak ada satu pun, calon sanak yang berada di lapangan. Mereka telah meninggalkan lapangan padepokan. Mereka mulai belajar di dalam ruangan, memasuki kelas masing-masing. Justru, Satria Braja bertemu seorang guru.
"Kamu lagi, kamu lagi. Selalu saja terlambat. Isi air seluruh gentong di padepokan. Tak boleh masuk kelas. Nanti siang baru boleh bergabung dengan unit gembala."
Satria Braja tak mampu menolak hukuman. Terpaksa ia tak mengikuti materi di dalam kelas, karena mendapat hukuman akibat tidak ikut latihan pagi. Ia hanya boleh mengikuti kegiatan luar kelas, yakni menggembala.
Sistem pembelajaran di padepokan tersebut terbagi menjadi tiga sesi bagi calon sanak. Sesi pertama, yaitu latihan pagi untuk memperkuat fisik para calon pendekar. Sesi kedua, yakni materi di dalam kelas yang berisi tentang pemaparan teori dan wawasan seputar bela diri pencak silat. Terakhir, kegiatan luar kelas yang berhubungan dengan pemberdayaan unit-unit yang berhubungan dengan masyarakat atau kerajaan, misalnya unit gembala, unit pengobatan, unit tani, unit pengajaran ke masyarakat umum, dan unit lain. []