"Ren!"
"Hmm?"
"Soal kemaren...."
"Ya?" Farren menatap wajah Shender dengan satu alis terangkat.
Shender bingung mau ngomong apa. Ia sedari tadi hanya menggigit bibir bawahnya sambil garuk-garuk kepala yang sudah pasti tidak gatal itu. Farren yang mengerti lalu tersenyum manis. Ia beranjak dari posisinya yang berada di bawah pohon apel. Farren memetik satu buah apel hijau yang masih dalam masa pertumbuhan. Ia menggigitnya lalu,
"Nih!" Farren memberikan apel yang habis digigitnya itu.
"Gigit!"
Shender yang bingung dengan apa yang diperintahkan Farren itu hanya menurut saja. Tanpa ia sadari ia menggigit tepat dibekas gigitan Farren.
"Bisa riquest mukanya biasa aja, nggak?" ucap Farren dengan senyum dikulum. Bukannya Farren tidak suka dengan ekspresi yang ditampilkan Shender saat ini, hanya saja ia merasa jantungnya semakin berdentang. Wajah yang ditampilkan Shender saat ini terlewat polos.
"Huh, rasanya masam, tapi manis," ucap Shender sambil mengunyah.
"Yang benar yang mana? Masam apa manis?" tanya Farren.
"Apelnya masam,"
"T'rus yang manisnya?"
"Manisnya ya kamu."
Farren hanya tersenyum mendengar ucapan Shender barusan. Ia tidak mau seolah terlihat malu-malu dengan pipi yang memerah, sebisa mungkin ia menetralkan wajahnya.
"Ren!"
"Apa?"
"Pacaran, yuk!" Ajak Shender dengan santainya.
"Lo ngajakin pacaran kayak orang ngajakin main, nggak romantis!" sahut Farren sambil meraih apel yang ada di genggaman Shender lalu menggigitnya.
"Aku nggak romantis karena aku emang nggak mau jadi orang yang romantis," ucap Shender sembari mengubah posisi duduk berhadapan dengan Farren.
"Kenapa? Padahal so sweet tahu kayak orang-orang," ucap Farren sambil mengunyah.
"Karena setiap yang berawal dengan romantis akan selalu cepat berakhir, dan aku tidak ingin ini cepat berakhir bersamamu, malah aku ingin lebih lama bahkan selamanya bersamamu."
"Lo baca puisi apa ngegombal, sih?"
"Tidak, aku hanya ingin mengatakan apa yang ingin aku katakan saja. Dan semua itu tulus bukan sekedar rangkaian kata."
Farren memandang wajah Shender lebih lekat apalagi bagian matanya. Ia ingin mencari kebohongan di mata itu, namun nihil karena Shender beneran tulus mengatakannya.
"Jadi?" ucap Shender dengan alis terangkat sebelah.
Farren masih menatap lekat wajah Shender, kali ini ditambah dengan senyuman super manisnya. Ia mengangguk mengiyakan atas permintaan Shender tadi.
"Ada syaratnya!"
"Ayam eh ayam, ih kamu nih ngagetin aja, apaan syaratnya?" ucap Shender sambil mengusap dadanya.
"Jaga nafsu," ucap Farren dengan membisikan tepat di telinga kiri Shender.
"I-iya t-t-tapi ini kepala bisa munduran nggak?"
"Hahaha... kamu bisa grogi juga ya ternyata, jadi gemes," ucap Farren sambil mencubit gemas pipi Shender yang seperti bakpao.
Shender yang diperlakukan seperti itu hanya diam saja sembari tersenyum menikmati sentuhan lembut yang sedikit menyebalkan di pipinya itu.
Tus! Tus! Tus!
"Eh hujan, Ren. Buruan kita kembali ke rumah!"
Shender dan Farren lari-larian bersama hujan yang semakin deras. Mereka sampai ke rumah pohon tepat hujan sudah tidak bisa di toleransi. Meski jarak rumah pohon tidak terlalu jauh dengan teras belakang rumah tetap saja jika nekat menerobosnya akan basah seketika.
Mereka berdua sekarang berada di dalam rumah pohon. Hari sudah semakin sore, sebentar lagi malam menjelang. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti.
"Ren, nggak ada lampu, kah?"
"Nggak ada, Shend, kan aku nggak pernah nginap di sini,"
"Tapi, sepertinya saat ini kita akan bermalam di sini,"
"Apa kamu takut?"
"T-tidak, siapa yang takut?"
"Aku cuma nanya aja kok, Shend," ucap Farren dengan senyum dikulum.
Farren POV
Gue tahu Shender emang nggak takut sama gelap, tapi saat gue teliti dari mukanya kelihatan banget saat ini kalau dia takut, cuma ditahan aja. Sepertinya, Shender takut gelap yang disertai hujan lebat.
"Shend!" Panggil gue.
"Hm...?" sahut Shender dengan gumaman, pacar lo di sini Shend, ngapain malah ngelihatin hujan, sih.
"Apa lo pernah punya pacar cewek sebelumnya?" tanya gue langsung kemaksud.
"Nggak pernah." udah? Gitu aja? Nggak ada tambahannya lagi gitu?
"Kalau cowok?" tanya gue lagi.
"Pernah." Yahh, padahal gue ngarepnya lo bilang 'nggk pernah, Ren. Cuma kamu yang pertama' gitu.
"Siapa?" Oke, gue semakin kepo.
"Lupa, bagaimana denganmu?" Akhirnya, dia balik nanya juga, daritadi kek.
"Aku apanya?" Sengaja lemot biar ngobrolnya panjangan.
"Kamu pernah punya pacar cewek sebelumnya?" tanyanya sambil mencari hape di tas sekolahnya lalu meng-aktifkan sentarnya karena hari sudah malam dan hujan masih setia dengan lebatnya.
"Nggak pernah, tapi kalau cowok kamu sudah tahu pasti 'kan?" ucap gue melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Shender, biar makin terang.
"Matiin sentar kamu, cukup dari hape aku saja, siapa tahu kita akan lebih lama di sini." Aku paham maksudnya dan kembali mematikan sentar.
"Ren?"
"Hm?"
"Apa kamu sudah yakin dengan hubungan ini?"
Gue yang menangkap adanya ketidak-yakinan dalam kalimat Shender, mencoba untuk meyakinkannya.
"Aku tahu maksud kamu akan banyaknya halangan dan rintangan yang nantinya akan kita hadapi 'kan? Aku sadar hubungan seperti ini memang tidak mudah, apalagi di negara kita. Tapi kan yang men--"
"Yang menjalani kita berdua, orang lain tahu apa, cuma bisa men-judge dan seolah mereka lebih baik dan benar daripada kita. Jangan dengarkan omongan buruk orang lain terhadap kita, ini hidup kita, pilihan kita," ucap Shender memotong omongan gue.
"Lo tai aja gue mau ngomong apaan," ucap gue disertai dengan kekehan.
"Iya lo emang tai gue sudah tahu itu," sahutnya.
"Anjir kampret! udah bisa ngomong lo-gue ya sekarang? kemajuan, nih," ucap gue sambil tepuk kaki, ya nggak deng tepuk tanganlah.
"Apaan sih orang gue kadang sering nyampuran ngomongnya."
"Labil lo, ngomong gini aja udah, lebih enak didengar,"
"Lo nggak suka gue ngomong formal?"
"Bukannya nggak suka, sih. Cuma berasa dengar telenovela jadinya,"
"Hahaha, apaan sih, tapi kalau gue campuran nggak mama, kan?"
"Hhe, seterah amuh ajah deh, beb,"
"Lay lu,"
"Kampret! Pala nih, oy!" Dasar nih bocah kepala gue main toyor aja.
Gue nggak terima, gue cubit-cubit gue gelitikin aja tuh anak, tapi nggak berapa lama hpnya Shender bunyi kayaknya ada teplon eh telpon masuk.
"Iya, Pah."
"...."
"Iya, Shender nginap aja kayaknya,"
"...."
"Sip, Pah!"
"Apa lo lihat-lihat? Tersepona sama kemolekan wajah ini?" ucap Shender sesaat setelah menutup telpon.
"PD lu cabe, biji apel nyangkut tuh di gusi," sahut gue asal.
"Pacar baru gue pintar banget, yak. Sini gue ketekin."
Gue jamin kalau saja sekarang nggak hujan, pasti bakalan ada bunyi gedebak-gedebuk yang keluar disertai tawa kami berdua. Gue bahagia sekarang, semoga besok dan seterusnya seperti ini. Aamiin.
....