"Sebenarnya, papa dan Daniel pernah memiliki hubungan saat kau belum lahir, Nak. Waktu itu papa sedang ada di rumah Daniel, dan kami ke-gap oleh Nariyal (mama Shender). Bersamaan itu pula mama kamu datang dan memarahi kita berdua juga mengamuk pada Nariyal yang saat itu sedang hamil besar. Hingga akhirnya... ... ... ...."
Shender POV
"Kamu kenapa, Shender? Kenapa kamu menangis di sini?" tanya Caray sembari duduk di sampingku.
Aku hanya menggelengkan kepala sambil terus menatap lurus ke depan. Aku tidak ingin menceritakan ini kepada siapapun, biarkan aku tahu dengan sendirinya apa yang sebenarnya terjadi. Aku rasakan usapan lembut di punggungku, sepertinya Caray mencoba menenangkanku. Tidak terasa hari sudah menjelang malam, Caray masih berada di sampingku menemaniku.
"Caray!"
"Iya?" sahutnya dengan memalingkan wajah ke arahku.
"Apa sebaiknya kita pulang sekarang? Sudah magrib." Ajakku.
"Ayo!" sahutnya dengan menggandeng tanganku untuk berdiri.
Aku sekarang berada di dalam mobil Caray. Sebenarnya, aku menolak untuk ikut dengannya tapi dia memaksa, lagipula aku juga sangat lelah untuk hari ini. Lelah hati, lelah pikiran, lelah jasmani dan rohani.
Sesampainya di depan rumahku, aku tidak langsung turun karena Caray mencegatku.
"Shender!"
"Iya? Ada apa?"
"Kamu pacaran sama Farren?"
"Hmmm... kenapa?"
"Cuma nanya,"
"Harus di jawab?"
Caray mengangguk.
"Tadinya sih iya, tapi nggak tahu sekarang... ya sudah ya aku masuk sekarang, nggak enak nih pakai seragam seharian, bye," Aku segera keluar dan tidak lupa mengucapkan terima kasih padanya. Jika tidak begitu Caray pasti nanya-nanya lagi.
Astaga! Aku lupa nanyain yang kemaren tentang ada apa orang tuanya datang ke rumah Farren. Ya sudahlah bukan urusanku.
"Shender!"
"Papa?"
"Sehabis mandi ada yang papa ingin bicarakan padamu,"
Aku mengangguk lalu segera menuju kamar untuk mandi. Di saat mandi aku teringat dengan hubunganku dengan Farren yang tidak seumur jagung. Baru mulai udah berakhir aja, mana alasannya nggak jelas pula. Huh, semoga apa yang akan papa katakan nanti adalah titik terang dari kebingunganku ini. Setelah selesai mandi aku segera menuju ruang TV dimana papa berada.
Aku segera duduk di sampingnya tak lupa mengambil toples isi camilan kesukaanku.
"Shender?"
"Iya, Pa?" kulihat wajah papa menampilkan ekspresi serius. Perasaanku jadi nggak enak.
"Apa kamu masih ingat mama?"
Pertanyaan itu, pertanyaan yang terakhir kali ditanyakan papa beberapa tahun yang lalu. Yang berakhir dengan cuma nanya aja. Kenapa papa menanyakannya lagi?
"Cuma nanya aja, Pa?" tanyaku hati-hati.
"Ck, kamu ini. Kamu tahu nggak penyebab mama meninggal karena apa?" tanya papa sedikit kesal.
Aku cuma menggeleng dengan mulut yang penuh dengan camilan. Tak lupa aku segera minum kopi punya papa karena tenggorokanku rasanya seret.
"Mama meninggal karena dibunuh."
"Uhuk... uhuk-uhuk!" Apa tadi? Apa yang barusan papa katakan? Dibunuh? DIBUNUH?! Mataku membulat dengan sempurna dengan apa yang dikatakan papa. Setahuku mama meninggal saat melahirkanku.
"La-lalu s-si-siapa yang membunuh mama, Pa?" tanyaku hati-hati karena sambil mengontrol perasaan yang tiba-tiba menyesakan.
Papa tidak langsung menjawab melainkan melihat ke mataku dengan intensnya seolah mencari keyakinan kalau aku sanggup mendengar ini semua.
Lama tak bersuara kami hanya saling tatap-tatapan, bukan tatap-tatapan baper, yak.
"Papa? Jawab, Pa? Siapa yang membunuh mama?!" tanyaku tidak sabaran lagi.
Kulihat papa mengembuskan napas beratnya, lalu
"Yang membunuh adalah Aira mamanya Farren, mama terbunuh saat tengah mengandungmu hingga akhirnya kamu terpaksa lahir lebih awal." ucap papa dengan lesunya.
"APA!!!"
...
Sudah hampir satu jam mereka hanya saling diam sejak kali bertemu. Bahkan makanan yang sejak tadi dipesan oleh keduanya pun belum sedikitpun tersentuh. Farren masih asik memainkan minumannya sambil menatap ke luar jendela. Delapan tahun mereka tidak bertemu, tapi sekalinya bertemu dengan kabar yang tidak terduga. Hati anak mana yang tidak galau saat tahu bahwa orang tuanya adalah pembunuh orang tua dari orang yang kita cintai. Farren sengaja memilih untuk meninggalkan Shender lebih awal, karena ia terlalu takut kalau Shender akan lebih membencinya.
Pikiran Farren menerawang jauh memikirkan semuanya. Memikirkan bagaimana Daniel juga akan memberitahu Shender kalau ayah mereka sempat menjalin hubungan terlarang pula. 'Duh, udah kacau bikin pusing lagi' batin Farren.
"Farren?" Aira mencoba membuka percakapan kembali.
Farren yang sedang melamun itu tidak menghiraukan panggilan mamanya. Ia tidak menyadari kalau sedari tadi ia dipanggil-panggil tidak menyahut. Aira pun menyentuh tangan Farren untuk menyadarkan Farren.
"A-ap-ap?" sahut Farren dengan tergagap. Seketika pikirannya kembali ke tempat di mana ia berada sekarang.
"Kamu masih tidak mau memaafkan mama, Sayang?" tanya Aira dengan wajah yang amat sangat merasa bersalah.
"Mama menyesal telah melakukan itu, Farren." lanjutnya lagi.
"Penyesalan memang selalu datang terlambat, Ma. Mau menyesal sekarang pun tidak akan ada gunanya. Semuanya sudah terjadi. Shender tetap tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu." Aira meneteskan air mata mendengar ucapan Farren. Ia membenarkan apa yang diucapkan Farren. Begitu menohok.
Farren menarik napas panjang lalu mengembuskannya kembali. Lalu ia memegang kedua tangan mamanya.
"Sudahlah, Ma. Yang sudah lewat biarkan saja berlalu. Anggap saja masalah itu sudah selesai," tapi, tidak jika masalah itu juga diketahui oleh Shender, ia pasti akan membenci diriku batin Farren.
"Jadi, kamu sudah bisa maafin mama, Sayang?" tanya Aira lagi sambil menghapus air matanya.
Farren tidak menyahut namun hanya memberikan anggukan sambil dengan tersenyum ikhlas. Ikhlas berdamai dengan kenyataan.
Mereka pun berpelukan dengan rasa melepas kangen satu sama lain.
Di depan pintu restoran seseorang memperhatikan mereka dengan tatapan tidak terima dengan apa yang dilihatnya. Ia pun berbalik kembali ke mobil dan pergi meninggalkan tempat itu.
_______________________
___________
Shender POV
Hari ini aku tidak semangat sekali pergi ke sekolah. Ingin rasanya aku membolos saja, tapi tidak mungkin. Masa juara kelas bisa bolos. Eh, tapi bolos sehari tidak akan membuatku bodoh bukan? Oke, sepertinya aku akan mencoba nakal sehari. Aku pun mengeluarkan isi tas sekolahku dari buku-buku menjadi pakaianku untuk aku bersilih nanti. Aku terpaksa mengelabui ayah dengan memakai seragam seolah aku memang berangkat ke sekolah. Aku harap kalian tidak meniru ini.
Aku sekarang sudah duduk di meja makan sembari menunggu papa menghidangkan sarapan untuk pagi ini. Setelah beres, aku segera menyapa lalu mencium pipi papa seperti biasanya. Aku juga sudah tahu perihal masa lalu papa dengan papanya Farren. Aku tidak marah sama sekali dengan hal itu juga soal pembunuhan itu, bagiku semua apa yang terjadi selalu punya takdirnya tersendiri. Hanya saja yang aku pikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya Farren bisa kembali padaku.
Setelah selesai sarapan aku segera berangkat, tentunya bukan ke sekolah. Aku pergi ke kebun stroberi. Karena katanya sekarang lagi panen, siapa tahu bisa minta, hhe.
-----------------------
Aku kini sudah berada di tengah-tengah kebun stroberi. Kebun ini milik orang yang sangat aku kenal, namanya Paman Antonio. Waktu kecil aku sering memetik buah stroberi di sini. Paman Antonio sangat baik padaku, beliau selalu mengizinkan aku untuk memetik buah stroberi sebanyak yang aku mau.
"Shender?!" baru saja diomongin sekarang beliau sudah ada di depan mataku.
"Eh, Paman!" sahutku sambil saliman.
"Kamu nggak ke sekolah?"
____________________
Seperti sudah janjian, Farren hari ini juga tidak pergi ke sekolah. Entah kenapa ia juga tidak begitu bersemangat, padahal ia baru dua minggu sekolah di sekolah barunya. Tapi, itu tidak masalah untuknya karena ia juga termasuk siswa cerdas. Kau paham maksudku bukan?
Beruntung Farren tidak tinggal serumah dengan orang tuanya jadi sudah pasti tidak akan dimarahi jika ia berpakaian bebas saat ini. Jam menunjukan pukul delapan pagi, tapi cuacanya begitu sangat dingin serta matahari terlihat malu-malu untuk menampakan wujudnya.
Farren mengambil skateboard-nya lalu ia membawanya keluar dan pergi menggunakan papan beroda itu.
Farren POV
Gue mau kemana, ya? Sekarang lagi musim panen apaan, ya?
"Sayuuuuurrrrr... saaaayuuuuurrrr!" Nah, kebetulan ada kang sayur nih gue tanyain aja ah sama beliau.
"Kang! Kang!" Gue pun memanggil kang sayur itu.
"Iya, Neng? Mau beli sayur, Neng? Masih segar-segar lho ini," ucap kang sayur tak lupa promosi.
"Nggak, Kang. Saya cuma mau tanya, sekarang lagi musim panen apa, ya?" tanya gue.
"Oh, sekarang lagi pada panen stroberi, Neng. Itu di kampung sebelah lagi pada panen, Neng. Ramai orang di sana, katanya juga bisa beli dengan memetik langsung buahnya," ucap kang sayur begitu semangatnya.
Gue pun segera pergi ke kampung sebelah buat melihat kebun stroberi yang lagi di panen. Sebenarnya, jalan yang saat ini gue laluin itu menanjak, tapi anehnya skate gue nggak mundur.
Sesampainya di Lafresa (nama kampung sebelah) begitu ramainya orang di sini, juga hamparan stroberi yang memerah siap di makan, eh di panen.
Sambil berjalan dengan menenteng skate, tak lupa gue memetik sesekali buat gue beli. Lagi asiknya memetik gue di kejutkan sama suara seseorang yang selama ini gue rindukan.
"Farren!" Shender ada di depan gue sekarang. Tanpa ekspresi, apa dia marah sama gue?
"Farren?" ucapnya lagi.
"I-iya!"
"Kamu ngapain di sini?"
"Lo juga ngapain di sini?"
"Aku dulu kali yang nanya."
"Gue bosan aja makanya ke sini, lo bolos, kan?"
"Lo juga."
Garing. Tidak ada obrolan yang lebih ekspresif dari ini apa?
Huh, Shender tahu tidak ya soal itu.
"Ren...."
"Apa?"
"Kita balikan, yuk!"
Balikan? Dia gak marah sama gue?
"Lo nggak marah sama gue?" tanya gue.
"Itu masalah orang tua kita, Ren. Tidak ada kaitannya dengan hubungan kita."
"Gue---"
"Farren!! Apa-apaan kamu! Sudah cukup papa kamu yang pernah menjadi bagian sampah! Cepat pulang!"
Gue lihat orang-orang yang lagi metik stroberi pada ngelihatin heran ke arah kami. Apalagi nenek yang tiba-tiba datang membawa pengawalnya sembari nyeret gue buat menjauh dari Shender.
"Farren!"
"Stop! Jangan kejar cucu saya! Dasar keturunan sampah! Cih! Jangan pernah ganggu cucu saya lagi!"
Gue mencoba berontak dan pengen teriak, tapi tangan kekar ini mengunci pergerakan gue sama bekap mulut gue. Gue cuma bisa menatap Shender nanar sebelum akhirnya gue masuk ke mobil nenek.
...