"Pa! Aku tidak ingin berangkat ke Manilla! Aku sudah nyaman tinggal di sini, Pa!" mohon Shender agar papanya tidak jadi memindahkannya ke negara kelahirannya itu.
"Tidak bisa! Malam ini juga kita harus pergi ke Manilla! Ayo bereskan semua barang-barangmu!" perintah Daniel sambil berlalu pergi dari kamar Shender menuju kamarnya sendiri.
"Bagaimana ini? Masalahku dengan Farren saja belum selesai. Kenapa harus pakai pergi segala, sih? Argh... kacau semuanya!" batin Shender sambil malas-malasan membuati pakaiannya ke dalam koper.
Beberapa jam kemudian.
Shender dan Daniel sudah berada di dalam pesawat menuju ke Manilla.
Sesampainya di sana, ia di jemput oleh Javoral -- supir pribadi Marinka -- neneknya Shender. Setibanya di rumah, cucu dan nenek itu pun saling berpelukan melepas rindu satu sama lain.
______________
______
"Nenek tidak seharusnya melakukan semua ini! Ini rumahku, Nek! Nenek jahat kenapa menjualnya?!"
"Ini demi kebaikan dirimu! Mulai sekarang kamu harus tinggal bersama nenek! Papamu itu tidak becus menjagamu."
"Nenek berlebihan papa itu--"
"Cukup Farren! Nenek tidak ingin mendengarkan pembelaan apapun lagi. Sekali sampah tetaplah sampah. Sungguh menjijikan jika kamu melakukan hal yang sama dilakukan papamu dulu. Nenek tidak habis pikir dengan perubahan zaman sekarang. Dunia macam apa ini." ucap nenek Galuh sambil berlalu meninggalkan Farren yang sudah frustrasi menghadapi neneknya.
Tidak berapa lama pintu kamarnya terbuka lagi.
"Papa?"
"Maafin papa, Sayang, maafin papa. Papa sudah salah. Maaf, Sayang," ucap Aggazta disertai air mata yang tiba-tiba mengalir.
"Nggak apa-apa, Pa. Kita cuma butuh waktu untuk memperbaiki semuanya," ucap Farren.
"Apapun yang terjadi tetaplah menjadi dirimu sendiri, Nak. Jangan biarkan orang lain mengambil alih hidupmu. Mereka hanya belum mengerti." Aggazta memeluk Farren begitu erat.
Drrrttt...
Bunyi handphone Farren membuat pelukan di antara keduanya terlepas. Farren segera melihat notip messenger yang masuk, ternyata dari Morrez.
Morrezany : Shender di Manilla
Bagaikan tersambar petir di siang bolong.
Aggazta yang penasaran melihat putrinya tiba-tiba berubah ekspresi ketika meriksa hp, ia pun melihat dan membaca isinya.
"Percayalah, semuanya pasti akan baik-baik saja, Sayang. Cinta pasti kembali," ucap Aggazta sambil memeluk Farren yang kini sudah mulai sesenggukan.
Cinta itu tidak selalu tentang memiliki awal yang indah dan manis. Adakalanya, jatuh cinta yang baru melangkah sudah di jegal dengan serpihan luka. Jika yang berawal manis akan berakhir pahit, apakah yang berawal pahit dan luka akan berakhir manis dan indah? Jawabannya hanya ada dalam suratan takdir.
...
Empat tahun kemudian
Seorang perempuan tampan sedang berbelanja di sebuah minimarket. Kenapa tampan? Karena wajahnya lebih terlihat tampan dengan potongan rambut yang menyerupai laki-laki. Dengan headphone putih yang melingkar dikepala menyumbat indra pendengarannya. Sesekali sambil memilih barang yang ia cari ia menggumamkan lirik lagu yang sedang ia dengarkan. Setelah selesai dan ingin membayar di kasir ia terpaku sesaat melihat si penjaga kasir. Si penjaga kasir hanya tersenyum manis sembari menghitung total belanjaannya. Selesai transaksi wanita tampan itu beranjak keluar menuju mobil miliknya.
Ia kembali ke apartemen tempat tinggalnya sekarang. Matanya menatap kosong ke depan dengan dahi sedikit berkerut tengah memikirkan sesuatu.
Sementara itu di tempat lain. Seorang gadis cantik yang sedang dalam perjalanan pulang dari tempatnya bekerja part time, ia memikirkan seseorang yang ia temui di tempat kerjanya tadi. Walaupun banyak yang salah mengira kalau seseorang yang tadi adalah laki-laki, tapi hatinya menyanggah kalau orang itu adalah wanita. Tampan. Ia juga merasa sangat mengenal orang itu, tapi dimana? Wajahnya begitu familiar di otaknya.
Sesampainya di apartemen yang ia pindahi sejak dua bulan terakhir ini, ia langsung merebahkan diri sebentar. Niatnya sebentar tapi malah kebablasan sampai besok pagi.
__________________
Shender POV
Sudah satu minggu aku berada di sini. Aku belum tahu apa yang ingin aku lakukan, aku sudah lulus kuliah dengan cepat sejak di Manilla. Aku sengaja memilih kembali ke Indonesia dengan beralasan ingin bekerja di sini. Padahal, alasan sebenarnya di balik itu semua, aku ingin mencari si pencuri hatiku yang dipisah sejak empat tahun yang lalu.
Aku tidak pernah absen untuk memikirkan dirinya selama ini. Setiap apapun yang aku lakukan, bayangan wajahnya selalu masuk membuyarkan fokusku. Aku tidak bisa membuka hatiku kepada siapapun. Sempat waktu di Manilla rekan kerja papa mengenalkan aku pada anaknya yang bisa dibilang memang sangat tampan, tapi tetap saja aku tidak pernah merasa tertarik walau setampan, setajir, semapan atau apapun itu
Aku merasa kalau hatiku sudah di patok hak milik oleh Farren. Aku merindukannya. Empat tahun aku menyimpan rindu dalam tangis yang tercurah kala malam.
Aku akan mencarinya, mencari sumber rinduku. Entah aku sudah menemukannya atau tidak, aku merasakan kalau hatiku begitu dekat dengannya sekarang. Kupikir karena aku sekarang berada di Indonesia, dan barusan aku melihatnya. Aku terlalu takut untuk lebih dulu menyapanya. Padahal hatiku begitu haus merindukan sosoknya. Aku membiarkan kejadian hari ini berlalu begitu saja. Kurasa aku masih punya banyak waktu untuk memastikan semuanya.
Farren POV
Empat tahun aku tidak melihat mata coklat itu. Hari ini aku melihatnya kembali. Mata itu masih sama seperti dulu, tetap indah dan mempesona. Ingin sekali saat itu mulut ini mengatakan bahwa aku merindukan dirinya, tapi aku sadar kalau minimarket bukan tempat yang tepat untuk mengatakan pernyataan konyol itu. Apalagi dengan perempuan kelaki-lakian seperti itu.
________________
"Farren!" teriak Galih di ikuti oleh teman-temannya yang lain termasuk Refin, Morrez dan Dixy. Mereka akrab karena ternyata Galih adalah sepupunya Refin, untung Galih nggak kejangkitan Refin (melambai).
Farren yang merasa terpanggil hanya menoleh ke sumber suara sembari tersenyum dan berhenti di tempat untuk menunggu teman-temannya menghampirinya.
"Eh! Eh! Lihat! Itu kan...."
...
"Eh! Eh! Lihat! Itu kan Gael?" ucap Dixy sambil menunjuk ke salah satu mahasiswa(?) yang sedang duduk di pinggir jembatan mini di sebuah taman di belakang kampus.
"Gael? Tapi, wajahnya kan mirip banget sama Shender. Kok, namanya jadi Gael, sih? Apa cuma perasaan gue saja ya, kalau dia itu adalah Shender." batin Farren.
Mereka berlima pun beranjak menghampiri seseorang yang tengah santai dengan headseat yang menyumbat pendengarannya. Posisinya lagi bersandar di tiang jembatan dengan kaki kiri yang menjuntai dan kaki kanan selonjoran.
"Gael!" Orang itu tersentak saat Morrez memanggilnya sambil menyentuh punggungnya.
Dia pun segera berdiri lalu melihat ke orang-orang yang kini menghampirinya. Pandangannya terkunci saat ia melihat mata Farren. Mata yang selama ini begitu sangat ia rindukan.
Shender Galliel Soberano POV
Aku tersentak saat Morrez memanggilku dengan singkatan dari nama tengahku. Terutama saat aku melihat ada Farren di tengah-tengah mereka. Tunggu... sepertinya Farren lupa dengan nama panjangku, sehingga ia tidak ngeh saat Morrez menyebutku Gael. Aha!
"Eh, sebentar gue mau ngomong sama Morrez." Aku menarik tangan Morrez menjauh dari mereka yang memandang heran padaku.
"Farren nggak nyadar sama lo, Shend." Baru saja aku ingin menanyakan itu malah sudah dikatakannya. "Gue tahu lo juga kayaknya mau ngetes hatinya, kan? Apa masih stay sama lo atau...." Morrez sengaja tidak melanjutkan ucapannya.
"Peranin dengan apik aja diri lo yang sekarang, Shend! Gue bakal dukung lo terus, kok. Tenang aja gue bakal kasih tahu yang lain juga suruh diam biar Farren sendiri yang ngeh nyadarin keberadaan lo," ucap Morrez lagi. Aku cuma ngangguk-ngangguk sedari tadi, lumayan ngirit suara.
Aku sama Morrez kembali ke jembatan.
"Eh, Farren lo katanya nggak paham sama penjelasan dosen tadi, kan? Nih! Tanya aja sama Gael, dia jagonya," ucap Dixy sambil mendorong sedikit tubuh Farren ke arahku.
Kulihat Farren sedikit kaget(?) terlihat dari raut mukanya yang tiba-tiba berubah.
"Eh, Dixy, kita kan mau cari bahan untuk penelitian buat besok, kita sekelompok kan, ya? Kita berangkat sekarang aja yuk!" ucap Morrez sambil mengalungkan tangannya ke leher Dixy, "kita duluan ya semua," lanjut Morrez lagi sambil berlalu pergi.
"Galih! Lo katanya mau ajarin gue main skateboard, yuk capcus! gue udah nggak sabar pengen nyobain ucur-ucur (meluncur)," ucap Reffin ke Galih TANPA pamitan ke aku sama Farren.
Tinggalah aku berdua sama Farren sekarang. Tidak ada suara apapun yang keluar dari mulut kami berdua selepas kepergian Teman-temanku tadi. Aku bingung mau ngomong apa. Jadinya kami cuma diam-diaman sambil mandangin rawa-rawa di pinggir jembatan.
"Farren!" ucapnya memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan.
"Gael!" sambutku. Dia benar-benar nggak nyadar denganku kayaknya.
"Sorry, kata Dixy tadi lo nggak paham apaan, ya? Coba sini gue bantu," ucapku sambil tersenyum padanya.
"Ah, nggak kok. Itu cuma omong-kosongnya Dixy aja," sahut Farren sambil matanya natap kesana-kemari.
"Kok, lo diam aja, nggak ngebantah?" tanyaku.
"Gue juga nggak tahu kenapa."
___________________
Lama terdiam di jembatan taman kampus, Farren mengajakku ke rumahnya.
"Ini kebun apel gue, sebenarnya ini punya papa, tapi karena papa udah nggak ada lagi, jadi sekarang kebun ini jadi milik gue." Aku cukup kaget saat mendengar Om Aggazta sudah tidak ada lagi.
"Kamu tinggal sama siapa sekarang?" tanyaku.
"Sebenarnya gue ditawari tinggal sama mama gue, tapi gue ngerasa nggak nyaman sama si kembar anaknya, apalagi yang namanya Caray, malas banget lihat mukanya." Aku jadi ingat dengan Caray. Ngomong-ngomong bagaimana dengan kabarnya sekarang, ya?
Aku hanya mengangguk, lalu melangkah mengampiri pohon apel yang buahnya ada yang setengah masak. Aku mencoba meraihnya tapi tidak terjangkau. Aku melepas sepatu dan mencoba memanjatnya.
"Hati-hati, Shend! Pohonnya agak licin abis hujan pagi tadi." Apa? Dia manggil aku Shend?
Setelah memetik beberapa buah yang kutaruh di baju aku segera turun menghampiri Farren yang sedari tadi mengawasiku(?).
"Kamu tadi ngomong apa?" tanyaku setelah berada dihadapannya sambil memberikan beberapa apel yang kupetik tadi.
"Aku hanya bilang hati-hati, soalnya pagi tadi hujan jadi agak licin," sahutnya, "kamu mahasiswi baru, kah?" tanyanya.
"Bukan! Tadi aku cuma iseng jalan-jalan aja ke kampusmu."
"Kamu nggak kuliah?"
"Sudah lulus."
Kulihat ia hanya mengangguk sambil menggigit apel.
"Siapa itu Shend?"
Farren Mahar Aggazta POV
Tuh, kan dia nanya. Aku sebenarnya ragu sih kalau dia itu Shender. Tapi, wajahnya itu terlalu tampan sekaligus terlalu cantik buat jadi Gael. Ah, aku bingung dengan apa yang harus aku katakan padanya. Bagaimana kalau dia beneran Shender, kan malu ketahuan kangennya. Tapi, kalau bukan juga bingung mau jelasin gimana.
"Hey, kok diam saja? Shender itu pacar kamu, ya?"
Duh, kalau aku bilang iya, ntar kalau dia beneran Shender gimana? Kan malu. Tapi kangen, sih. Mending ia seneng dan ngakuin balik. Tapi, aaaahhhhh... gue dilema.
"Farren, kamu kenapa?"
"A-e-a-e a-anu em...," kenapa gue jadi gini, astaga.
...