Shender!"
"Farren!"
Mereka berdua panik seketika saat ada orang lain yang melihat posisi mereka yang nggak banget itu. Apalagi orang lain itu adalah kedua sahabat Shender (Dixy dan Morrez). Lalu siapa yang memanggil Farren tadi? Yang mereka kenal kan cuma Shender di situ?
"A-aku bisa jelasin ini," ucap Shender bangkit dari posisinya yang menindih Farren. 'sial, bakal tambah rumit, nih' gumam Shender.
"Hm?" Farren terlihat bingung dengan gumaman Shender barusan. Entah dia mendengarnya jelas atau tidak. Ia pun segera ikut bangun, tapi....
"Ashh!"
"Lo gendong dia bawa ke mobil! Kita ke rumah Refin sekarang!" perintah Dixy.
Shender masih terlihat agak canggung dengan perintah Morrez, tapi tetap mengendong Farren pelan-pelan.
"Maaf ya, Shend. Ngerepotin lo," ucap Farren yang berada di gendongan Shender.
"Nggak perlu minta maaf ini bukan salah kamu, kok," sahut Shender tanpa bisa menormalkan wajahnya kembali. Farren yang mengerti akan raut wajah Shender saat ini, seperti ada masalah yang terjadi antara tiga sekawan itu.
Selagi di dalam mobil mereka hanya diam saja. Tak ada seorangpun yang bersuara.
Hanya butuh waktu sepuluh menit mereka tiba di rumah Refin yang tidak jauh dari situ.
Tanpa memencet bel dan kebetulan pas mereka di depan pagar papasan dengan mobil orang tua Refin yang baru saja keluar. Otomatis pagar rumahnya masih terbuka, jadi Morrez langsung ngelonyor aja. Untung orang tua Refin sudah biasa dengan kelakuan teman anaknya itu.
"Mau sampai kapan lo berdua duduk di situ?"
Ternyata Shender tidak sadar kalau sedari tadi mobil ini sudah masuk ke pekarangan rumah Refin. Dan, dia juga nggak nyadar kalau dari tadi tangannya mengelus pundak Farren.
______________
"Lo salah paham, Shend. Kemaren kita mendadak ngediamin lo bukan karena marah. Kita cuman kaget aja gitu. Nggak nyangka. Lo itu cantik banget padahal. Harusnya kami yang minta maaf efek kagetnya terlalu berlebihan," ucap Morrez dengan muka cengangas-cengenges setelah mendengar cerita dari Shender dan Farren secara bergantian tadi. Sebelumnya tadi mereka perkenalan dulu.
"Jadi, kalian mau maafin gue? Kalian masi mau nerima gue?"
" Ya ialah kita nerima lo. Kami nggak sejahat kayak orang sok suci di luar sana, Shend. Kita masih punya hati punya perasaan. Setiap manusia punya jalan hidup masing-masing. Lagian ngapain lo yang minta maaf, sih. Lo gak salah kok," ucap Dixy sambil menjilat-jilat wadah es cream yang sudah habis. Nguras kulkas lagi nih bocah.
Farren sedari tadi memilih diam setelah bercerita, lalu menyimak percakapan orang yang tengah bersamanya ini, ia hanya mengelengkan kepala sembari tersenyum. Dalam hatinya bersyukur tiga sekawan yang baru saja dia kenal dalam hitungan menit ini bisa baikan kembali. Walau sebenarnya dia tidak tahu jelas apa yang sebenarnya terjadi.
"So, kalian sudah jadian belum, nih?" tanya Refin dengan mengulum senyum semakin menampakan wajah kemayunya.
Yang di tanya hanya menampilkan wajah bingung yang seolah tidak tahu harus menjawab apa.
Morrez yang paham akan situasi itu memilih untuk pergi ke halaman belakang rumah Refin, tepatnya ke kolam renang. Kemudian disusul oleh dua cecunguk yang juga paham akan keadaan.
Farren POV
"Eh!"
"Ayam ayam!"
"Heyay, gue kira ayamnya udah diculik. Lo kenapa bengong?" Nih bocah anak siapa, sih.
"Aku nggak bengong, kok." Dih, pake ngeles sudah ketahuan juga bengong.
"Ren, kamu gimana sama orang rumah? Nggak mau balik dulu?" Lah, kan mulai kepo beliau.
"Biarin aja." Gue gak peduli.
"Memangnya apa yang terjadi, sih?"
"Gue--"
"Eh, maaf hape gue ketinggalan," ucap Dixy sambil mencomot hp-nya tak lupa membawa satu toples camilan dari ruang tamu di mana Farren dan Shender berada.
"Gue dipaksa lanjutin bertunangan dengan Vigof. Tapi, gue udah nggak cinta lagi sama dia,"
"Tunangan? Kita kan baru kelas 2 SMA!"
"Tunangan aja, Shend. Bukan berarti gue nikah sekarang," sahut gue gemas.
"Lama banget itu lagi, kenapa nggak pas sudah masanya aja diomongin, sih? Kan setidaknya pikirannya sudah lebih dewasa dan matang."
"Itu dia, Shend. Nenek gue itu susah untuk dibantah. Setiap ucapan apapun yang terlontar dari mulutnya siapapun harus menurutinya. Waktu gue kecil okelah gue nurut tanpa protes ini itu, tapi sekarang gue sudah besar, gue berhak milih jalan hidup gue sendiri. Apa yang membuat hati gue bahagia gue akan lakuin itu." Gue jeda sejenak menunggu respon Shender.
"Wait, Vigof? Vigof Fandezo?" tanyanya dengan jidat yang mengerut. Kalau saja saat ini kita tidak sedang mengobrolkan masalah serius mungkin sudah gue sentil tuh jidat. Tapi, dia jadi berkali lipat makin manis, sih.
"Iya, lo tahu?"
Shender tidak langsung menjawab. Gue perhatikan wajahnya yang seperti memikirkan sesuatu. Apa itu? Ah, coba saja gue bisa baca pikiran.
"Lanjutkan!" ucapnya kembali ke mimik wajah biasa saja.
Akhirnya, gue menceritakan perihal perjodohan konyol itu kemaren secara detail ke Shender. Mungkin gue sudah merasa nyaman cerita sama dia sampai nggak sadar gue cerita lagi di rumah orang yang nggak terlalu gue kenal.
"Ren, tadi aku sempat dengar kamu ngomong sesuatu di teras rumah kamu." Ah, soal itu gue hampir saja lupa. Bagaimana dengan santainya gue bilang pengakuan sama nenek kalau gue mencintai Shender.
"Itu beneran, Shend,"
"A... asdfghjkl,"
"Lo ngomong apaan dah nggak jelas,"
Gue lihat Shender... tunggu apa dia salah tingkah? Aku tahu dia sedang menggaruk kepalanya yang pasti tidak gatal itu.
"Gue juga suka sama lo, Shend," ucapku meyakinkan.
"B-bagaimana bisa? B-bukannya wak--"
"Ssstt," gue ngasih jari telunjuk gue ke dahi Shender memberi isyarat untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Gue mah gitu orangnya.
Gue sempat ingin tertawa melihat mata Shender yang juling memaksakan melihat jari gue, tapi tentu saja gue tahan.
"Waktu itu gue cuma kaget aja. Gue nggak tahu harus ngomong apa sama lo," ucap gue menjelaskan secara ringkas.
"J-jadi? Kita?"
"Nggak usah pakai terbata bata bisa kali, Shend! Rileks, okay?" Gue mengucapkan itu sambil mengelus pipi kanan Shender.
"Yeee... PJ!"
"Makan-makan!"
"Pesta!"
Gue sama Shender terlonjak kaget dengan kemunculan tiga anak manusia di belakang sofa yang kita duduki. Hampir aja ayam Shender lepas lagi kalau gak segera gue kasih jari telunjuk gue ke jidatnya. Mantap, manjur coy. Eh, apa mereka dari tadi ada di situ?
----------------
"Eh, gue penasaran dengan apa yang mereka obrolin, deh," ucap Morrez berdiri sambil mainin tanaman merambat di gazebo.
"Sama, kita nguping, yuk!" ajak Dixy sembari melempar toples kosong sembarang lalu beranjak pergi masuk ke ruangan dimana dua anak manusia sedang anu.
"Eh, kalian mau kemana? Gue ikut!" Refin yang asik membuangi sampah daun kering dari kolam renang menggunakan jaring terlonjak kaget karena ada toples yang mendarat cantik di tengah kolam renang. Ia pun meninggalkan begitu saja dan memilih menguntil dua temannya.
Pelan pelan mereka berjinjit agar tidak membuat bunyi sedikitpun. Mereka bersembunyi di balik sofa yang tengah di duduki dua anak manusia itu.
Sesekali mereka saling menatap dengan mimik muka kayak nahan pup tapi lebih ke kesenangan. Lalu terjadilah dialog diatas.
"Kalian sejak kapan di situ?"
"Sejak tadi," sahut Dixy dengan polosnya, "Morrez yang ajakin, sih."
"Lah? Kok gue? Lo kali, Dak." Morrez tidak terima.
"Berisik lo pada, traktirannya nih, Shend. Kita sudah lapar."
"Traktiran apaan sih, ck," ucap Shender menahan kesalnya.
"Elah, intinya kan lo udah jadian sama Farren sekarang. Jadi, bisa dong ajak-ajak kita makan-makan. Gue laper banget, nih," ucap Dixy sambil dengan mimik wajah minta ditonjok, nggak deng minta dikasih makan lah.
Farren yang melihat hal itu hanya tersenyum masam. 'Jadian apaan orang Shender aja belum nembak gue keburu kalian ributin' batinnya.
...