"Jadi... selagi lo masih bisa mengontrol cinta akan sesama lo untuk tidak berbuat hal gitu, menurut gue cinta lo masih normal dan nggak salah, sih.
"Kayaknya gue tahu ke arah mana maksud pertanyaan lo, Ren."
Farren terdiam memandang wajah Galih. Tapi, sebelum Galih melanjutkan ucapannya keburu bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Alhasil, mereka menunda obrolan dan kembali melanjutkan pelajaran selanjutnya.
***
"Shender, aku suka sama kamu!"
Shender masih terdiam di atap rumahnya sambil melihat bintang yang ragu-ragu untuk muncul di langit. Ia masih tidak percaya dengan ungkapan perasaan yang dikatakan seseorang secara gamblang di sekolah tadi, di hadapan teman-temannya pula.
Masih teringat jelas bagaimana ekspresi teman-temannya yang tidak menyangka kalau Shender adalah seorang 'gay'. Dan, bagaimana cara mereka yang langsung tidak menghiraukannya lagi sehabis itu.
"AAAARRRRGGGHHH!!!" teriaknya.
"SHENDER?!"
"Papa," gumamnya.
Shender pun melihat ke samping di mana papanya berada. Tampak raut khawatir di wajah papanya yang tidak tampak keriput sedikit pun walau usianya sudah memasuki kepala empat.
"Kamu kenapa, Nak?"
Shender tidak langsung menyahut ia pun segera merangkak mendatangi papanya. Biasanya dia bisa menapaki genteng rumahnya dengan berdiri, tapi karena ada papanya ia tahu pasti bakal diomeli karena berdiri di genteng yang miring ini akan membahayakan nyawanya, yang bisa saja kemungkinan besar tergelincir dan terjun cantik ke atas, ya ke bawahlah.
Sesampainya di hadapan orang tua satu-satunya yang ia miliki itu, Shender langsung memeluk erat sang papa yang dibalas tidak kalah erat.
"Ada apa denganmu, Sayang?" tanya papa.
Tidak perlu basa-basi Shender langsung menceritakan perihal yang terjadi dengannya selama ini. Daniel ---papanya Shender--- antusias sekali mendengar cerita anaknya. Tidak ada sedikitpun eksperesi terkejut atau tatapan menghakimi pada anaknya. Ia hanya tersenyum dan sesekali mengangguk.
"Jadi, anak papa sudah mulai jatuh cinta, nih?" tanya Daniel dengan menaik turunkan alisnya yang mirip ulat bulu itu.
Shender hanya menggaruk belakang lehernya yang pasti tidak gatal.
"Kalau kamu hanya sekedar suka atau kagum sama orang jangan pernah berani mencoba untuk berkorban apapun!"
"Lah? Kenapa gitu, Pa?"
"Karena rasa suka bisa terjadi kapan saja, dengan siapa saja, dan di mana saja, juga bisa hilang kapan saja. Pula, orang yang kamu suka tidak selalu bisa kamu miliki. Kecuali kalau kamu mencintainya. Banyak orang salah kaprah mengatakan kalau cinta tidak harus memiliki. Padahal, sebenarnya cinta itu memiliki, Nak. Dan orang yang tidak dapat kamu miliki itu adalah hanya orang yang kamu suka yang mana kamu menyalah artikannya sebagai cinta.
"Lalu, siapa orang yang kamu suka dan kamu cintai? Caray? Atau Farren?" jelas dan tanya Daniel.
"Tapi, Pa. Bukankah itu terlarang dan salah?"
"Kata siapa?"
"Kata orang."
"Lalu cinta yang benar itu seperti apa?"
"Antara laki-laki dengan perempuan."
"Nah, itu. Manusia selalu berlandaskan kenormalan cinta dari hal itu. Dengar, Nak, papa tidak menyalahkan apa yang kamu rasakan, tapi papa juga tidak membenarkannya. Kamu harus tahu, Nak! Jatuh cinta bisa terjadi kepada siapapun, yang menyalahkannya hanya nafsu. Karena nafsu bisa menyesatkan, awalnya suci bisa jadi ternodai. Jadi, intinya tidak ada cinta yang terlarang, Nak. Yang terlarang itu ketika kamu mencintai kamu melibatkan nafsumu," jelas Daniel panjang lebar.
"Jadi, papa bolehin aku menyukai sejenisku?"
"Gini Nak. Papa tidak membolehkan ataupun melarang. Bagi papa kemauan hati kamu itu hak kamu, Nak. Papa hanya sekedar membimbing kamu ke jalan yang benar."
"Tapi jalanku tidak benar, Pa. Aku menyimpang dan berbeda dari mayoritas orang di luar sana."
"Jalan yang benar tidak selalu harus tentang kamu mengikuti apa yang di anggap benar oleh orang sok benar di luar sana. Dengar, Nak. Kita ini hanya manusia biasa. Kita bukan Nabi ataupun Malaikat yang bisa sempurna. Sesempurna apapun kita berusaha untuk menjadi benar dan terbaik, tetap saja ada cela yang tidak luput akan kodratnya manusia yang tidak lepas dari kesalahan.
"Papa hanya membiarkan kamu memilih jalanmu sendiri, tapi papa minta satu hal. Jaga nafsumu dan jaga dirimu."
Shender mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh papanya. Daniel pun kembali ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi karena kebetulan dia rindu tidak mengobrol dengan anak semata wayangnya.
Tampak di samping laptop Daniel terpampang poto mendiang istrinya. Sudah sekian tahun semenjak Shender lahir ke dunia ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Tapi, Daniel selalu berusaha untuk menjadi ayah yang baik dan bijaksana untuk anaknya itu. Dia sangat menyayangi Shender sama seperti ia menyayangi mendiang istrinya dulu. Belasan tahun sudah ia hidup sendiri tidak ada sedikitpun niatnya untuk beristri lagi. Banyak wanita yang dia suka di luar sana, tapi seperti yang dia jabarkan ke Shender tadi kalau suka tak harus selalu tentang memiliki. Baginya cintanya hanya satu untuk orang yang lebih dulu menungggunya di surga sana.
***
Farren POV
Gue yakin perasaan gue ke Shender itu nggak main-main dan bukan karena nafsu. Gue masih ingat dengan omongan Galih tadi di sekolah.
"Lo bisa saja jatuh cinta kepada laki-laki manapun yang menurut pandangan mayoritas orang di luar sana adalah hal yang benar. Tapi, apa mereka bisa menjamin lo pasti bahagia? Yang sudah jadi suami istri secara normal saja mereka bisa pisah. Kalau cuman ingin terlihat bahagia, tapi palsu biar dipandang orang mending nggak usah sama sekali. Waktu lo terbuang hanya demi menuruti omong kosong orang-orang yang selalu merasa benar di luar sana. Lagian selagi lo nggak gunain nafsu lo menurut gue cinta lo masih normal aja. Tapi, yang jadi pertanyaan gue apa bisa lo nahan nafsu lo saat berdua dengan orang yang lo cinta?"
"Insya Allah gue bisa, Gal. Gue yakin perasaan gue ke dia atas dasar hati bukan nafsu ataupun rasa sesaat." sahutku.
Apa gue harus nyatain cinta ke Shender?
...
"Sampai kapanpun, mama tidak akan pernah merestui hubungan kalian! ... dan kamu!" sambil menunjuk Coray, "cepat keluar! saya tidak ingin melihat wajahmu lagi!" ucap Azra (mama Vigof) dengan murkanya.
"Ma... Ray! Ray! Ray! Jangan pergi! Ray! Ray!!" teriak Vigof berusaha menahan Coray yang hendak pergi, tapi gagal ia hentikan.
Coray pergi keluar rumah dengan linangan air mata yang tak dapat ia tahan lagi. Bagaimana tidak, seseorang yang tadinya dia pikir akan menerimanya dengan baik sebagai mana anaknya yang sudah memperlakukan Coray bak seorang ratu, berbanding terbalik dengan sikap mamanya. Satu kata yang mewakili perasaannya saat ini. Sakit.
Sementara itu,
"Ma--"
"Besok kita ke rumah Aggazta! Kita perbaiki semua kekacauan yang dibuat olehmu, Vigof!" ucap Azra dengan berlalu meninggalkan Vigof yang mulai emosi menghadapi kekerasan kepala mamanya.
"Tapi, Ma! Ma! Ma!"
"Untuk sementara ikuti saja dulu kata mama, Nak. Lagipula kamu tidak mungkin dinikahkan diusia di bawah umur begini. Biarkan saja mamamu mau berbuat apa saat ini, kita masih banyak waktu untuk merubah semuanya. Sekolah saja yang benar. Perjuangkan juga cintamu. Papa akan dukung apapun yang membuatmu bahagia."
Vigof mengangguk mengerti sambil menunduk. Ia pun teringat sesuatu
"Pa, Vigof keluar dulu, ya? Vigof harus cari Coray sekarang. Vigof nggak mau Coray kenapa-kenapa."
Fandezo hanya mengangguk membiarkan anaknya pergi. Padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam.
****
Farren POV
Seperti biasa di hari Minggu yang dingin-dingin ngilu gini, gue selalu manfaatin waktunya buat olahraga lari-lari cantik alias jogging. Tempat favorit gue buat jogging dimana lagi kalau bukan di perkebunan apel belakang rumah. Selain dapat menghirup udara sejuk gue juga bisa langsung metik kalau nih perut mulai berdendang, pula nggak kepanasan kalau matahari sudah meninggi. Gue keliling-keliling sudah kayak orang tawaf.
Setelah dirasa cukup gue pun beristirahat di bawah pohon apel. Sambil makan apel, mata gue jelalatan ngelihat kesana kemari, dan tanpa sengaja mata gue natap jendela yang kebuka di belakang rumah, tapi kok di dalam rumah kayak ada orang, ya? Siapa yang masuk rumah gue? Gue coba micingin mata memperjelas siapa yang ada di dalam.
Astaga, itu kan Nenek!
"Neneeek!!" Gue lari-larian menghampiri nenek yang sudah ada berdiri di samping rumah pohon dekat gerbang masuk kebun.
----------------
"Maaf, Sayang. Papa sudah berusaha bicara dengan nenek kamu, tapi... ternyata itu tidak mudah," ucap Aggazta pelan.
"Kamu buruan mandi! Sebentar lagi Fandezo dan keluarga akan kemari," ucap neneknya sambil melihat-lihat dekorasi rumah cucunya alias rumah yang dulu sempat jadi tempat inap keluarga ini sebelum Mama Farren meninggal (baca: hilang).
Farren menuruti apa kata papanya. Kalau papanya saja yang biasanya mudah merayu untuk meluluhkan lawan bicaranya, kali ini tidak berlaku untuk neneknya.
Setelah Farren selesai mandi dan berpakaian, bertepatan pula dengan di mana keluarga Fandezo telah sampai di depan rumahnya.
****
"Coray! Lo darimana aja? Semalaman nggak pulang, lu kenapa?!"
Coray tidak langsung menjawab melainkan langsung memeluk erat Caray yang masih terdiam bingung. Bagaimana tidak, Coray datang ke rumah dengan keadaan yang mengenaskan. Wajahnya sebelas duabelas dengan miss kunti. Ia menangis sesenggukan di pelukan Caray. Sesekali ia menyerut hidungnya yang sudah mampet oleh cairan anunya.
"Coray, lo kalau nangis, sih, silahkan aja. Tapi, nyerut tuh hidung jangan pakai baju gue juga kali! Gue barusan habis mandi!" ucap sarkas Caray, tapi masih melukin Coray yang makin menjadi nangisnya.
Setelah hampir setengah jam mereka berpelukan berdiri ala taletabies, dan Caray dengan tabahnya punggungnya dilanda badai yang berasal dari lubang hidung Coray. Akhirnya, hujan di mata Coray pun reda.
Sesaat Coray telah melepaskan pelukannya, Caray langsung lari ke kamar mandi di dalam kamarnya. Tak lupa ia mengambil baju asal di dalam lemarinya.
Coray beranjak ke dapur mencari segelas air untuk meredakan tenggorokannya yang kering kerontang. Karena semua gelas masih tergeletak cantik di wastafel belum dicuci satupun. Akhirnya, Coray meminum langsung dari botol yang lumayan gede itu.
Tidak sampai lima menit Caray selesai ganti baju. Caray segera mendatangi di mana Coray berada. Caray memperhatikan adiknya yang sedang kehausan itu dengan tatapan kasihan. Seolah dari matanya ingin berkata 'adik gue gini amat'.
Setelah hampir minum tiga botol air yang berukuran 750 ml itu dahaga Coray pun lega. Sambil nyengir ia melewati Caray. Caray yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala dengan muka datar.
"Sehabis lo mandi lo harus cerita sama gue!" teriak Caray.
Coray hanya memberi isyarat tanda oke lewat tangannya.
***
Shender POV
Tidak seperti hari Minggu sebelumnya yang biasanya aku menghabiskan waktu untuk tidur seharian, hari ini akan menjadi hari yang bersejarah untukku nanti. Soal Farren menolak atau tidak itu urusan belakangan, yang penting aku sudah berusaha serius menyatakan ini padanya nanti. Sekali lagi.
"Anak papa wajahnya cerah banget. Ada apa, nih?" tanya papa sambil melahap roti sarapan paginya.
"Dih, Papa kepo aja," sahutku dengan masih menampilkan wajah ceria.
"Papa tahu. Anak papa pasti lagi kasmaran, kan?" tebak papa sambil menaik turunkan alisnya yang super tebal itu. Alisnya sebelas duabelas sama alis Dixy, macam Shinchan.
Aku hanya senyum-senyum malu menanggapi tebakan papa yang 100% benar itu. Papa cuma geleng-geleng kepala saja dengan kelakuanku ini.
"Mau papa antar?"
"Nggak usah, Pa. Shender bisa naik sepeda, ko."
"Kamu ini, motor ada kok malah naik sepeda. Nggak capek apa?"
"Justru itu sehat kali, Pa. Ya sudah Shender berangkat dulu ya, Pa. Assalamualaikum!" Pamitku sembari ke luar rumah menuju pangkalan sepedaku berada.
"Walaikumsalam. Hati-hati, Nak! Jangan ngebut!"
"Oke, Pa!" sahutku dengan setengah teriak sambil mengangkat jempol ke atas.
Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu Farren hari ini. Sedang apa ya dia sekarang? Aku rindu dengannya, sudah berapa lama ya aku tidak melihat wajahnya semenjak hari itu? Ah, aku pelupa sekali. Aku tidak bisa mengingatnya.
Aku berencana hari ini ingin menghabiskan waktu seharian bersamanya, itupun kalau nggak diusir, hhe. Sesaat aku melewati rumah Refin, seharusnya aku berada di situ sekarang bersama mereka. Aku heran, Refin itu gay, kenapa Morrez dan Dixy tidak menjauhinya seperti apa yang mereka lakukan terhadapku? Malah mereka bertiga menjauhiku.
Tapi, aku tidak tahan juga di jauhi mereka seperti ini. Aku akan berusaha untuk memperbaiki keadaan ini. Meyakinkan mereka sama seperti Refin dulu. Tapi, sayangnya aku lupa bagaimana cara Refin meyakinkan Morrez dan Dixy dulu, huh. Ya sudahlah, setidaknya aku akan berusaha untuk memperbaiki persahabatanku setelah ini.
Ngomong-ngomong kenapa jarak ke rumah Farren seperti menjauh gini, sih?
Nah, akhirnya sampai juga.
Loh? Tumben-tumbenan di rumah Farren ada banyak orang? Ada apa, ya? Uh! jadi kepo, nih.
Aku celingak-celinguk memperhatikan ke dalam rumahnya. Tentu saja dari balik mobil-mobil yang berjajar ini. Ya kali aku celingak-celinguknya terang-terangan.
"Pokoknya perjodohan ini harus tetap dilanjutkan. Tidak ada penolakan. Ini sudah keputusan mutlak!"
"Tapi, Tante, Nek, Farren sudah tidak mencintai Vigof lagi. Ada orang lain yang Farren cintai."
"Benar, Ma, Nek. Vigof juga tidak mencintai Farren. Lagipula Vigof sudah mempunyai pacar."
"Ah, sebelumnya juga kalian tidak saling mencintai 'kan? Nanti juga kalian akan bisa jatuh cinta kembali."
"Tapi, Ma--"
"Tapi, Tan--"
"Tidak ada penolakan ini keputusan Nenek dan Mamamu Vigof!"
Dug!
Bip! Bip! Bip! ....
Mampus stang sepedaku nyenggol spion mobil siapa ini?
"Shender?!"
"Farren," gumamku.
"Dia orang yang aku cintai, Nek, Tan. Bukan Vigof." Farren menghampiriku.
"Kamu jangan bercanda, ya, nenek tidak suka! Ayo, masuk kembali!" Waduh, apa nenek ini tidak suka padaku? Mukanya nyeremin banget udah kayak valak.
Aku berada diantara dua rasa sekarang. Antara senang dengan perkataan Farren barusan dan takut dengan wajah nenek itu.
"Aku tidak bercanda! Aku memang mencintai Shender! Bukan Vigof! Ayo, Shender kita pergi dari sini!"
Aku yang bingung hanya menuruti apa yang diminta Farren. Sayangnya permintaan Farren yang satu ini membuatku lelah. Ia menaiki sepedaku duduk di depan seperti posisi seakan aku sedang memeluknya. Ku dengar teriakan kemurkaan dari rumahnya menyuruh Farren kembali, sesekali aku memaling muka ke belakang kulihat mereka juga mengomeli papanya Farren dan papanya Vigof yang hanya diam saja tidak menahan kami.
Aku bingung mau membawa Farren kemana sekarang. Dianya juga malah diam saja tidak bicara apapun.
"Ren!"
"Hmm?"
"Ren?"
"Hmm?"
"Ren?"
"Apaan sih, Shend?!"
"Ayam! Eh,"
Glek!
Kenapa pakai dipaling segala sih itu muka. Bikin deg-degan aja nih anak. Aduh, balik depan lagi sana!
"Malah diam."
Fuuh. Akhirnya balik juga tuh muka bidadari.
Seakan di-setting, kaki dan tanganku membawa kami ke perkebunan buah jambu. Jaraknya lumayan jauh dari rumah Farren tadi, tapi anehnya aku tidak merasa capek sama sekali mengayuh sepeda sambil membawa beban berat.
Kawasan tempat tinggal kami ini berada di dataran tinggi yang mana setiap tempat yang kami lewati selalu ada perkebunan. Meskipun cukup jauh dari perkotaan, tapi tempat ini tidak terlihat seperti desa, melainkan seperti kota yang masih sangat asri. Polusinya masih tidak tampak.
Aku berteduh di bawah pohon jambu yang tidak tampak berbuah atau mungkin sudah selesai dipanen(?) Kami bisa masuk karena tempat ini tidak ada pembatas pagarnya seperti perkebunan apelnya Farren.
"Ren? Kamu di man... na?" Buset si Farren baru ditinggal bentar buat ngejelasin tempat tinggal ma readers dianya udah nangkring aja di atas pohon.
Malah sambil makan jambunya pula. Parahnya Farren nggak bagi-bagi. Kok aku kesel ya.
"Ren!"
"Hm?"
"Ren!"
"Apaan, Shend?!"
"Minta!" Apa-apaan dia enak aja makan sendirian.
"Naik sini!"
Oh, dia nantangin aku nih buat naik. Oke, siapa takut.
Dengan kekuatan tulang, aku akan menghampirimu Farren.
Duh, naik pohon susah juga ternyata. Licin-licin gimana gitu.
"Elah, buruan! Keburu abis, nih."
Kampret.
Hap!
----------
Shender memegang kaki Farren yang berjuntai di atasnya.
"Eh, Shender jangan di pegang, ntar jatuh!"
Shender yang masih berusaha untuk naik tidak terlalu mendengar ucapan Farren. Ia masih menjadikan kaki Farren sebagai tumpuannya untuk naik. Akibatnya...
"Kyaaaa!!"
"Huwaaaaa!!"
Dabug!!
Farren dan Shender terjun cantik dari jarak atas pohon yang lumayan tinggi itu. Dengan posisi saling menindih.
"Farren!"
"Shender!"
Mereka berdua menatap ke arah suara yang memanggil mereka secara bersamaan.
...