Chereads / SHENDER / Chapter 7 - TUJUH

Chapter 7 - TUJUH

Benar seperti yang diduga Shender kalau Farren ketemuan dengan seseorang yang Shender temui beberapa hari yang lalu. Posisi Shender sekarang berada tidak jauh dari dua orang yang sedang entah lagi pada ngomongin apa. Sepertinya posisi Shender kurang tepat, harusnya lebih dekat lagi. Mau bergerak maju pun nggak bisa karena berpotensi bakalan ketahuan. Setidaknya, ia bisa memantau apa yang akan dilakukan dua orang itu. Sesaat Shender melihat Farren menangis dengan tangan Vigof yang mencoba menghapus air matanya. Shender menggerutukan giginya menahan marah, dia pikir Vigof telah menyakiti Farren. Selanjutnya, ia melihat lagi keduanya berpelukan. Ingin sekali ia mendengar apa yang sebenarnya terjadi.

Sudah hampir satu jam Shender berada di dalam semak-semak demi mengawasi Farren. Dan, sudah berapa puluh nyamuk yang menciumi kulitnya.

Vigof terlihat hendak pergi meninggalkan Farren. Farren mengangguk sambil disertai air mata yang terus mengalir.

___

"Maafkan aku, Ren. Ini semua salahku," ucap Vigof sambil menatap wajah Farren.

"Tidak apa, Gof. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan bersama. Tapi, sejujurnya aku merindukanmu, Vigof. Aku rindu masa kecil kita," ucap Farren tak dapat menahan air matanya lagi.

"Aku juga, bisa kita tetap bersahabat kembali?" tanya Vigof sambil membantu menghapus air mata Farren.

Farren hanya mengangguk menyetujui permintaan Vigof, karena ia pun masih menginginkan berhubungan baik dengan Vigof. Mereka berdua lalu berpelukan dan dilanjutkan dengan membahas masa kecil mereka.

"Aku balik dulu, ya. Ada PR yang belum aku kerjakan, duluan ya. Bye!" Vigof pergi meninggalkan Farren yang juga hendak balik.

Shender yang memiliki kesempatan untuk keluar dari persembunyiannya itupun segera menuju motor matic-nya. Ya, Shender sedang tidak menggunakan sepedanya kali ini. Ia membawa motornya untuk mengejar Vigof. Beruntungnya Vigof berada tidak jauh dari jangkauan matanya. Ia melajukan motornya dan tepat memberhentikannya di jalanan yang sunyi di depan motor Vigof, hampir saja Vigof ketabrak anak orang.

"Turun lo!"

"Kenapa?" ucap Vigof bingung sambil melepas helmnya tapi tidak turun dari motornya.

"Gue bilang lo turun sekarang!"

Vigof menggelengkan kepalanya sesaat turun dari motornya lalu berhadapan dengan Shender yang tingginya sama dengannya.

"Ada apa?" tanyanya lagi masih dengan bingungnya.

"Lo apain Farren?!"

"Apain gimana maksud lo?"

"Nggak usah pura-pura lo! Gue tahu lo sudah nyakitin dia, kan? Brengsek!" ucap Shender sembari melayangkan tinjunya. Nihil, Vigof ternyata dengan mudah menangkap serangan mendadak itu.

"Lo kayaknya salah paham, gue nggak ngapa-ngapain Farren."

"Jangan bohong! Lo pasti mainin hatinya kan?! Lo itu sudah punya Coray ngapain lagi lo gangguin Farren, Huh!! Kal-- ayam tuk tuk tuk!"

Tuk!

Vigof menutup mendadak kaca helm yang dipakai oleh Shender. Ingin sekali ia tertawa sekarang tapi sekuat tenaga ia tahan.

"Lo siapanya Farren, sih? Sampai segitunya banget khawatir dengan perasaannya?" tanya Vigof sambil dengan mengulum senyumnya sekaligus tawa yang ditahan.

"Gue sahabatnya!" sahut Shender sengaja melupakan tragedi memalukan yang barusaja dialaminya.

"Sahabat? Tapi, yang gue lihat ada cinta di mata lo. Lo suka, kan sama Farren?"

Skakmat!

Shender yang tidak tahu harus menjawab apa langsung saja kabur membawa motornya, meninggalkan Vigof yang tersenyum miring menatap kepergiannya. Dia yang cegat dia yang kabur.

****

Farren POV

Apa benar Shender suka sama gue? Ah, mikir apa sih gue. Tapi, tadi malam gue tahu kalau Shender ngintilin gue di taman. Gue juga tahu ia nggak bakal tahu percakapan apa yang terjadi antara gue dengan Vigof karena posisinya yang nggak tepat. Jadi stalker kok nggak perhitungan dulu. Gue juga lihat dan dengar pertengkaran mereka di jalanan sepi yang tidak jauh dari taman. Hm....

Gue berencana hari ini mau ngejemput Shender ke sekolahannya. Kena angin apa? Kena angin kangen kayaknya. Padahal baru kemaren ketemu. Gue sekarang sudah berada di depan gerbang sekolahnya Shender. Sekolah kami memang berbeda satu jam pulang sekolahnya. Sekolah gue lebih cepat pulangnya yakni jam 2.

Sisa setengah jam lagi bel pulang sekolah Shender akan berbunyi, sambil memburu waktu gue pun beli jajanan dulu yang kebetulan lagi nangkring di depan gerbang. Lagi asiknya gue jajan-jajan tidak kerasa sudah setengah jam berlalu. Keluarlah wajah-wajah suntuk nan lelah terpancar dari mereka yang keluar dari gerbang. Tidak sedikit banyak yang sambil ngelihatin gue. Gue yang risih segera kembali ke motor gue dan memasang helm. Gue perhatikan satu persatu orang-orang yang keluar, duh Shender lama amat keluarnya.

"Farren!"

"Shender... akhirnya lo nongol juga," sahut gue.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya.

"Dagang cireng, ya Jemput lo lah," sahut gue sambil mengisap jus jeruk yang gue beli tadi.

"Jemput kayakmana orang kamu pakai motor, sedangkan aku pakai sepeda." Benar juga, ya. Kenapa tadi nggak bawa mobil aja, sih.

"Ya sudah gini aja lo jalan duluan depan gue ntar gue dorong lo dari belakang pakai kaki gue. Kalau giringan kelamaan." Instruksi gue.

"Pulangnya kemana?"

"Ke rumah gue,"

"Ngapain ke rumah kamu? Kita kan nggak serumah,"

"Ikut aja napa, sih."

Shender hanya mengangguk sembari segera mengayuh sepedanya lebih dulu dari gue. Gue pun menyusul di belakangnya sambil mencari posisi untuk selonjorin kaki buat ngedorong sepeda Shender.

Meski tidak secepat yang di inginkan setidaknya perjalanan kami tidak lamban jika saja tadi bergiringan. Kini gue sama dia sudah berada di halaman rumah gue. Kaki kanan gue keram plus kesemutan.

"Kok kamu nggak turun?" tanyanya.

Gue nggak nyahut, tapi cuma menggerakan mata gue ke kaki.

"Ohh, sini aku bantuin jalan," ucapnya sembari dengan gaya memeluk gue dari samping. Astaga, jantung gue.

Tapi kok oleng yah,

"Shender pegangin yang bener, kyaaa...."

"Huwaaa...."

Kok nggak sakit?

...

Sesaat Farren membuka matanya. Ia langsung di hadapkan oleh mata indah yang dimiliki Shender. Coklat. Iya, Farren menimpa tubuh Shender. Duh, pasti remuk tuh badan Shender.

Namun, bukannya merasa sakit atau apa, mereka malah saling berpandangan, seolah rasa sakit yang menjalar di punggung Shender hilang seketika.

Sepertinya kupu-kupu sedang beterbangan diantara mereka.

Hampir satu menit mereka dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya Shender yang sadar duluan karena punggungnya kembali terasa ngilu.

"M-maaf Shend," ucap Farren lalu bangun dan membantu Shender bangun. Keram dan kesemutannya seketika hilang.

Shender bangun dengan meringis menahan sakit di punggungnya. Nggak sakit-sakit banget, tapi tetap saja ngilu.

"Maafin aku ya, Shend," ucap Farren lagi merasa bersalah.

"Nggak apa kok, Ren. Tadi akunya aja yang nggak hati-hati," jawab Shender.

Farren pun membawa Shender masuk ke dalam. Membawanya langsung menuju kamar. Beruntung rumah Farren tidak bertingkat makanya ia bisa langsung membawa Shender ke kamar tanpa harus menaiki undakan tangga.

"Shend, ini baju gue. Selera pakaian kita sama kok, nih! Gue keluar dulu ngambilin air hangat buat punggung lo," ucap Farren segera beranjak keluar kamar setelah mengasih setelan pakaian cowok ke Shender.

"Makasih," ucapnya.

Shender POV

Astaga, perasaan terlarang itu hadir lagi didiriku. Apa yang harus aku lakukan? Haduh jantung, bisa tenang sedikit nggak, sih. Apa Farren ngerasain juga dengan apa yang aku rasain, ya?

Dari pada aku mengira-ngira mending aku langsung ganti baju aja. Baju Farren keren juga, harum lavender pula.

"Shend!"

"Ayam eh ayam!"

"Nih, gue bawa air hangatnya dalam botol biar di gulirin di punggung lo. Balik punggung sini!" ucap Farren sambil bersiap menggulirkan botol berisi air hangat ke punggungku.

Jantungku kembali berdentang lebih kencang. Perasaan itu lagi.

"Emmm... Ren?" aku mencoba untuk memberanikan diri.

"Hm?"

"A-anu,"

"Apaan, Shend?"

"Nnngg...."

"Lo ngomong ap--"

"Aku suka kamu!"

"Hee...?"

Aku rasakan guliran air hangat itu berhenti. Sepertinya Farren sedang mencerna ucapanku.

Masih tidak ada reaksi atau respon apapun. Sebaiknya aku segera minta maaf dan segera pulang sebelum semuanya kacau.

"Ma-maaf, Ren. A-aku pulang dulu, ya."

Farren tidak menyahut ucapanku, tapi langkahku sudah mantap keluar dari kamarnya menuju teras di mana sepedaku terparkir. Aku segera pergi untuk menetralkan detak jantung ini. Aku tidak menyesal telah mengucapkan kalimat sakral itu. Setidaknya aku sudah menuruti apa yang diinginkan dalam diriku sejak kemaren. Aku akan terima apapun nanti perlakuan Farren terhadapku. Sebenarnya aku tidak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke bawah jembatan tol. Tenang saja aku tidak akan berbuat bodoh kok, aku hanya ingin menenangkan pikiranku saja.

Tanpa sengaja aku hampir terlelap lantaran angin yang berhembus di bawah jembatan ini begitu membuai. Tapi, sebelum itu terjadi, samar-samar aku melihat Caray sedang duduk di sekat penyangga jembatan satunya sambil melempar batu dari pecahan semen ke sungai di bawahnya.

Tapi, kalau itu Caray kok dia nggak nyapa aku? Sepertinya itu kembaran Caray. Ngapain dia disini?

Sesaat pandanganku dan pandangannya bertemu. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi, setelah itu ia langsung pergi. Aku tidak ambil pusing dan kembali menikmati deburan angin yang menenangkan ini.

"Shender!"

"Eh, Caray?" Benar dugaanku tadi yang aku lihat adalah Coray. Caray tidak mungkin tidak menyapaku. Mereka cantik banget, kembar identik pula. Seandainya, mereka tidak memakai baju yang berbeda alias sama, mungkin aku akan bingung mana yang Caray mana yang Coray. Tadi saja aku sudah sempat keliru.

"Shend? Kamu kenapa?" tanya Caray seperti cemas.

"Aku nggak apa-apa. Eh, itu kembaran kamu, 'kan? Tadinya aku pikir itu kamu lho," ucapku.

"Oh, iya. Kenalin Shend ini Coray, Coray ini Shender."

Aku akui Coray lebih irit ngomong ketimbang Caray. Tapi, ya sudahlah bukan urusanku.

"Jadi, kamu ngapain disini, Ca?"

"Nggak ngapa-ngapain, kamu sendiri ngapain di sini? Kayaknya kamu punya masalah, ya?"

"Ha? Enggak, ko. Aku cuma cari angin aja di sini. Adem," ucapku sekenanya.

Ku lihat Caray hanya manggut-manggut lalu iapun duduk di pinggir batas penyangga jembatan yang menghubungkan dengan air sungai langsung di bawahnya. Coray juga melakukan hal serupa. Mereka bisik-bisik. Entah apa yang sedang dibisikan si kembar itu bukan urusanku 'kan?

****

Farren POV

Seminggu sudah sejak kejadian di mana Shender berani mengutarakan perasaannya sama gue. Waktu itu bukannya gue nggak peduli sama perasaannya. Gue juga punya rasa yang sama kedia. Tapi, gue masih bingung. Takutnya ini hanya perasaan labil yang bisa hilang kapan saja. Tapi nyatanya gue salah. Semakin gue mencoba membuang perasaan ini, semakin gue ingat sama dia. Apa iya gue belok beneran?

"Woy! Bengong aja lo!" teriak Galih di samping telinga gue.

"Eh, ngagetin aja sih lo," ucap gue masih bisa selow. Gue mah orangnya nggak mudah emosian. Tapi sekalinya emosi, singa mah lewat.

"Lagian lo dari tadi diam mulu. Nggak kayak biasanya lo petakilan, tuh juga pakai masker kebalik gitu," ujar Galih sambil minum air bekalnya. Dia mah suka bawa air sendiri dari rumah, katanya sih biar hemat dan hygenies. Gue berbalik dan menunduk untuk membenarkan posisi masker.

Apa gue konsultasi aja ya sama Galih tentang perasaan gue ini? Tapi ntar kalau Galih nggak mau temenan lagi sama gue gimana?

Ah, justru bagus dong jadi gue bisa tahu mana yang benar-benar teman mana yang bukan. Tapi, apa nggak kecepatan ya kalau gue tanyain hal ini?

"Lo ngapain merhatiin gue sampai segitunya?"

"Abisnya lo serius banget mikirnya. Lo kenapa, sih? Ceritalah sama gue. Gue kan sahabat lo, Ren."

Oke, sepertinya gue harus cerita ke dia.

"Emm... Gal, menurut lo jatuh cinta itu bisa jatuh ke orang yang salah nggak?"

"Hm? Lo jatuh cinta? Sama siapa?"

"Elah, jawab dulu kali, Gal."

"Woho, selow bro. Jadi gini, kalau menurut gue nih ya, cinta itu kan nggak pernah salah, jadi otomatis jatuh cinta sama orang yang salah itu nggak benar. Kita kan nggak pernah bisa mengatur hati kita buat milih mana cinta yang benar dan mana cinta yang salah. Karena pada radarnya hati akan jatuh kepada si dia yang mampu membuat hati kita berbunga-bunga," Ini bagian yang gue suka dari Galih. Dia bisa berkata-kata coy. Kata-katanya juga aduhay.

"Menurut lo apa cinta cuma bisa terjadi kepada lawan jenis saja?" tanya gue lagi.

Gue lihat Galih agak kaget tapi kembali tersenyum,"Jatuh cinta itu pada kenyataannya tidak harus kepada lawan jenis saja, pada sesama juga bisa. Tapi, kebanyakan orang yang sok pintar dengan cinta selalu mengartikan kalau hal itu salah. Tapi, nih kalau cintanya pakai nafsu bisa jadi salah karena termasuk jadi zina," Gue nggak ngeh sama kalimat terakhirnya Galih.

"Maksudnya, Gal?"

"Jadi...."

...