"Shender!" panggil Refin dengan gaya kemayunya.
"Iya?"
"Pulang sekolah ke rumah gue, yuk! Temenin gue. Ortu gue berangkat ke Bandung tadi pagi."
"Tumben lo ngajakin gue. Biasanya lo ngajakin dua tungau."
"Sama mereka mah sama aja bawa bencana," ucap Refin sambil menirukan gaya makan orang rakus.
"Haha... insya Allah, gue nggak janji tapi ya," ucap Shender.
"Oke, tenang aja ntar gue buka kok atap mobilnya. Gue tahu sahabat gue ini nggak tahan sama bau mobil. Ya 'kan?"
Shender hanya tersenyum antara menahan malu atau emang malu-maluin.
Sepulang sekolah Shender segera menuju parkiran sepedanya. Kali ini ia tidak menaiki langsung sepedanya, tapi ia tuntun menuju parkiran mobil Refin.
"Mobil lo bagus, Fin," ucap Shender sambil masuk ke samping kiri mobil Refin. Sebelumnya ia menaruh dulu sepedanya di bagasi, muat kok, luas soalnya.
Refin meski gayanya melambai, langkahnya gemulai, tingkahnya kemayu, tapi selera mobilnya tetap laki.
Sesampainya di rumah Refin, seperti merasa di rumah sendiri, Shender langsung menuju dapur dan membuka lemari tempat penyimpanan makanannya Refin. Tenang, Shender tidak serakus temannya Dixy dan Morrez, kok. Dia sudah jinak, jadi aman. Ngomong-ngomong Dixy sama Morrez di mana? Mereka ada, kok. Di salon. Biasa ritual cewek cantik.
"Laper bu," sindir Refin sembari mengambil minuman kaleng di kulkas.
"Hhe iya, Fin, gue mendadak lapar. Ayam goreng lo menggoda banget, sih," ucap Shender sambil menggigit paha ayam.
Pantas saja tiap kali Shender latah keluarnya ayam. Orang dia demen banget sama yang berbau ayam. Ini nih Ipin versi cewek versi Indonesia.
"Ya sudah lo habisin aja. Kalau sudah selesai jangan lupa dicuciin piringnya jangan dibuang, piring mahal itu."
"Iya, bawel."
Shender POV
Aku kepikiran Farren sekarang. Aku sempat berjanji pada diriku sendiri nyari dia di jalanan hari ini pas pulang sekolah. Tapi, malah ke rumahnya si kemayu. Hedeh, mau ninggalin, alasan apa coba, udah telanjur di sini akunya. Ya sudahlah ntar kalau ada kesempatan saja nyarinya. Sekarang nikmati gratisan di rumah Refin dulu saja, haha. Rugi choy kalau dilewatkan.
Sehabis makan aku tidak lupa mencuci piringnya. Bukan karena suruhan Refin tadi, tapi emang aku kebiasaan habis makan selalu nyuci piring sendiri. Jadi, seharusnya Refin tidak usah repot-repot buat ngingatin aku cuci piring. Setelah kelar aku langsung menuju ruang tengah tempat di mana Refin sekarang lagi main PS. Dan asal kalian tahu game apa yang sekarang lagi dimainkan seorang Refin. COOKING BARBIE! Cucok nggak tuh. Aku aja yang cewek lebih suka yang sniper atau nggak, perang-perangan, bunuh-bunuhan gitu, lah dia? Omegosh. Oke, abaikan, itu hak dia.
Aku duduk di samping Refin sambil mencomot camilan lays yang sepertinya sengaja dipindah ke dalam toples. Enak. Apalagi gratis.
Aku mulai mengantuk, aku pun menyandarkan tubuhku kesandaran sofa. Hanya sebentar saja akupun sudah terlelap. Aku tertidur di rumah Refin.
...
Sudah tiga hari Farren tidak keluar rumahnya. Sakit yang didapatkannya bekas pukulan pada malam di arena skate itu masih menyisakan sakit yang belum kunjung sembuh. Bagaimana cepat sembuh kalau dia hanya mengandalkan es batu yang di gulung dalam handuk untuk mengompres lebam di perut dan matanya. Cuma itu yang dilakukannya selama tiga hari ini. Dan selama itu pula Shender tidak tampak batang hidungnya, padahal katanya ia mau ke rumah Farren.
Farren tidak ingin memberitahukan kepada orang tuanya apa yang dialaminya kala itu. Lagipula cidera yang ia dapat hanya luka kecil yang nanti juga pasti akan hilang -- menurutnya.
Dia masih agak tertatih untuk berjalan karena menahan rasa nyeri di bagian perutnya. Bayangkan saja seorang laki-laki yang kuat memukul perut cewek yang lemah. Maksudku, Farren bukan cewek lemah, tapi tetap saja kan ia cewek dan tenaga cewek itu sangat jauh berbeda dengan cowok.
"Ughh...." Lenguh Farren beranjak dari sofa depan TV. Ia sudah sangat bosan sekarang berada di dalam rumah tanpa melakukan kegiatan apapun. Tiba-tiba ia teringat dengan sosok masa lalunya. Vigof. Dimana Farren kecil dulu saat sakit Vigof selalu ada bersamanya membantunya dalam hal apapun kecuali mandi dan ritual suci di wc. Ada sedikit rasa rindu di hatinya akan seseorang di masa lalunya itu. Tapi, sudah tidak pakai banget lagi lantaran rindunya sudah terkikis oleh waktu.
"Dimana lo sekarang, Gof? Apa lo masih mondok? Gue kangen sama lo. Tapi perasaan gue ke lo sudah hilang." gumamnya sambil melihat keluar di balik jendela.
Matanya melirik kesana kemari tak ada objek yang membuat matanya betah untuk melihat pada satu titik. Tapi beberapa detik kemudian ia berhenti meliarkan matanya, sekarang matanya terfokus pada satu sosok yang sedang mengayuh sepeda BMX menuju halaman rumahnya.
"Shender." Gumamnya lagi.
Tingnung!
Suara bel rumah Farren. Farren yang tersadar dari ketertegunannya pun segera berjalan menuju pintu dengan tertatih.
Setelah ia membuka pintu,
"Hai!" sapa Shender dengan wajah ceria.
"Hai juga. Lo ngapain ke sini lagi?" tanya Farren langsung, bukannya nyuruh masuk malah kepo duluan.
"Main aja, emang nggak boleh?" tanya Shender masih dengan wajah tersenyum lebar menampilkan gigi kelincinya yang makin membuatnya terlihat sangat manis sekaligus makin cantik.
'Astaga senyumannya manis banget, dia berkali-kali lipat lebih cantik' batin Farren, lagi-lagi dia terpesona dengan apa yang dilihatnya pada Shender.
"Ren? Faren? Aku boleh masuk nggak nih?"
"Helloow...?"
"FARREN!"
"Eh, i-i-iya a-ayo masuk dulu, Shen!" ucap Farren terbata-bata. Untung saja dia nggak latah atau nggak jatuh akibat kaget diteriakin Shender barusan.
Shender menyadari kegagapan Farren, tapi dia tidak mempermasalahkannya, hanya saja ia jadi geleng-geleng kepala. Farren segera berbalik menghampiri Shender yang sudah duduk di sofa depan TV.
"Loh, Farren kamu kenapa?" ucap Shender kembali berdiri seraya membantu memapah Farren untuk duduk.
"Aku enggak apa-apa kok, Shend."
"Jangan bohong! Itu juga mata kamu kenapa?"
"Eh, lo mau minum apa, Shen? Biar gue bikinin dulu ya di dapur." Sebelum Farren beranjak pergi. Tangan Shender sudah mencegatnya untuk duduk kembali.
"Aku tahu kita emang baru saja kenal. Tapi, semenjak kejadian itu di mana kamu sudah mau cerita tentang kamu kepada orang asing seperti aku, entah kenapa aku ingin lebih tahu lagi tentang kamu. Aku tidak keberatan kok jadi tempat curhat kamu atau sandaran kamu ketika kamu jatuh, bukankah kita sudah jadi sahabat sejak malam itu?" ucap Shender sembari menatap mata Farren khususnya mata kirinya yang masih terlihat merah maron itu. Tidak ada warna putihnya lagi lantaran tertutupi oleh warna darah. Sakit nggak, ya?
Farren tidak langsung menjawab ia masih mencerna maksud ucapan Shender barusan.
Ia pun menatap balik mata Shender. Sekian detik mereka saling bertatapan akhirnya Farren memalingkan wajahnya. Shender hanya menghela napas pelan entah apa yang dirasakannya barusan. Terlihat rona merah di pipi keduanya. Tentu saja wajah Farren masih tidak terlihat. Farren hobby memakai jaket ninja walau sendiri dalam rumah sekalipun.
Akhirnya, mengalirlah cerita di mana saat Farren mendapatkan bencana dari si cowok jelek itu.
------_______________
"Hkhkhk, Shender kamu tuh ya. Eegggh...." ucap Farren sembari mencubit gemas pipi Shender yang agak chaby itu.
Shender tidak mengelak malah ia menikmati sentuhan tangan lembut itu di pipinya. Ia hanya tersenyum senang menanggapi perlakuan Farren padanya barusan. Ia suka melihat dan mendengar tawanya Farren. Meskipun yang terlihat hanya mata Farren yang menyipit karena ketawa.
"Manis," ucap Shender tanpa sadar.
"Hah? Apa, Shend? Kamu ngomong apa?"
"Ah, nggak aku nggak ngomong apa-apa."
Farren hanya mengangguk lalu tersenyum lebar di balik maskernya. Bikin Shender meleleh dibuatnya. Padahal sekali lagi hanya dari matanya saja.
"Shender lo kan normal, dia teman lo Shen, sadar Shen sadar dia cewek, lo juga cewek." batin Shender. Tapi, hati dan perbuatannya malah tidak sinkron, ia masih menikmati pemandangan indah yang ada di depannya. Sesaat ia tersadar ia harus mengobati luka Farren.
...