"Coray!" sapa seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang tengah menikmati makannya di sebuah warung tenda biru pinggir jalan.
"Ho?"
"Coray! Kamu kemana saja? Kenapa enggak sekolah tadi?" Vigof segera duduk di depan Caray yang di sangkanya adalah Coray.
Caray tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kikuk. Melihat itu Vigof tidak terlalu mendesak untuk minta jawaban. Karena pada saat itu pesanannya pun datang. Mereka pun makan dalam diam. Tidak dengan pikiran mereka masing-masing yang sedang ribut memikirkan yang... entahlah.
"Coray?"
"Hm?" Caray masih tetap menikmati makannya. Ia kelaparan karena baru saja makan. Setengah harian tadi ia sibuk mengurus Coray yang masih belum sadar di Rumah Sakit.
"Kamu kenapa?"
Caray bingung harus jawab apa. Ini pertama kalinya ia bertemu laki-laki yang dekat dengan adiknya. Ia tidak tahu apakah laki-laki ini pacarnya Coray atau sahabat atau apalah. Ingin rasanya ia memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi, tapi diurungkannya niatnya itu dengan alasan 'iseng sekali nggak akan apa-apa kali, ya'
"Seragamku basah." Iya, hanya itu alasan terkonyol yang mampu ia buat.
"What?! Kok bisa? Bukannya seragam sekolah kita tiap hari ganti-ganti, ya? Kok bisa basah?"
"Mampus gue," umpat Caray dalam hati.
...
Tidak seperti biasanya di sekolah aku tidak melihat dia. Biasanya dia selalu seleweran di depan kelasku. Entah itu lari-larian atau main petak umpet, hhh... dasar MKKB (masa kecil kurang bahagia).
Sekarang keadaan sekolah sudah sepi. Iya, karena jam sekolah sudah selesai. aku segera mengambil sepedaku ke parkiran. Aku tidak biasa bareng teman-temanku pulang, padahal mereka selalu mengajakku untuk naik mobil bersama ketika berangkat dan pulang sekolah. Tapi, aku enggak enak dan lagi pula aku juga tidak tahan bau mobil. Aku selalu merasa mual ketika berada di dalam mobil, tidak tahu kenapa.
Nah, perutku sekarang sudah mulai memberi kode. Oke, aku paham maksudnya. Segera kukayuh sepedaku menuju tempat makan langgananku. Warung tenda biru tempat di mana aku melihat Farren pertama kali.
Setelah sampai aku segera masuk dan celingak-celinguk untuk mencari tempat duduk. Padahal sudah lewat jam makan siang,tapi warung makan ini masih ramai.
Lah, itu kan dia? Itu pacarnya, ya? Wih, boleh juga tuh seleranya. Gila ganteng banget, choy!
"Eh! Ayam ayam ayam ayam!" sial.
"Maaf maaf, Dek! Saya nggak sengaja. Maaf ya, Dek!"
"Iya iya, Mba. Aku nggak apa."
Hhh... salah aku juga sih datang ke sini bukannya cepetan cari tempat buat makan malah merhatiin dia. Kulihat lagi dia tidak ada di tempatnya, tapi cowoknya masih ada di situ menikmati makan dengan lahapnya.
"Hey!"
"Ayam kokok, eh!"
"Hahaha... kamu lucu banget sih latahnya," ujar orang yang bermaksud ingin menyapaku ini.
"Style laki muka cool tapi latahan, hahaha!"
Aku cuma garuk-garuk belakang leherku menahan malu sambil cengengesan. Untung dia ngomong begitu nggak nyaring, kalau nyaring mau ditaruh di mana ini muka?
"Gabung, yuk!" ajaknya sembari menarik tanganku menuju tempat makannya bersama cowok tadi.
"Hai, gue Vigof. Pacarnya Coray." Cowok itu sembari mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
"Shender," sahutku. Oh, jadi nama dia Coray. Namanya kok rada aneh gitu, ya. Tapi ya sudahlah. Masih untung enggak nyeleneh kayak berita di-tv-tv itu.
Aku segera memesan makanan kesukaanku. Sambil menunggu pesanan datang aku pun ngajak Coray ngobrol. Karena sedari tadi aku lihat mereka berdua seperti canggung gitu, padahal kata Vigof tadi mereka pacaran, tapi kok....
"Permisi, Dek. Ini pesanannya."
"Makasih, Mba."
"Wow, porsi kamu jumbo, kelaparan, ya? Udah berapa hari enggak makan, sih?" aku tahu dia sedang berusaha mencairkan suasana.
Aku cuma nyengir aja sembari menyuapkan mie ayam ke dalam hidung eh mulutku.
"Kamu temen SD-nya atau temen main di rumahnya Coray, Shend?" tanya Vigof padaku.
Apa maksud pertanyaannya? Kok aku enggak ngeh, ya? Hhh... please jangan lemot Shender. Masa di depan cogan kamu lemot, malu-maluin.
"Eeeee...."
"Shender teman mainku di rumah. Iyakan, Shend?"
Kulihat tatapan mata Coray seolah mengatakan 'please, iyain aja Shender'.
"I-iya aku teman mainnya di rumah."
Vigof hanya manggut-manggut sambil menyuap makanannya yang sudah hampir mau habis. Kulihat Coray menghembuskan nafas lega. Ada apa ini?
Dari pada aku semakin bingung dan sepertinya keadaan kembali canggung. Aku segera melahap makananku, aku sudah semakin lapar.
"Coray, habis ini kita jalan, yuk. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat." kudengar Vigof bersuara lagi.
Blablabla....
"Oke, ya sudah. Aku duluan, ya. Sampai ketemu besok di sekolah." Pamit Vigof.
"Loh, bukannya tadi kalian berdua mau pulang bareng, ya?" tanyaku.
"Kamu sih, asik makan saja jadi nggak nyimak, kan. Hhe, Aku bilang tadi aku mau pulang bareng kamu saja. Aku capek jadi aku nolak aja ajakan dia."
"Bareng aku? Eh, wait. Aku masih bingung deh dengan keadaan tadi. Sebenarnya apa yang terjadi, sih?" iya, aku penasaran dengan drama yang terjadi di depanku barusan. Aku nggak ngeh sama sekali.
"Kamu naik apa kesini?"
"Sepeda."
"Sepeda kamu ada injakannya nggak dibelakang?"
"Ada, kan BMX."
"Ya sudah aku nebeng berdiri di belakang ya."
Aku cuma mengangguk bingung, apa hubungannya sepedaku sama yang tadi? Aku kembali menyuap makananku yang tinggal sedikit lagi.
***
Aku sudah tahu sekarang apa yang terjadi dengan dia. Iya, dia. Dia yang aku kira bernama Coray ternyata bukan, tapi ternyata Caray. Nama yang unik untuk anak kembar. Kakiku pegal banget abis nganterin Caray ke rumah sakit, lebih baik aku tidur saja lagian sudah malam juga.
Aku merebahkan tubuhku ke tempat paling enak di dunia. Kasur.
Farren. Entah kenapa aku jadi ingat dia lagi. Hhh... semenjak ia curhat padaku dua minggu yang lalu, kini aku jarang melihatnya. Padahal kemaren-kemaren aku sempat sengaja melewati depan rumahnya sehabis pulang sekolah, tapi aku tidak pernah melihatnya. Oh iya, kenapa aku lemot banget sih! Farren kan pengamen jalanan, ya ialah dia nggak ada di rumah, alias jarang. Tapi kalau aku mau cari dia di jalanan, di jalan mana ya dia biasanya konser tunggal? Ah, iya di jalan yang waktu itu pertama kali aku lihat depan warung tenda biru. Eh, tapi tadi pas aku makan di warung aku nggak lihat dia. Ke mana ya dia?
***
Farren POV
"Ren! Buka maskernya dong! Gue penasaran sama muka lo," ucap Galih sambil maju mundur mainin skateboard-nya.
Sedangkan gue sok sibuk bikin graffiti di papan skate gue. Gue mau ilangin warna pink polos di papan ini. Nggak cocok sama karakter gue soalnya. Kalau saja dulu papan skate ini milik gue dari awal, gue nggak bakal ngasih cat warna pink nih skate.
"Woy! Farren! Lo nggak dengerin gue ngomong, ya?!" Teriak Galih sembari duduk di samping gue, kali ini dia memangku skate-nya.
Gue sih nggak kayak si... siapa ya namanya aduh... ah iya Shender, dia mah kaget dikit pasti yang keluar ayam. Makanya saat Galih neriakin gue, gue nggak bakal kaget, alias selow aja mblo.
"Lo ngomong apa tadi, Gal?"
"Hhh... gue bilang, lo buka masker lo, kita sudah lama temenan, tapi gue nggak pernah tahu wajah lo kayak mana," ucap Galih sambil menyipitkan matanya menatap gue. Oh iya, just information ya mblo, Galih ini matanya sipit macam orang Chines, jadi kalau disipitin lagi... lo bayangin aja sendiri.
"R.a.h.a.s.i.a." gue sahut dengan singkat padat dan jelas plus bikin Galih jadi misuh-misuh. Haha.
"Lo it--"
"HEH! NINJA!"
Belum sempat Galih melanjutkan omongannya tiba-tiba ada orang asing yang menyela. Apa tadi? Dia bilang Ninja? Apa tinja?
"GOBLOK!! MALAH BENGONG!" eh, ini orang kasar banget sih. Kenal juga enggak.
"Woy! Santai, Bro. Lo ada perlu apa sama Farren?" sahut Galih mencoba santai menanggapi bentakan kasar dari si jelek orang asing itu. Iya jelek, nih ya gue kasih tahu, mukanya itu hitam, dekil, berminyak, kumisan, dan penuh anting alias tindikan. Apalagi gayanya sok kegantengan gitu. Ini preman kali, ya? Tapi bajunya kayak anak hip-hop. Nggak ada keren-kerennya sama sekali. Ew
"Gue gak ada urusan sama lo! Gue ada urusan sama cowok songong ini!" sahutnya dengan gaya sok cool yang menjijikan menurut gue.
"What?! Cowok! Wah, lo salah paham, Bro. Dia it--"
"Lo pulang saja, Gal. Biar gue yang hadapi orang ini." gue nggak maksud motong ucapannya Galih yang mau ngasih tau kalau gue cewek ke cowok jelek itu, tapi refleks gue ngomong begitu ketika Galih masih belum selesai ngomong. Sorry Gal
"Tapi, Ren gue enggak bisa biarin lo hadapin dia seorang diri. Gue nggak mau lo kenapa-napa," ucap Galih dengan pandangan khawatir. Galih emang paling care di antara teman skater gue yang lain.
"Percaya sama gue, gue bisa jaga diri kok. Lo tau kan gue siapa?"
Galih hanya mengangguk sambil beranjak pergi dari situ. Gue tahu dia berat ninggalin gue sendirian, tapi gue nggak mau ngikut campurin masalah gue sama dia. Meskipun gue nggak tahu ada masalah apa gue sama orang ini.
"Hati-hati, Ren," ucapnya sambil berlalu ninggalin gue.
"Boleh juga drama lo." orang asing itu sudah mulai bisa ngomong santai. Tapi tetap saja 'menjijikan'.
"Apa mau lo sekarang?" gue coba bertanya sesantai mungkin.
"Mau gue kita tanding skate, siapa yang kalah dia nggak boleh latihan di sini lagi," sahutnya dengan mimik muka yang sok jagoan.
Apa-apaan dia, ini kan arena tempat latihan yang ngebangun bokap gue buat di pakai umum, kecuali buat selfi dilarang masuk. Apa hak dia ngusir-ngusir gue secara beginian. Wah, parah ni orang nggak tahu diri. Pecundang
"Heh! Apa maksud lo begitu hah?! Ini tu arena umum! Siapapun berhak buat latihan di sini kapan saja sekehendak hati! Lo nggak berhak usir-usir gue dengan cara begini!" akhirnya emosi yang sudah gue redam dari tadi tersulut juga karena makhluk jelek di depan gue.
"Lo nyolot?! Bilang aja lo takut lawan gue kan, haha," ucapnya disertai tawa meremehkan.
"Oke, kita tanding sekarang! Siapa yang jatuh lebih dulu dia yang kalah," sahutku akhirnya. Gue nggak terima dia meremehkan kemampuan gue.
Gue dan dia pun beraksi di arena dengan gaya dan kemampuan masing-masing dalam menggunakan trik. Gue lihat ada yang nggak beres dengan trik yang dia gunain. Gue masih bisa fokus, tapi gue sekilas lihat ada pergerakan kecil yang tidak semestinya di lakukan. Gue akhirnya bisa sampai di landasan terakhir yaitu landasan luncur. Tapi, sesampainya di atas dengan sempurna, ternyata si cowok jelek itu melancarkan aksi curangnya. Dia ngedorong gue kebawah. Kepala gue kecium semen untung ngga bedarah. Tapi, jarak dari bawah ke atas itu lumayan tinggi. Sial, sakitnya luar biasa, tapi gue masih bisa berdiri sekaligus masih sadar. Dan si cowok jelek itu turun menghampiri gue dengan senyum mengejek.
"Lo harus kalah! Jangan pernah ke sini lagi!" belum sempat gue mencerna ucapannya dia sudah melayangkan bogem mentah tepat di mata kiri gue. Sumpah demi apapun, rasanya perih minta ampun. Parah ni orang nggak nyadar gue cewek apa, ya. Suara gue kan nggak serak-serak banget dan nggak nge-bass pula.
"Argh!" cuma itu yang bisa keluar dari bibir cantik gue.
"Awas aja kalau sampai besok gue lihat lo lagi, Ninja!"
Dia meninju perut gue, kali ini gue terduduk dan menikmati rasa sakit ini. Mungkin kalian berpikir kenapa tadi gue nggak teriak aja saat dia nyakitin gue? Siapa tahu Galih belum jauh. Itu tidak mungkin. Galih kalau disuruh balik duluan ia beneran balik. Walaupun tempat ini arena umum tapi di jam 10 malam seperti ini siapa yang mau keluyuran?
gue akhirnya menuju mobil gue dengan tertatih-tatih, kayaknya besok gue nggak bisa kemana-mana sampai luka lebam ini sembuh. Gue terpaksa nggak masuk sekolah. Gue tahu pasti Galih bakal nanya-nanyain keadaan gue dengan tanganya yang suka meraba tubuh gue, ets, tapi rabanya cuma sebatas punggung sama wajah (masker gue) aja kok nggak lebih , karena gue sekolah tetap selalu memakai masker. Selama gue SMA di sini tidak pernah ada yang tahu wajah gue selain kepala sekolah dan wali kelas.
Gue nggak akan mungkin ninggalin tempat ini, cowok asing jelek!
Suatu saat gue bakal cari tahu siapa lo!
...