Malam ini membosankan sekali. Bagaimana tidak? Disaat anak muda seumuranku sedang menikmati malam minggu bersama pasangan masing-masing, aku malah mojok di kamar. Bukan mojok berduaan, tapi mojok sambil charger hp. Padahal, sebenarnya tadi Refin, Morrez dan Dixy sudah berusaha mengajakku untuk pergi jalan-jalan, tapi aku tidak mau. Sebab mengapa? Ayolah, mereka itu semua sudah punya gandengan masing-masing. Sedangkan aku? Masa iya aku jadi satpam jagain mereka?
Ah, iya, perkenalkan namaku Shender Galliel Soberano. Ets, jangan terpengaruh dengan namaku. Aku adalah seorang cewek tulen. Menurut teman-temanku, aku bergaya seperti anak laki-laki. Padahal menurut aku biasa saja. Aku hanya berpakaian style laki-laki dengan rambut panjang yang selalu digulung dan ditutupi topi. Tapi, kadang diurai juga, cuma intinya style-ku sporty. Simple. Hobby-ku dengerin musik, jadi kalau kemana mana earphone selalu mengalung di leherku.
Dan aku punya sahabat namanya Refin, Dixy, dan Morrez. Refin Maruli itu Gay. Dia gagah kalau dilihat, tapi sayangnya dia penakut. Refin itu tampan namun sayangnya melambai. Kalau Dixy itu cewek, nama lengkapnya Dixy Aligadaf Shihab. Dia keturunan Arab. Alisnya tebal banget kayak Shinchan. Hidungnya kemancungan. Cantik sih, tapi masih cantikan aku dong. Selanjutnya Morrez, alias Morrezany Alika. Dia asli Indonesia tapi nggak tahu tuh namanya kenapa rada-rada luar gimana gitu. Tapi, ya sudahlah ya. Sedangkan aku sendiri adalah orang asli Filiphina, tapi tinggal di Indonesia sejak bayi.
Aku sekarang sedang berada di atap rumah. Gimana bisa aku naiknya? Pikir saja sendiri. Hp-ku aku tinggalkan saja di kamar, toh, tidak akan ada yang menghubungiku juga. Aku masih asik menatap bintang-bintang di langit. Aku sempat khilaf menghitungnya seperti orang idiot. Hhh, aku kepikiran dengan cewek ninja itu. Beberapa hari ini, tanpa sengaja otakku seperti memikirkan tentang dia. Aku penasaran bagaimana wajahnya. Aku tahu dia seorang perempuan, karena pertama kali melihatnya aku sudah disuguhkan dengan suara indahnya saat menyanyi.
Oh iya, waktu di rumah kosong di daerah tempat tinggal Refin itu aku juga melihatnya. Aku baru ingat sekarang. Sedang apa ya dia di rumah gelap seperti itu? Dia tinggal di sana? Apa dia tidak takut sendirian dalam keadaan gelap? Apa aku kesana saja ya untuk mencek kebenarannya.
Aku segera bersiap untuk menuju kediaman gadis ninja itu.
Tidak kuduga tadinya langit sangat cerah, tapi beberapa menit kemudian bintang-bintang sudah tidak terlihat lagi karena digantikan oleh langit mendung. Aku sudah sampai di depan rumah (terlihat dari luar) kosong itu. Tapi, apa benar rumah ini kosong? Sekarang aku melihat ada sebuah mobil sport di dalam halamannya. Tapi, kenapa lampunya tidak dinyalakan satupun? Apakah orang yang ada di dalamnya itu menyukai hitam? Mungkin saja, aku saja setiap kali bertemu gadis ninja itu warna jaketnya selalu hitam. Aku sempat mikir, jaketnya dicuci tidak, ya?
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Masuk tanpa permisi seperti tempo hari atau memencet bel terlebih dahulu? Ah, aku pilih opsi kedua saja.
Sudah berulang kali aku memencet bel-nya, tapi tidak ada sahutan atau suara apa pun yang menandakan ada orang di dalam. Aku pun bertekat untuk masuk ke dalam, untung saja pagar ini tidak dikunci. Aku menyandarkan sepedaku di samping mobil sport itu. Aku intip dari balik kaca-kaca jendela rumah itu. Tidak terlihat apapun kecuali hitam. Aku menjadi semakin penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah (lumayan) besar ini?
BRUK!
"Ayam goreng ayam lada ayam bakar ayam ayam ayam!"
Astaga, apa yang baru saja menubrukku dari belakang? Juga, kenapa setiap kali aku latah selalu keluar ayam, sih? Ayam kan nggak salah apa-apa.
"Lo?! Lo ngapain lagi kesini?!" Rupanya itu suara si gadis ninja. Ketus banget, untung cakep. Loh? Tahu darimana aku kalau dia cakep?
"A-a-aku cu-cuma... main aja, iya main...." Gila, kenapa aku jadi mendadak gagu begini, sih. Trus juga ngapa nyahutnya ngaco gitu? Malu😳
Ah, sayang sekali aku tidak bisa melihat wajahnya. Teras rumahnya sangat gelap gulita. Hp-ku mana, ya? Astaga, bodoh sekali aku, hp-ku malah tertinggal di rumah karena dicas tadi. Aku jadi tidak bisa menyentari wajahnya.
"Sini ikut gue!" Dia menarikku menuju ke dalam rumah. Ngelihat pakai mata batin kayaknya nih cewek. Dia narik aku jalan ke dalam rumahnya tanpa kebentur apapun. Warbyazah! Padahal tadi di depan nabrak.
Aku mengikutinya sampai ke sebuah ruangan yang sepertinya adalah kamar . Apa dia masih tidak berpikiran untuk menyalakan lampunya?
"Duduklah!" Dia menuntunku untuk duduk di pinggir kasurnya --- karena aku merabanya sebelum melayangkan bokong.
TAP!
Akhirnya, terang juga. Dan, mata itu... mata yang sangat indah yang pernah aku lihat. Ia menatapku tanpa berkedip. Aku pun membalasnya supaya aku tidak merasa seolah ter-intimidasi.
"Nama lo siapa?" Dia bertanya namaku dengan masih menatapku tajam. Tajamnya tidak melukaiku, tapi membuatku semakin kagum. Matanya saja sudah membuatku dag-dig-dug apalagi dengan wajahnya jika dia membuka masker jaketnya.
"Namaku Shender. Lalu, siapa namamu?" tanyaku balik.
"Nama gue...."
...
"Nama gue Farren Mahar Aggazta panggil aja Farren," ujar cewek yang masih berjaket ninja itu.
Tidak ada lagi suara di antara keduanya. Terasa sekali kalau mereka sekarang dilanda kecanggungan. Farren masih menatap lekat ke wajah Shender. Sedangkan Shender dengan tenang sambil memainkan game di hp-nya tanpa menyadari dirinya sedang diperhatikan. Tentu saja itu hapenya Farren karena Farren meletakannya di kasur tempat Shender duduk.
"Jadi, lo ngapain kesini? Gue tahu lo nggak mungkin main gitu aja sama orang yang baru lo kenal, 'kan?" Tanya Farren kembali.
Shender tidak langsung menjawab, ia seperti sedang berpikir kalimat seperti apa yang pas dikatakan sebagai jawaban untuk pertanyaan Farren barusan.
"Aku penasaran saja sama kamu. Dan... aku juga ngelihat kamu nggak cuman sekali aja. Tapi, beberapa waktu yang lalu juga. Makanya, aku ada di sini." aku Shender jujur.
"Terus setelah lo ada disini apa yang lo mau lakuin? Diam aja gituh sambil main hape? Jangan sementang di kamar ini ada free wifi-nya ya lo bisa gunain internet sepuasnya." Waw ini kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Farren.
"Ya nggak lah, aku cuman nggak tahu aja mau ngomong apa tadi. Lagian ini juga kan hp kamu. Hp aku mah di rumah. Jadi, boleh aku nanya sama kamu?"
"Lo barusan sudah nanya sama gue," sahut Farren sambil memutar kedua bola matanya. Sembari mengambil hpnya dari tangan Shender.
"Iya juga sih," ucap Shender sambil menggaruk hidungnya. "Aku mau tahu tentang kamu." ungkap Shender langsung to the point.
"Hmmm...? Lo baru tahu nama gue langsung kepingin tahu tentang gue? Kepo lo!" ujar Farren sambil berdiri di depan wajah Shender dengan sedikit menunduk untuk menyajarkan posisi kepalanya dengan Shender. Kedua tangannya ia masukan ke saku jaket.
Ditatap seperti itu bukannya membuat niat Shender mengintrogasi Farren menguap malah semakin menjadi dan tambah penasaran. Apalagi mata itu, mata itu yang membuat Shender bersikeras untuk mencari tahu lebih jauh tentang Farren yang baru ia tahu namanya beberapa menit yang lalu. Entah kenapa ia bisa jadi seperti itu, ia pun tidak mengerti.
"Aku mau tahu... kenapa kamu bisa tinggal di tempat seperti ini sendirian? Mana lampunya pakai nggak dinyalain segala pula. Nggak takut apa?" tanya Shender tidak memperdulikan ocehan Farren tadi.
"Penting buat lo?"
"Yup!"
"Hhh...."
"...."
"Hhh...."
"Kamu ngapain dari tadi, Ninja?" ucap Shender mulai geregetan dengan tingkah Farren yang hanya menghela napas dari tadi tanpa mengeluarkan suara apapun kecuali suara napasnya.
"Intinya gue baru pindah di sini beberapa hari yang lalu dan tentang kenapa rumah ini selalu gelap karena gue jarang ada di rumah." jelas singkat Farren.
"Terus kamu kemana kalau nggak di rumah?"
"Ngamen sama mainan skateboard."
"Ho...?" cuma itu yang bisa Shender ekspresikan dengan kebingungannya menyimak maksud ucapan Farren. Shender selain latah ternyata lemot juga. Nggak sesuai banget sama muka.
"Ck, gue ini pengamen jalanan jadi gue sering ada di jalanan tapi gue bukan anak jalanan, terus gue suka main skateboard di arena skate dekat sini." jelas Farren lagi.
"Kamu pengamen? Kok bisa?" ucap Shender tidak yakin.
"Iya, kenapa? Nggak sesuai, ya?"
Shender tidak menjawab, melainkan merespon dengan dua kali anggukan disertai dengan wajah polosnya.
"Hhh...." lagi lagi Farren hanya menghela napas untung dia nggak lupa buat napas lagi.
"Ikut gue deh!" ajak Farren sembari mengulurkan tangan kanannya.
Shender masih diam dan menatap mata Farren. Karena cuma mata Farren saja yang dapat dilihat oleh Shender.
"Mau sampai kapan kamu jadi ninja gadungan gitu?" tanya Shender masih menatap lekat mata Farren.
Farren tidak menyahut ia hanya menggedikan bahunya saja menghiraukan maksud pertanyaan Shender. Shender yang tidak suka memaksakan kehendaknya pada orang lain itu pun membiarkan saja kemauan Farren yang masih tidak ingin memperlihatkan wajahnya. Shender pun menyambut uluran tangan Farren yang sedari tadi masih bertengger di depan muka Shender.
Farren mengajaknya ke suatu tempat yang sangat tenang, pastinya bukan di kuburan. Mereka saat ini sudah berada di taman belakang sekolah. Dih, ngapain malam-malam ke sekolahan? Nggak angker apa? Takut juga nggak, kah? Oh ya, mereka bisa masuk karena Farren punya kunci duplikat gerbangnya. Dan, dia bisa punya karena sekolah itu milik Almarhumah(?) mamanya.
"Kita ngapain kesini? ini sekolahan lo?" Tanya Shender sok tenang padahal hatinya ketar-ketir takut ada sosok yang tidak diinginkan mengawasi mereka. Walaupun keadaan di taman belakang sekolah ini lumayan terang karena disinari oleh lampu taman yang tersebar di mana-mana dan cukup indah. Tapi, tetap saja kesan sekolahan dimalam hari itu mengandung aura menyeramkan nan mencekam.
"Duduk sini!" ajak Farren untuk duduk didepan air mancur buatan.
Setelah menempelkan pantatnya di samping Farren tentunya di atas tanah. Ngeleseh gitu. Shender nanya lagi.
"Kita mau ngapain di sini?"
Farren masih tidak menjawab pertanyaan Shender. Ia masih diam, tapi beberapa saat kemudian ia mengambil papan skate di sampingnya yang tidak Shender sadari kalau Farren dari tadi menenteng papan skatenya itu.
Shender tidak lagi bertanya. Kini ia hanya diam saja menunggu apa yang ingin dilakukan oleh Farren. Toh, ditanya juga nggak dijawab.
Sambil memangku papan skatenya, Farren mulai membuka suaranya.
"Dengerin gue, gue mau cerita. Jangan nyela sebelum gue selesai cerita. Sebenarnya, gue malas cerita sama orang baru tapi kata mama gue dulu cerita sama orang baru itu lebih nyaman." Shender hanya mengangguk mendengar ucapan Farren, ia mulai memasang telinganya baik-baik.
"Dulu, delapan tahun silam gue pernah tinggal di rumah itu, karena dulu tempat ini masih dijadikan tempat wisata gitu sebelum jadi tempat pemukiman penduduk seperti sekarang. Rumah itu awalnya tempat penginapan untuk keluarga gue, setiap weekend gue sekeluarga selalu ke sini. Rumah itu dijaga sama orang suruhannya papa. Tapi, semenjak kejadian naas saat kami sedang dalam perjalanan pulang, mobil kami mengalami kecelakaan maut. Gue sama papa selamat, tapi mama gue meninggal walaupun jasadnya tidak pernah ditemukan. Sejak dari itu papa gue makin gila kerja, katanya biar nggak larut dalam kesedihan. Dan kami tidak pernah lagi ke tempat ini. Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu gue rindu tempat ini, jadilah gue di sini sekarang. Sekolah ini adalah milik mama, tapi karena mama nggak ada jadi papa yang pegang, dan sekarang karena gue sudah cukup besar gue yang di suruh papa buat handle sekolah ini. Karena gue masih belum ngerti jadinya gue milih bagian santai-santai aja makanya gue masih bisa main keluar. Papa nggak mau tinggal bareng gue, katanya ia masih teringat sama mama kalau tinggal di rumah itu..."
"...."
"...."
"Sorry, gue ceritanya random banget. Sampai hal-hal yang nggak lo tanya gue ceritain juga," ucap Farren sambil menunduk.
"Udah nggak apa-apa, kok. Aku malah senang kamu mau cerita sama aku. Secara tidak langsung kamu sudah nganggap aku bagian dari hidup kamu, maksudnya temanmu. Tapi, sahabat deh kalau bisa."
Farren mendongakkan kepalanya lalu tersenyum manis pada Shender.
"Eh, ajarin aku main skate, dong!" Pinta Shender antusias.
"Boleh, ayok!"
....