Chereads / Exulansis Girl / Chapter 26 - SAMPAI AKU SIAP

Chapter 26 - SAMPAI AKU SIAP

"Sekarang kita pulang." Didalam gang yang sepi tidak jauh dari sekolah Rean memakaikan helm kepada Zela.

"Sampai kapan hubungan ini kita sembunyikan terus?" Zela menatap lekat lekat mata Rean.

"Aku capek Rean, harus selalu bersembunyi untuk bisa pulang bareng kamu. Aku capek setiap kita ketemu di area sekolah harus berpura pura gak punya hubungan sama kamu. Aku... Gak suka kalau Rean dideketin cewe terus.... Sampai kapan kita harus kayak gini?"

"Sampai aku siap."

"Kalau gitu, kenapa harus sekarang nembaknya kalau kamu belum siap?!" Zela mulai meninggikan nadanya.

"Aku gak mau kamu diambil orang lain Zela. Kamu itu punyaku! Hanya punyaku."

"Sama aja kalau kamu belum nge-publish hubungan kita! Aku males setiap ditanyain nomer kamu, aku males setiap ditanyain kamu siapanya aku yang harus aku jawab cuman sebatas kakak sahabat aku doang. Kamu gak ngerti Re!"

Zela menunduk dalam. Menggigit gigir bawah agar air matanya tidak jatuh, dia tidak ingin dianggap sebagai cewek yang lemah.

"Besok. Besok aku akan nembak kamu lagi didepan orang orang. Kalau bisa, didepan satu sekolah. Aku janji."

Rean turun dari motornya lalu memeluk Zela seraya menenangkan gadis itu. "Don't cry. I'm so sorry babe."

Zela mengangguk.

"Ekhem ekhem, bukan berarti gang ini sepi kalian bisa pelukan seenaknya. Hargain dong kita sebagai jomblo disini." Tegur salah satu murid yang melewati gang itu dengan teman temannya.

Zela dan Rean melepaskan pelukannya. Lalu kabur karena malu dari sana secepatnya.

"Sayang mau pulang?"

"Nggak, ke rumah sakit aja."

"Kita makan dulu ya? Laper nih."

"Kerumah sakit."

"Siap boss."

.

.

.

"Zela~~ laper... Aku keluar beli makanan sebentar yah?"

"Sekalian beliin aku yang dingin dingin ya, aku gerah."

"Baik putri, pangeran akan laksanakan." Rean menunduk ala ala pangeran kerajaan.

Zela tertawa geli.

Selepas kepergian Rean, Kepala Zela pusing. Dia memutuskan untuk tidur sebentar.

.

.

.

"Waw, Mobil lo gede banget anjir, udah kayak bus sekolah. Kita pake yang ini." Putri melihat lihat isi salah satu mobil milik Arka.

Yap, mereka sedang memilih milih mobil yang akan mereka gunakan untuk pergi menjenguk Byna barengan. Putri memilih mobil yang besar, cukup untuk mereka berenam.

"Iya Put, tempat duduknya bisa dijadiin tempat tidur lagi, gilaa beneerr." Rizki ikut berkomentar.

"Maaf ya Ar, sobat miskin ini malu maluin hehe." Rara cengingisan malu.

"Lo beli dimana Ar? Siapa tau calon suami gue mau beliin." Aya bertanya. Semuanya terdiam.

"What?! Calon suami?!"

"Eh i-iya, sampai lupa ngasih tau Lo semua, Sebenarnya gue udah di jodohin sama anak temennya Daddy aku. Dia kaya, ganteng bahkan umurnya yang baru 18 tahun udah jadi CEO perusahaannya sendiri." Tukas Aya dengan nada rendah walau terlihat seperti sedang menyombongkan calon suaminya.

"Kapan lo nikah?"

"Abis lulus tahun depan."

"Jadi, lo gak kuliah nih? Yah gak ada kang ceramah lagi deh." Dinda memasang wajah cemberut.

"Gue nikah woi, bukan pindah negara. Lagipula dia juga ngizinin gue buat kuliah kok. Woi Ar, pertanyaan gue belom dijawab."

"Ah, anu...ku custom."

"CU-CUSTOM?! BAPAK LO KERJANYA APASI?!" Tanya mereka serempak.

"Molor? Eh bukan simulasi meninggal."

"LAH TERUS UANG LO SEGUNUNG EVEREST ITU DARIMANA?"

"Kakekna kakekku." Jawaban Arka sangat santai.

Rizki dan teman temannya menganga tidak percaya.

"Bercanda, BWAHAHAHAHHA PERCAYA KO SEMUA?! Aduh aduh perutku...." Arka tertawa puas.

Teman temannya mengeluar api lewat matanya.

"Se-sebenarna ini semua bukan punyaku."

Api di mata mereka padam.

"ETAPI BOONG, AWOAKAAKKAKAKAK DOUBLE KILL, UHUY."

Entah darimana tangan mereka sudah dilengkapi dengan senjata tajam.

"Ets ets selow bung, seloww."

Khanza melihat jam ditangannya. "Woi kita hampir kesorean!! Cepet ayoo."

"LETS GOO."

.

.

.

Mereka sudah sampai diruangan Byna. "Zela bobo gengs. Ku kasi kaget mi nah." Arka meminta izin untuk memulai aksinya.

Teman temannya mengangguk.

1

2

3

"WHOAAAAnjir Panas panas panas."

"Dia yang ngagetin, dia yang kaget. Gimana ceritanya dah."

"Anak alay emang gitu."

"BADAN ZELA PANAS WEH."

Semua temannya panik, mereka menghampiri Zela seraya membangunkannya. "La? Zela! Woi dia pingsan!! Cepet cepet gendong kita bawa ke rumah sakit."

"Loh ini kan rumah sakit."

"...."

"Keruang UGD."

Baru saja Rizki ingin mengangkat Zela, tangannya ditepis sama kak Rean. "Ck. Minggir lo, gue aja yang bawa. Lo semua disini jagain adek gue aja." Rean langsung berlari keluar meninggalkan mereka.

"Mereka... Pacaran?" Rizki menebak.

"Dari dulu kali."

"Kok gue gak tau?"

"Emang hubungan mereka di sembunyikan biar kang gossip kayak lo kekurangan job."

"Terserah deh, btw tadi Lion gak kesekolah kan?"

"Napa? Naksir lo ama dia?"

"Bukannya kalau dia gak dateng, dia harusnya disini kan?"

"Au deh."

.

.

.

*Disini percakapannya pake bahasa Inggris tapi karena nilai b.ingg Cutiebabik anjlok (males translate).

"Halo Oma," Bianca datang mengunjungi rumah Oma.

"Aduh Bianca, Oma mau ke supermarket dulu. Kamu nunggu didalem aja ya, bareng Skala. Oma bakalan usahain cepet pulang kok."

"Jadi ga enak Oma, biar saya pulang aja heheh."

"Udah repot repot kesini, mending disini ajaa."

"Baik Oma, hati hati dijalan."

Oma mengangguk, menaiki mobil dan melaju menuju supermarket.

.

.

.

"Permisi," Bianca membuka pintu rumah, karena tidak ada tanggapan. Dia berpikir kalau Skala ada di kamarnya.

Saat menaiki tangga, tangannya ditahan oleh seseorang. "Apa yang kamu lakukkan?

"Eum, aku mau melihat kamarnya Oma hehe."

"Kamar Oma ada dibawah. Dia atas hanya ada kamarku."

Bianca tertangkap basah. "Maaf aku tidak tau."

"Kamu siapa?" tanya Bianca

"Aku Hema, cucu angkatnya Oma."

"Oooh, aku Bianca. Skalanya mana?"

"Kayaknya dikamar, belum keluar keluar daritadi. Kamarnya ada di bawah samping ruang keluarga. Aku pamit ya, mau ke kampus."

Hema menunjukkan kamar Skala. Bianca mengerti dan langsung menuju ke kamar Skala. "Halo, ada orang?"

Bianca membuka kamar Skala.

Bianca kaget melihat kasur dikoyak koyakkan oleh pemiliknya sendiri. "Oh my God! Apa yang kamu lakukan?!!"

Bianca menghampiri Skala. Menahan tangan cowok itu dengan kuat. "Stop Skala!"

Skala berhenti.

"Lihat, tangan mu berdarah. Ayo, aku akan mencarikan kotak P3k kamu tungguin aku di diruang keluarga oke?"

Skala mengangguk.

Ada yang aneh dengan Skala, dia melakukan apapun yang Bianca suruh.

.

.

.

Bianca melilitkan perban di telapak tangan Skala. "Kamu kenapa? Cerita padaku. Mungkin aku bisa membantumu."

Skala menceritakan semuanya dengan singkat.

"Aku punya kenalan yang ahli psikologi, kamu mau kesana? Mungkin, dia bisa membantumu."

Skala membentak. "AKU GAK GILA!"

"Bukan begitu maksudku, aku hanya-"

"Pergi dari sini. Kamu tahu apa tentang aku huh? Dasar cewek caper."

Bianca pasrah. "Oke, aku akan pergi. Asal kamu tahu, aku juga dulu pernah seperti kamu! Aku tau rasanya jadi seperti kamu! Dan satu lagi, aku bukan cewek seperti itu." Bianca berbalik lalu meninggalkan Skala.

Saat membuka pintu, Oma pulang membawa belanjaan banyak. "Bianca sudah pulang? Makan malem bareng yuk."

"Gak usah Oma,"

"Ayolah, sesekali aja."

Bianca tidak bisa menolak. "Oke Oma."

Sepulangnya Oma sampai Bianca pamit, Bianca dan Skala tidak ngobrol sama sekali.

Oma sadar hal itu, lalu menanyakannya pada Skala.

"Kamu kenapa sama Bian? Dia gadis yang baik loh."

Skala menjelaskan semuanya.

"Memang seharusnya kamu gak kasar sama dia."

"Refleks Oma, entah kenapa... Aku selalu jadi ingat Byna kalau liat dia...."

"Besok kamu minta maaf."

"Baik Oma."