Zela sibuk bermain game. Di sampingnya, Khanza sedang mengerjakan tugas kelompok mereka. Sesekali Zela melirik Khanza, mengangguk saat Khanza meminta pendapat. semua yang Khanza kerjakan tidak pernah mendapat kritikan. Khanza selalu benar, yang paling utama, Zela tidak mau meralat karena meralat itu merepotkan. Khanza tipe orang yang tidak puas jika tidak mengerjakan tugas sendiri. cocok dengan Zela yang tidak pernah mau melakukan tugas sendiri. Singkat cerita, kelompok timpang sebelah ini memang klop.
Keluar dari game. Zela bertopang dagu. Di kelas, mereka mengambil kursi paling pojok agar Khanza bisa fokus.
"Za, apa semua cowok yang naksir lo bakal insecure?" Zela bertanya.
Khanza berhenti sebentar dari pekerjaannya.
"Enggak semua, sih. Tergantung kategorinya." khanza menjawab sambil tersenyum kecil.
Cewek yang paling ditakuti di kelas mereka menjawab.
"Gue agak najis sama cowok kayak fuckboy apalagi jamet gitu. Gak cuman cowok, tapi cewek juga. Gue pasi bakalan refleks tatap mereka seperti rendahan."
Zela membulatkan bibir. Dia tidak tahu cowok yang ditatap sinis itu mental break dance atau tidak.
"Lo sendiri, Kak Rean gimana?"
"Rean?" Zela membeo.
Dia berkedip malas. "Dia... Segalanya. Perfect."
"Segalanya?" Khanza membulatkan mata takjub.
"Ya. Dia yang nganterin gue ke mana pun, beliin makan, bantu gue jagain Byna, kadang jadi bantal dadakan gue juga di Rumah Sakit. Dia juga sering bantu ngerjain tugas gue. Dia bener-bener segalanya."
Tidak berguna. Zela memang tidak berguna. Entah atas alasan apa Rean betah dibabukan olehnya? Untung Khanza cewek baik. Dia tidak berpikiran buruk soal Zela. Tapi seperti pandangan Zela dan banyak orang, di mata Khanza, Rean juga cowok yang cukup baik.
"Kak Rean emang agak beda sama cowok lain." Khanza mengangguk.
"Kemarin pas kalian ada di luar, gue ngerjain tugas deket pintu soalnya lagi charge laptop, kan. Gak sengaja gue liat kalian, terus lo ninggalin Kak Rean. Kalian bertengkar?"
Kemarin, ya? Zela mengingat-ingat.
"Gak ingat." Ucapnya singkat.
.
.
.
"Oma, Hema izin ke Indonesia ya. Ada tugas disana, temen Hema bilang dia butuh Hema buat jadi dokter pribadi temannya disana," Jelas Hema.
"Hm? boleh, itu pekerjaan kamu kan. Oma gak berhak buat ngelarang."
Skala turun dari kamarnya. "Lo mau ke Indonesia?"
Hema mengangguk, baru kali ini Skala memulai pembicaraan duluan. Yang selama ini hanya diam. Tidak melakukan apa apa selain tidur dan mengurung diri di kamarnya.
"Gue ikut." Ucap Skala.
Oma dan Hema saling bertatapan, mereka berdua bertanya tanya dalam hati, ada apa dengan Skala tiba tiba?.
"Yakin, Nak? Apa kamu tidak apa apa kembali kesana?" Tanya Oma khawatir.
"Skala mau ikut."
"Kal, jangan memaksa gitu deh, kita khawatir dengan kesehatan jiwa lo. Mending lo disini, biar Bianca gantiin gue jagain lo."
"Lo tau apa sama kesehatan jiwa gue? gue gak tenang disini." Ucap Skala kekeh.
"Tapi-"
"Ya sudah, Oma izinkan. asalkan dengan syarat." Jawab Oma.
"Syaratnya apa?" Tanya Skala
"Bianca ikut denganmu."
"Baik. Skala setuju."
"Ada apa ini?" Tanya Bianca yang baru saja datang.
"Kebetulan sekali, Oma mau bicara sama Bianca. Boleh ikut Oma sebentar?"
Skala berlari naik ke kamarnya disusul oleh Hema.
"Iya Oma," Mereka berjalan menuju taman belakang.
"Apa tujuan lo Kal?" Tanya Hema.
"Lo pikir gue ga tau? Tiba-tiba ingin ikut dengan gue ke Indonesia, lo pikir itu bukan hal aneh? Jangan cari gara gara disana bisa?" Pinta Hema.
"Tau apa lo tentang gue? Cepet keluar dari kamar gue atau pukulan gue membekas di muka sok ganteng lo itu."
"Lo gak berubah ya, masih ngandelin otot daripada otak. Lo harus bersikap dewasa Kal, gak selamanya gue atau Oma bakal ngerawat lo dengan tingkah kekanak-kanakan lo ini." Ucap Hema mengingatkan.
.
.
.
"Gimana Ar, lo udah dapet dokternya?" tanya Lion ditengah siswa yang sedang istirahat di kantin.
"Hum? Iya dapat ma kebetulan kenalanku dari luar negeri. Walaupun masih kuliah, banyak dokter profesional yang sudah nakalahkan!" Seru Arka.
Lion diam sekejap, dia memegang pundak Arka "Gue percayakan itu sama lo. Thank you ya."
Arka tersenyum, baru kali ini dia dipercaya oleh seseorang. Arka tidak ingin membuat orang kecewa. Dia harus berusaha lebih baik.
"Lion, keren ko menurut ku," Arka membuka pembicaraan.
"Oh jelas," Lion tersenyum sombong.
"Bukan keren begitu! kepedean ih, maksudku toh kau keren karena..." Ucap Arka terpotong.
"Karena?" Lion membeo.
"Karena walaupun cintanu bertepuk sebelah tangan, tetap ko rawat Byna dikondisi nya seperti sekarang. You're a real man bro,"
Lion meletakkan sendok nya, dia melipat tangan dan bersandar di Kursi kantin.
Lion menghembuskan nafas, "Ini karena gue punya janji sama temen masa kecil gue dulu. Gue juga capek kali, lo bayangin aja se kecewa apa gue dulu pas gue ditolak dengan alasan gue cuma dianggap teman sama Byna, bener bener nyesek."
"Eh pernah ko tembak Byna?!!" Teriak Arka
Semua tatapan siswa di kantin menatap Lion, sepertinya ini bakalan menjadi topik panas mingguan SMA mereka.
Lion terbelalak dia refleks menutup mulut Arka. "Goblok. Mati sana."
Lion meninggalkan Arka sendiri di kantin. Dia bergegas pergi sebelum mendengar hal hal aneh dari siswa siswa yang menggosipi nya.
"Ck, Lion bodoh. Ngapain juga gue harus cerita ke mulut gak ada rem nya itu." Oceh Lion.
Beberapa hari kemudian, Lion datang seperti biasanya, tetapi kali ini mata setiap orang tertuju padanya. Risih, itu yang dirasakan Lion.
Jam masuk berbunyi, semua siswa berlarian memasuki kelas masing masing. Ada juga beberapa yang masih santai tidak peduli, Lulu dan genk nya misalnya.
Arka menghampiri Lion, "Lion!" panggil nya.
Lion tidak menghiraukannya. Dia tetap berjalan menuju kedalam kelas.
"Penting ini weh," Ucap Arka.
"Cepat, gue kasih waktu 3 detik."
"Eh kenapa ko begitu sekali ih,"
"Waktu habis."
"Cuman mauka bilang sampai mi di Indonesia Dokter yang kumaksud kemarin, dan bekerja mi hari ini, terus katanya Byna- Woi! Ko dengar ja?"
Lion tetap berjalan tidak peduli. Dia masih kesal dengan kejadian beberapa hari yang lalu.
Sampai di kelas Zela menghampiri bangkunya.
"Lion serius lo pernah nembak Byna? Kok Byna gak ngasi tau gue sih? Huh pantesan lo se antusias itu ngerawat Byna." Ledek Zela.
"Gak abis abis tu gosip? Benar benar gila." Ucap Lion dengan wajah datarnya.
"Coba lo ngasi tau gue, gue bisa bantu lo dulu. Daripada Skala, menghilang gak ada kabar. Cemen." Cibir Zela.
Seorang remaja datang menghampirinya, dia menjadi pusat perhatian. "Gue gak cemen." ucap Skala.
Lion dan Zela berbalik. "Skala?!" Teriak mereka berdua.