Chereads / Exulansis Girl / Chapter 33 - FEELING

Chapter 33 - FEELING

Jam terakhir sudah selesai, itu artinya waktu sudah menunjukkan jam pulang.

Skala dan Lulu jalan bersamaan hingga didepan pagar. Bianca sudah menanti Skala di sana. Bianca yang sedari tadi mencari batang hidung Remaja yang ia cari pun sudah ketemu, ia melambaikan tangannya. Skala membalas lambaian nya.

"Cewe Bule itu melambai ke kita gak sih?" Tanya Lulu ke Skala.

"Iya, dia kenalan gue selama di luar negeri. Gue duluan ya, Lu. Thank you udah mau jujur sama gue." Skala tersenyum. Dia melangkahkan kaki lebih cepat ke arah Bianca ketika ucapannya dibalas dengan anggukan dan senyuman Lulu.

"Udah lama nunggu disini?" Tanya Skala.

"Nggak sih, tadi gue dianter kesini sama Hema. Btw tadi siapa? Byna ya? dia sudah siuman?"

"Ah, bukan. Yang tadi itu Lulu." Jawab Skala.

Bianca ber-oh ria.

"Bicara soal Byna... kita kerumah sakit yuk?" Ajak Skala.

"Buat apa?" Tanya Bianca.

Skala menatap langit. "Ketemu Byna, gue gak tau ini feeling gue aja atau Byna bener bener tau kalau gue udah balik kesini." Remaja itu tersenyum semringah.

"feeling doang kan? Jangan deh, gue khawatir, ajak gue jalan aja gimana? Ini pertama kali gue ke Indonesia kalau lo lupa." Bianca mengalihkan pembicaraan.

"Um- okay, maaf gue lupa. Harusnya gue jadi tuan rumah yang baik, karena cuaca mendukung ayo aku ajak kamu ke suatu tempat."

"Kemana???" tanya Bianca.

"Ikut aja,"

.

.

.

Lion lari secepat mungkin. Tak peduli dengan apa dan siapa yang ia tabrak, Lion hanya ingin segera bertemu dengan Byna yang sudah sadar.

5 menit yang lalu.

*dering telepon Lion berbunyi

"Halo, Zela ada apa?"

"Lion, hiks hiks-" terdengar zela menangis tersedu sedu.

"Zela, lo kenapa?"

Ketika Zela sudah bisa mengontrol emosinya, dia menjawab Lion.

"Byna, Fal.. Byna udah sadar hiks." Tangisan bahagianya kembali keluar, teleponnya diambil alih oleh Rean,

"SERIUS??????" Tangan Lion tiba tiba tremor.

"Fal, Zela serius, sekarang Byna lagi tidur. Lebih baik lo secepatnya datang kesini."

"Lima menit, gue sampai lima menit lagi." Remaja itu mematikan teleponnya.

Dia langsung menghentikan rapat OSIS yang sedang berlangsung, dan berlari menuju parkiran.

.

.

.

Sepanjang perjalananalan Lion sangat bahagia, cintanya sudah sadar. Dia sangat bersyukur akan itu.

Sesampainya di Rumah sakit dia kemudian berlari menuju ruang rawat Byna, disana sudah ada Zela dan Rean yang menunggu. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia menghampiri pasangan itu.

"Byna masih tidur?"

Baru Zela ingin menjawab, Hema keluar dari ruang rawat Byna. "Byna sudah bangun, kondisinya cukup baik. Tolong kalau ingin mengajak nya berbicara pelan pelan saja."

"Thank you dok," Ucap Lion memeluk Hema.

"Gak usah formal, panggil hema aja." Lion membalasnya dengan anggukan.

Hema meninggalkan mereka bertiga. Ketiganya langsung memasuki ruang rawat Byna. Disana ada gadis yang masih terlelap di dalam mimpinya. Lion mendekati gadis itu dan memanggil namanya pelan. Gadis itu merespon, ia membuka mulutnya.

"Aku mimpi ada seorang cowok yang baik, dia selama ini jagain aku. Apakah itu kamu?" Suara serak dan pelan itu melihat kearah Lion.

Lion mengangguk, memegang tangan gadis itu dengan senyum, air matanya ia tahan sekuat tenaga agar tidak jatuh.

"Nama kamu siapa? Kamu belum pernah kasi tau nama kamu." Tanya Byna lagi.

"Theo mana?"

Syok, mereka bertiga syok. Rean segera memanggil Hema untuk kembali memeriksa Byna.

Rean, Zela dan Lion keluar dari ruang rawat itu. Mereka sangat cemas.

"Ayah dan Bunda Byna, dimana?"

"Nenek gue kebetulan sakit dikampung. Dia pengen ketemu sana bokap gue, tapi bokap gue gak bisa ngerawat nenek gue sendiri. Alhasil nyokap gue juga ikut."

Hema keluar, "Ayo ikut keruangan saya."

Lion mengikuti Hema dan di tahan oleh Rean, "Biar gue aja yang ikut dokternya, lo disini temenin Byna oke?"

Lion mengangguk.

"Byna mengalami amnesia global sementara, sebagian ingatannya hilang. orang yang mengalami itu biasanya diakibatkan oleh stress emosional berat."

"Jadi dok, perkiraan amnesianya berapa lama?"

"Waktu perkiraannya tidak menentu mungkin bisa bertahun tahun atau cuman beberapa bulan saja. Saya sarankan untuk jangan terlalu memaksakan pasien mengingat sesuatu."

Mereka mengangguk.

"Ah, ya. Byna terus menyebut Theo untuk tidak meninggalkannya, bisa untuk tidak mengungkit hal itu didepannya? Itu akan berakibat buruk. Tetapi Jika dia berada didekat orang yang dekat dan sayang pasien, itu sangat efektif untuk membantu pasien cepat pulih."

Mereka keluar dari ruangan itu, Zela yang sedari tadi menahan tangis kembali mengeluarkan air mata dari matanya yang sembab.

"Hiks- Re... Kenapa Byna harus melewati ini semua... ini gak adil buat dia..."

Rean memegang dagu Zela, mengarahkannya agar saling bertatapan. "Lihat aku, Byna itu kuat. Tidak mungkin Tuhan memberinya cobaan kalau dia gak sanggup. Kamu gak usah sedih ya? kita bakalan tetap bantu sebisa mungkin, tapi jangan sampai kamu lupa merawat diri sendiri juga."

Zela mengangguk.

Walaupun Rean termasuk laki laki yang dingin. Tetapi didekat Zela dia begitu hangat. Dia bisa menjaga Zela, menyanginya lebih dari apapun.

"Ayo kita pergi ke kafetaria rumah sakit ini, aku belikan minuman." Usul Rean.

"Tapi Byna-" Ucapan Zela terpotong.

"Eits- aku baru bilang apa tadi? pikirin diri kamu dulu ya. Di sana ada Lion sayang, biar kita kasi mereka waktu berdua ya?" Zela mengangguk. Menyelaraskan langkahnya, kemudian mencium pipi pacarnya itu dengan sedikit menjinjit.

Rean menahan bibir pacarnya itu dengan tangan agar tidak menyentuh pipinya. "Tunggu kita halal."

Zela menahan malu nya lalu berjalan meninggal kan Rean yang masih diam ditempat. "why is she so cute, bener bener gak baik buat jantung gue huh huh." Ocehnya pelan.

.

.

.

Lion memasuki ruangan itu dengan satu helai bunga mawar putih.

"Ah kamu lagi, kita belum kenalan tadi. Nama kamu siapa?"

"Lion."

"Lion? Singa?"

Laki laki itu mengangguk.

Byna tertawa, "Aduh, kepalaku sakit karena kebanyakan tertawa." Lion jadi panik.

"Sakit di bagian mana? Aku panggil suster dulu."

"Duh gak usah, aku gak papa. Kamu kenapa khawatir banget? Kita kenal sebelumnya?"

"Um- ya ini ada bunga buat lo. Tadi ada yang lewat jualan sekalian gue beli buat lo."

Byna menerimanya. Dia mengucapkan terima kasih dan tersenyum semringah. "Ini bunga yang sama seperti yang aku sering kasih ke Theo, pulang dari sini aku akan membelikannya ini juga." Ucapnya.

Lion mengalihkannya. "Sudah, sebaiknya lo tidur sekarang. Biar bisa ketawa puas besok, gak usah tapi tapi. Cepet tidur."

"Kamu perhatian sekali, terima kasih my guard." Byna tersenyum dengan wajah pucat cantiknya.

Byna menarik tangan Lion, menggenggamnya lalu memejamkan mata kemudian menghembuskan nafas. "Tangan cowok yang dimimpi aku sering memegang tangan aku seperti ini setiap aku tidur. Aku pinjam tangan kamu ya?"

Lion tak berkutik. Dia duduk disamping ranjang Byna dan kemudian ikut terlelap juga.

.

.

.

"Sorry Skala, sebenarnya gue gak berbohong kayak gini, biar kamu ikut dengan gue jalan jalan. Gue peduli sama kesehatan lo." Batin Bianca.

"Kenapa diem? Gak suka di sini ya? Kita ganti tujuan yuk. Aku tau tempat yang lebih bagus dari ini."

Mereka menuju kesebuah tempat yang indah, dengan danau yang bersih juga pohon yang rindang. Terdapat juga rumah pohon diantara pohon rindang itu.

"Ini keren banget, Skala. Wow biarin gue berfoto disini." Bianca bersemangat mengambil hpnya lalu berfoto ria didekat danau.

Skala meninggalkan gadis itu dan kemudian naik ke atas rumah pohon. Disana terdapat kotak kecil yang ia ingat adalah miliknya dan Byna. Dia kemudian membuka kotak itu dan melihat isinya. Disana ada foto mereka berdua, cokelat yang Skala kasih saat Valentine dulu dan ratusan surat kecil darinya untuk Byna ketika jam pelajaran.

Itu semua Byna menyimpannya dengan baik. Skala menjadi sedih, walau ia tersenyum melihat barang barang itu. Rasa bersalahnya kembali menghantuinya, ia kemudian memukul mukul kan kepalanya ke dahan pohon yang sangat besar. Bianca yang sadar akan itu langsung mendatangi nya kemudian memeluknya.

"Skala stop it... Look at me, stop punishing yourself, hati gue sakit...."

Pelukannya yang hangat berhasil menenangkan Skala. Skala tertidur di pelukannya. Bianca yang sadar akan itu mulai melepas kan pelukannya lalu membaringkan tubuh Skala dan menjadikan tangannya menjadi bantal.

Bianca mengambil foto dengan posisi mereka sekarang. Ia tersenyum. Kemudian ikut tertidur dalam keheningan.