"Uhm, Elish."
"Hm?"
"Kau belum mandi ya? Rambutmu bau debu."
Elish mendorong tubuh Jovan, melepaskan pelukan mereka. Wajahnya memerah. Ia malu.
"Dasar bodoh! Kau tidak perlu terlalu jujur begitu!" Ketus Elish kemudian berbalik dan berlari menuju kamarnya. Mengambil pakaian yang hendak ia pakai sehabis mandi.
Gadis itu meraih sepasang piyama berwarna merah.
Eh? Aku kan ada janji dengan Albert.
Segera disimpannya piyama itu dan meraih kaus merah muda serta celana jeans hitam.
"Mau apa kau dengan pakaian itu?" Suara Jovan terdengar.
Elish menoleh, "Aku ada janji dengan Albert." ucapnya.
"Albert? Siapa itu? Aku belum pernah dengar."
"Kalau kau ingat, dia adalah salah satu pelayan di StylishCaffee."
Jovan mengernyitkan dahi, ia mencoba mengingat-ingat wajah pegawai kafe itu. Namun tak kunjung berhasil mengingat pelayan yang bernama 'Albert'.
"Terlalu banyak pelayan di sana. Aku tidak ingat." Ujar Jovan yang sudah menyerah.
"Banyak?" Elish tertawa, "Di sana hanya ada tujuh orang pegawai. Enam pelayan dan seorang kasir. Bagaimana bisa kau bilang itu banyak?"
"Ya ya, terserah. Aku bisa tahu yang mana pria bernama 'Albert' itu saat kita sampai di sana." Ucapnya datar dengan jari yang seakan membentuk tanda petik di udara saat mengucapkan nama Albert.
Elish menaikkan alis sebelah, "Kita? Memangnya kau ikut?" tanya Elish bingung.
"Eh? Apa tidak boleh? Memangnya apa yang akan kalian lakukan? Kalian berkencan?! Lalu bagaimana dengan pacarmu tadi?" Jovan mulai panik. Tadi Lucas. Sekarang Albert. Cobaan apalagi yang harus ia hadapi?
"Kencan? Pfftt.." Elish menahan tawa, "Apa-apaan kau ini? Dia hanya ingin makan malam bersama. Itu saja. Hahaha.." ujarnya.
"Dan juga, tentu saja kau boleh ikut. Tapi.. apa kau mau? Aku takut kau merasa bosan." Sambung Elish.
"Tentu saja aku mau! Aku tak akan mengeluh bosan. Percayalah."
"Baiklah. Aku mandi dulu."
"U-hm."
Elish bangkit dan pergi menuju kamar mandi. Jovan mengekor di belakangnya, namun pria itu berhenti di depan pintu kamar mandi. Ia kemudian bersender di dinding.
Suurrr..
Suara air mengalir terdengar.
"Elish."
"Hm?"
"Jadi kau tidak berkencan dengannya?" Tanya Jovan.
"Siapa? Albert? Tidak." Jawab Elish.
Jovan tersenyum.
"Lalu.. bagaimana dengan pria tadi? Apa kau ber..kencan dengannya?" Tanya Jovan lagi.
"Lucas maksudmu? Hahaha... Kau bercanda? Dia itu sahabatku. Ayolah. Kenapa kau jadi seperti teman-temanku? Aku sedang tidak berkencan dengan pria mana pun. Okey? Berhenti bertanya tentang hal itu." Balas Elish.
"Baiklah. Aku tak akan bertanya lagi. Kutunggu kau di depan." Seru Jovan kemudian berjalan dengan girang menuju ruang keluarga dan berakhir duduk di salah satu sofa empuk yang berada di ruangan itu.
Jovan merasa sangat bahagia saat ini, sekaligus lega. Wajahnya kembali cerah begitu mendengar jawaban Elish. Senyuman terus melekat di wajahnya. Hatinya seperti berbunga-bunga. Bahkan jantungnya berdegup tak karuan karena terlalu... bahagia? Entahlah, bahagia atau mungkin ia sudah sadar kalau ia sedang jatuh.. cinta?
***
Klek!
Suara pintu kamar mandi terdengar. Jovan segera bangkit dan menembus dinding kamar tidur Elish dan masuk ke dalam ruangan itu. Bermaksud menunggu Elish di sana. Ia duduk manis di atas kasur tidur Elish sambil memandangi pintu.
Ceklek!
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Elish bingung sambil menepuk lembut wajahnya dengan handuk.
"Menunggumu." Jawabnya singkat dengan senyuman merekah.
"Okey.." Balas Elish. Ia segera menggantungkan handuknya dan duduk di atas kursi riasnya.
Elish menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin besar yang kini ada di hadapannya. Tangannya bergerak mengambil sebuah botol putih. Ia segera membuka tutup botol itu dan menekannya pelan. Lalu keluar sedikit krim berwarna putih. Kemudian krim itu ia oleskan secara merata di wajahnya.
Saat sedang asik mengoles, ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ia segera berbalik dan mendapati Jovan sedang memandanginya sambil terus tersenyum.
Dia kenapa?
"Jovan. Kenapa kau terus memandangiku?" Merasa tak nyaman, ia akhirnya bertanya.
"Dan kenapa kau terus tersenyum begitu?" Sambung gadis itu.
"Aku hanya ingin tersenyum saja, hehe." Jawab Jovan asal.
Terserah.
Elish tak menjawab. Ia memilih untuk berbalik dan melanjutkan aktivitasnya. Kini ia melapisi bibirnya dengan pelembab bibir. Lalu lanjut merapikan rambut yang agak berantakan.
"Aku sudah selesai." Ucapnya setelah bangkit dari duduknya.
Ia berbalik. Matanya membulat saat tak menemukan sosok Jovan di belakangnya.
***
"Sial!" Rutuk Jovan, "Aku tak bisa berhenti tersenyum. Aku ini kenapa sih?!" pria itu berjalan mondar-mandir di ruang keluarga.
Plak!
Jovan menampar pipi kanannya sendiri guna menyadarkan dirinya. Berhasil! Senyumannya memudar. Namun hanya sesaat. Ia kembali tersenyum saat wajah Elish terngiang di pikirannya.
"Jo- dasar bodoh! Kenapa kau suka sekali menghilang?!" Suara Elish terdengar.
Jovan tersadar dan segera menoleh pada Elish. Namun entah kenapa senyumannya memudar.
"Kau bilang bukan kencan. Tapi kenapa kau berdandan sampai segitunya??" Tanya Jovan. Nadanya terdengar jengkel.
"Apa kau bercanda? Aku hanya memakai pelembab wajah dan bibir." Pungkas Elish.
"Lalu kenapa wajahmu sangat cantik?!"
"Apa?"
Apa yang baru saja kukatakan?!!
"Tidak. Aku salah. Maksudku kenapa wajahmu sangat uhmm.. Ah! Terserah! Ayo pergi." Jovan berjalan menuju pintu utama. Menunggu Elish membuka pintu bagi mereka. Bukan karena malas. Ia hanya takut jika tetangga Elish melihat pintu itu terbuka, mereka akan berpikir Elish hidup bersama hantu.
"Kau tahu? Kau benar-benar mirip ayahku yang cerewet saat melihat ibuku berdandan." Ujar Elish.
"Dan lagi, kenapa jadi kau yang semangat untuk pergi? Apa kau lupa kalau aku yang punya janji?" Sambung gadis itu.
Sial! Benar juga. - Rutuk Jovan dalam hati.
Elish duduk di atas salah satu sofa. Ia menatap Jovan yang masih berdiri dan mematung di depan pintu.
"Duduk saja dulu. Dia belum beritahu pukul berapa aku ke sana." Ujar Elish sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Jovan berbalik, ia menatap Elish yang sedang sibuk dengan ponselnya. Ia segera berjalan menuju sofa dan duduk di atasnya. Dan tentunya bukan sofa yang sama dengan Elish.
"Ternyata dia sudah membalasnya. Pukul sembilan?" Elish melirik sudut ponselnya, "Masih jam delapan."
Kringg..!
Ponsel Elish berdering. Sebuah pamggilan masuk. Nama Albert tertera di layar benda pipih itu.
Elish mengarahkan ponsel itu ke telinganya, "Halo?"
"..."
"Ah, baiklah."
Tut.
"Ayo pergi." Ajak Elish. Ia bangkit dan menarik tangan Jovan.
Deg!
Sial! Ayolah jantung.. tak bisakah kau lebih tenang sedikit?!
Jovan terdiam. Ia masih duduk dan membeku.
"Kau kenapa? Ayo."
"Ah. Iya."
***
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Elish buka suara. Memecah keheningan yang terjadi di perjalan menuju StylishCaffee.
"Hm? Tidak. Aku hanya.. lupakan. Aku baik-baik saja." Jawab Jovan. Ia menatap kosong ke arah jalan yang lumayan sepi itu.
"Apa mengenai caramu kembali? Apa kau mengkhawatirkannya?" Tanya Elish ragu.
"Hm? Tidak juga." Jovan tampak berpikir, "Aku bahkan tidak memikirkannya. Hahaha.." ia tertawa renyah.
"Lalu apa? Apa yang membuatmu bersikap aneh sejak tadi?" Tanya Elish lagi. Tampaknya gadis itu masih belum puas dengan jawaban Jovan.
"Kau." Gumam Jovan pelan, namun terdengar jelas di telinga Elish.
"Aku?"
Dasar bodoh! Aku keceplosan lagi!!
"Y-ya! Kau. Aku terus memikirkanmu. Aku khawatir padamu. Apa yang akan terjadi jika aku sudah kembali nanti? Pasti kau akan sangat kesepian. Benar kan? Kau pasti akan sangat kesepian jika aku tidak lagi menemanimu. Haha. Sepertinya kau benar. Aku memang khawatir. Tapi bukan khawatir tentangku. Yah.. begitulah." Jelas Jovan penuh kebohongan. Namun tak disangka ucapannya berhasil membuat Elish menghentikan langkahnya.
Jovan berbalik dan menatap Elish yang sedang menatap kosong ke arahnya, "Elish? Kau baik-baik saja?" tanya Jovan. Entah mengapa ia merasa bersalah. Apa dia membuat Elish tersinggung?
"Hah? Aku baik-baik saja. Aku hanya mencoba mengingat. Apakah aku sudah mengunci pintu atau belum. Dan aku sudah menguncinya." Balas Elish yang juga berbohong. Ia tidak memikirkan itu sama sekali. Yang sebenarnya ia pikirkan adalah kata-kata Jovan barusan. Jovan benar. Ia pasti kesepian. Sangat.. kesepian. Ingin rasanya ia menangis saat ini. Tapi kenapa? Kenapa ia menangis? Elish benar-benar bingung dengan perasaannya saat ini.
Dasar bodoh. Aku ini kenapa? - Rutuk Elish dalam hati.
"Ayo jalan." Ucap gadis itu dan dibalas anggukan oleh Jovan.
Dua kata itu menjadi penutup pembicaraan mereka. Keduanya lanjut berjalan dalam diam. Tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Tanpa ada niat untuk membuka suara lagi hingga akhirnya mereka sampai di StylishCaffee.
***