"Bagaimana menjelaskannya ya? Uhm..." Jovan tampak berpikir.
"Lebih baik kau menjelaskannya besok. Aku mau tidur." Ucap Elish sambil membenahi diri dan berbalik, bermaksud untuk pergi ke kamar.
Langkah Elish tertahan saat tangan Jovan menggenggam lengannya.
"Tidak bisa. Aku harus menjelaskannya. Aku ingin mendengar jawabanmu malam ini juga." Tegas Jovan. Wajahnya begitu meyakinkan, membuat jantung Elish jadi berdegup tak karuan.
Wajah Elish kian memerah, "Aku mengantuk. Besok saja." ucapnya lalu menepis tangan Jovan dan kembali berjalan dengan cepat menuju kamar.
Ceklek!
Elish menutup pintu kamar. Ia menatap kosong ke depan.
Bagaimana bisa dia mengatakannya semudah itu?
"Elish."
Elish terpekik kaget begitu Jovan sudah ada di sampingnya tiba-tiba.
"A-apa?"
"Aku suka padamu."
"Besok atau tidak sama sekali." Ketus Elish.
"Haahhh.. baiklah."
***
Pagi yang cerah sudah tiba. Mata Elish terbuka. Ekor mata gadis itu tertuju pada jam digital yang menempel di dinding kamarnya.
06.59 a.m.
Kenapa pagi datang secepat ini? - Gerutu Elish dalam hati.
Elish menoleh ke sisi kanan. Ia sangat bersyukur saat tahu Jovan masih terlelap. Elish bergerak perlahan dan bangkit dari kasur secara diam-diam.
Lalu berjalan mengendap-endap menuju kamar mandi.
"Tidak bisa." Gumamnya, ia menatap bayangannya di cermin, "Aku tidak siap. Belakangan ini aku memang sering berdebar dibuatnya, tapi.." ia berpikir, "tidak bisa! Aku harus tegas. Bagaimana bisa dia dengan santainya memutuskan kalau dia menyukaiku? Kami baru saja bertemu. Ini masih.." ia menggerakkan jemarinya, tampak sedang menghitung, "tiga belas! Jika dihitung hingga hari ini, masih tiga belas hari. Bahkan dua pekan juga belum." ia masih saja berbicara pada bayangannya.
Puk. Puk.
Ia menepuk kedua pipinya dua kali kemudian menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Hari apa ini?" Tanyanya.
"Selasa." Ia menjawab sendiri.
Surr..
Elish membasahi wajah dan menyikat gigi. Setelah merasa cukup segar ia beranjak dari kamar mandi menuju kamar tidur. Dan tentunya secara mengendap-endap. Ia masih belum siap berhadapan dengan Jovan.
***
Elish berjalan ke sana ke mari di sisi kasur tidurnya. Ia tampak gelisah. Sesekali ia menatap jengkel ke arah Jovan yang masih terlelap.
"Sudah jam sepuluh tapi dia masih belum bangun?" Elish menggerutu.
"Ck!" Ia mendecak.
"Kau menungguku bangun?" Suara Jovan tiba-tiba terdengar, "Apa kau sudah tidak sabar mendengar tentang perasaanku?" sambung pria itu.
Elish mematung.
"Elish."
"Kenapa kau baru bangun sekarang? Tidak biasanya kau tidur selama ini." Elish memberanikan diri bicara dan menatap Jovan.
Jovan terdiam sesaat, wajahnya tampak sendu, "Entahlah. Aku juga bingung. Aku sudah berusaha untuk bangun tapi sesuatu seperti menahan mataku untuk terbuka." lirihnya.
"... Aku juga bermimpi aneh."
Jovan bangkit dari tidur lalu merubah posisinya menjadi duduk menghadap Elish. Ia menatap Elish, "Sepertinya waktuku tak lama lagi." ujarnya. Hal itu berhasil membuat Elish terpaku.
"Hei. Apa maksudmu? Tak lama lagi apanya??" Elish bingung.
"Tentu saja umurku. Sepertinya aku akan segera ma-"
"Jangan bicara sembarangan! Kita bahkan belum tahu keberadaan tubuhmu tapi kau malah mengatakan waktumu, umurmu atau apalah itu tak lama lagi? Kau ingin kupukul?!" Ujar Elish.
Jovan terdiam.
"Lagipula memangnya apa yang kau impikan? Hingga kau berpikir waktumu tak lama lagi?" Tanya Elish. Wajahnya tampak sangat khawatir.
"Aku tidak cukup berani untuk menga-"
"Katakan." Potong Elish dengan nada yang ditekan.
Jovan menghela napas lelah, "Baiklah kalau kau memaksa. Tapi sebelumnya, duduklah." ucapnya sambil menepuk bagian kasur tepat di sisi kirinya.
"Aku tidak ingin melihatmu terjatuh lemas karena mendengar ini. Jadi duduklah." Sambung Jovan saat Elish tak kunjung duduk di sisinya.
Elish mendengus kecil dan akhirnya duduk di sisi Jovan. Dia menatap wajah Jovan lekat menunggu hingga pria itu buka suara.
"Aku memimpikan..mu."
Elish mengernyitkan dahi. Tak mengerti maksud Jovan.
"Tidak. Maksudku kita. Kita duduk berdua di atas kasur ini. Tepat seperti ini." Jovan menarik napas, ia menatap mata Elish yang tampak khawatir, "Kemudian.. aku menyatakan perasaanku padamu. Dan kau menolakku. Kau tahu apa yang terjadi? Dadaku terasa sesak dan nyeri. Bahkan tubuhku mendadak mati rasa lalu perlahan menghilang. Aku tahu ini sangat tiba-tiba. Tapi aku tidak ingin menghilang begitu saja darimu. Karena itu Elish, terimalah aku." ujarnya. Ia diam menunggu respon Elish.
Wajah Elish berubah datar, "Kau membual, kan?" tanyanya dengan nada yang tak kalah datar.
"Apa?"
"Aku tidak sebodoh itu. Aku tahu kau hanya membual." Ucap Elish.
Elish bangkit.
"Kau mau kemana?" Tanya Jovan panik, ia ikut bangkit.
"Kampus." Jawab Elish datar sembari mengambil tas dari atas meja dan berjalan dengan cepat untuk keluar dari kamarnya.
"Elish! Tunggu!"
BRAK!!
Pintu utama rumah dibanting keras oleh Elish dari luar.
Glek!
Jovan menelan salivanya dengan susah payah.
"Dia benar-benar marah."
***
Elish berjalan dengan wajah yang sangat muram. Membuat takut setiap orang yang melewatinya.
Dia benar-benar kesal pada Jovan. Pria itu terlalu banyak membual!
Kenapa juga aku harus khawatir pada bocah mesum itu?
"Hei, Elish." Sapa Lucas.
"Hai, Lucas." Balas Elish datar.
Lucas mengernyitkan dahi, "Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya bingung melihat 'kedataran' Elish.
"Tak apa." Ucap Elish sembari duduk di sebuah kursi panjang.
Lucas ikut duduk, "Semua orang yang melihatmu juga tahu kalau kau sedang memikirkan sesuatu. Jadi katakan saja pada sahabat kecilmu ini." ujar Lucas.
Elish mengalihkan pandangannya pada Lucas, "Lucas."
"Hm?"
"Apa kau pernah menyukai seseorang?" Tanya Elish.
Lucas berdehem, "Y-ya. Pernah." jawabnya ragu.
Sebenarnya sedang menyukai seseorang. - Ungkap Lucas dalam hati.
"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk sadar bahwa kau menyukainya?" Tanya Elish lagi.
"Uhm.. tidak butuh waktu lama. Satu menit. Tidak. Satu detik." Balas Lucas.
Hah?!
"Satu.. detik?"
"Ya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hehe."
"Haaahh.." Elish menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan menatap ke depan, "Percuma kalau aku mengatakannya padamu. Kalian sama saja. Tidak. Kau lebih parah." gumamnya.
"Kami? Aku dan.. siapa? Siapa yang kau bicarakan?" Lucas semakin bingung.
"Tidak ada." Elish bangkit, "Aku ke kelas dulu." ujarnya kemudian beranjak pergi meninggalkan Lucas bersama rasa bingungnya.
"Apa seseorang menyatakan perasaan padanya? Tapi siapa? Aku tidak melihat dia dekat dengan pria mana pun. Dia juga bilang begitu. Lalu siapa yang sebenarnya dia bicarakan?" Gumam Lucas bertubi-tubi.
Lucas mendengus kasar dan menyilakan tangan di dada lalu menyandarkan tubuhnya.
***
Elish tampak gelisah. Ia tidak bisa fokus. Ia tidak dapat berkonsentrasi dengan materi yang dijelaskan oleh profesornya.
Ini semua karena Jovan!
Bagaimana ia bisa merasa tenang saat pulang nanti? Dan bagaimana ia bisa tidur nyenyak nanti di saat ia tahu teman seranjangnya sehari-hari sedang memiliki rasa suka padanya? Seharusnya sejak awal ia tidak membiarkan Jovan dekat dengannya. Seharusnya ia menjaga jarak dengan Jovan! Seharusnya ia tidak memeluk Jovan malam itu!
Seharusnya ia menolak untuk membantu Jovan kemarin!
Eh? Tidak, tidak.
Elish bukan orang yang mudah menolak permohonan orang. Ia tidak akan tega melihat seseorang yang sedang kesusahan. Ditambah lagi jika orang itu menangis, tangan Elish akan dengan lembutnya merangkul dan memeluk orang itu.
Ya. Ini semua salah Elish. Elish memang bodoh.
Aku memang bodoh!
***