Elish dan Jovan memasuki sebuah kafe kecil yang bernuansa putih dan coklat. Stylish Caffee.
Suasana di sana cukup ramai. Elish menatap sekeliling, bermaksud mencari meja yang masih kosong. Gadis itu melangkahkan kakinya begitu melihat sebuah meja kosong yang berada di tengah kafe itu.
"EKHM!!" Suara deheman yang keras terdengar.
"Wah.. sepertinya ada yang punya janji dengan seseorang di sini." Suara yang tak asing menyambung.
Deg!
Elish menghentikan langkahnya, ia menoleh ke sumber suara. Matanya membulat begitu melihat sosok yang kini sedang menatapnya.
"Hai Elish." Sapa Eva. Ia tersenyum ramah namun terlihat menakutkan di mata Elish. Di hadapan Eva terdapat dua gadis yang sudah tak asing sama sekali di matanya. Liony dan Lyora. Keduanya juga tersenyum ramah namun menakutkan pada Elish.
"Haha. Kenapa kalian menatapku seperti itu?" Tanya Elish.
"Kau masih bertanya kenapa?" Balas Liony tak percaya.
"Kemari kau." Titah Eva.
Elish menelan salivanya. Ia menoleh pada Jovan dengan wajah memelas, seakan berkata 'apa yang harus kulakukan?', namun Jovan hanya menggidikkan bahu.
"Aku akan berkeliling. Kau dengan teman-temanmu dulu saja." Ujar Jovan kemudian melambai dan mulai berjalan mengelilingi seluruh sudut kafe.
Elish hanya menatap punggung transparan Jovan yang semakin menjauh darinya.
Dasar roh sialan! - Rutuk gadis itu.
"Albert tak akan bisa menolongmu. Saat ini dia sedang sibuk. Kemari kau. Berhenti mencari Albert." Ketus Eva.
Mencari Albert?
Elish menghela napas panjang. Ia menyerah dan memilih untuk duduk bersama ketiga temannya itu.
"Kenapa kau berbohong?" Tanya Eva begitu Elish mendaratkan bokongnya di kursi kayu yang berada di sebelahnya.
"Soal apa?"
Ketiga teman Elish itu hanya memutar mata malas.
"Tidak usah pura-pura bodoh. Kau bilang kau akan masuk kelas. Padahal nyatanya kau malah pergi dengan Lucas." Ujar Lyora dengan tatapan datar.
"Oh ya? Apa aku bilang begitu tadi?" Elish semakin kikuk.
"Sudahlah. Berhenti bertingkah bodoh. Kau pasti sudah punya janji dengan Albert kan? Pergilah." Ucap Eva.
"Kami akan segera pulang." Sambungnya sambil menatap Liony dan Lyora ketika kedua gadis itu hendak membantah.
Seakan mengerti maksud Eva, Liony dan Lyora hanya menutup mulut dan mengangguk mantap sambil menatap Elish.
"Kalian yakin?" Tanya Elish ragu sambil bangkit berdiri dan dibalas anggukan oleh ketiga temannya.
"Okey. Aku pergi." Ucapnya lalu berjalan menuju meja yang tadi sudah menjadi sasarannya sejak tiba di tempat itu.
Eva, Liony, dan Lyora benar-benar meninggalkan kafe itu setelah membayar tagihan ke kasir.
Elish hanya duduk diam menunggu hingga Albert datang. Sesekali ia menatap sekeliling.
"Apa Nona ingin memesan sekarang?" Seorang gadis dengan seragam pelayan datang menghampiri Elish.
"Ah, iya. Tolong bawakan aku Hot Lemon Tea." Ucap Elish sambil tersenyum ramah dan dibalas anggukan serta senyuman oleh pelayan itu.
Jovan dimana ya?
***
Jovan menatap sekeliling ruang dapur kafe. Tampak dua orang dengan seragam juru masak sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan makanan. Dan juga seorang pelayan pria yang sibuk menghias kue kecil berwarna merah muda.
"Kue? Ada yang ulang tahun ya?" Ucapnya sambil berjalan mendekat pada pelayan itu. Matanya kemudian beralih pada kue yang bertuliskan 'Special for Elish'.
"Oh.. Elish." Ucapnya enteng lalu berpaling.
Jadi yang berulang tahun itu Eli-
"Elish?!!"
"Hei! Apa maksudnya itu? Elish berulang tahun?" Tanyanya namun tak digubris oleh pelayan itu.
"Benar juga. Kau kan tak bisa melihatku." Jovan sadar akan kebodohannya.
Aku tanya Elish saja langsung. - Putusnya kemudian berlari menuju Elish.
"Elish!"
"Apa kau berulang tahun hari ini?" Tanyanya langsung begitu Elish menoleh padanya.
"Ulang tahun? Tidak." Balas Elish berbisik agar tak menarik perhatian.
"Lalu tadi itu apa? Apa ada Elish yang lain di tempat ini?" Gumam Jovan sambil berbalik dan kembali ke dapur, meninggalkan Elish yang kini menatapnya datar.
Jovan menatap pelayan pria yang sedang membawa kue merah muda menuju pintu keluar dapur. Tampaknya ia akan membawa itu menuju ruang makan pelanggan.
Bruk!
Seseorang menubruk pelayan itu. Mau tak mau kue yang berada di tangannya terjatuh. Kini kue itu hancur, sudah tak berbentuk lagi. Pelayan itu menatap nanar kue itu.
Keadaan dapur mendadak hening. Kedua juru masak menghentikan aktivitasnya.
"Astaga, Albert!" Mata pria yang menubruk membulat tak percaya.
"Albert?"
"Albert, kumohon maafkan aku. Aku benar-benar tak sengaja. Aku tidak tahu kalau kau ada di sini. Ini salahku karena tidak memperhatikan. Aku akan menggantikannya. Kumohon maafkan aku.." Mohon pria yang menabrak.
"Sion, kau tak perlu melakukannya." Balas Albert dengan senyuman yang benar-benar dipaksakan.
Melihat senyuman tak tulus Albert, wajah Sion, pria yang menabraknya, berubah pucat. Ia mengatupkan kedua tangannya, dan berlutut di hadapan Albert, tampaknya ia akan memohon ampun pada teman sekaligus bosnya itu.
"Albert, kumohon. Jangan pecat aku. Aku tahu kau sudah lama mempersiapkan ini untuk menyatakan perasaanmu pada Elish. Tapi kumohon, jangan pecat aku. Aku akan mencari kue yang sama persis secepat mungkin. Kumohon, jangan pecat aku.." Mohon Sion panjang lebar.
"Kata-katamu benar-benar menusuk ya. Kau menyindirku? Haha." Albert tertawa hambar, "Membuatku jadi benar-benar ingin memecatmu. Haha." sambungnya. Hal itu membuat Sion semakin pucat. Bahkan ia mulai keringat dingin.
"Bu-bukan itu maksudku. Aku hanya i-"
"Sudahlah." Albert menarik napas panjang dan menghembusnya perlahan lalu menepuk bahu Sion, "Aku tak akan memecatmu. Aku bisa menyatakan perasaanku lain kali. Mungkin ini pertanda agar aku tak melakukannya sekarang. Sekarang berdirilah." ucapnya sambil membantu Sion berdiri.
"Kau benar-benar pengertian, Bos." Ucap Sion dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan pernah panggil aku 'Bos'." Balas Albert.
"Aku akan menghampiri Elish. Kue itu.. tolong bereskan ya?" Ujar Albert dan dibalas anggukan mantap oleh Sion. Ia kemudian berlalu dan meninggalkan dapur.
Jovan mematung. Menatap tak percaya pada Albert.
"Dia.. Albert? Pria yang mengajak Elish makan malam?" Tanyanya pada diri sendiri.
"Menyatakan perasaan pada Elish?" Gumamnya.
"Menyatakan perasaan pada.. Elish?!!" Matanya membulat tak percaya. Ia segera berlari dan menembus dinding dapur. Bermaksud menjumpai Elish dan melihat gadis itu. Entah kenapa dia merasa khawatir. Kenapa dia khawatir?
Langkahnya terhenti begitu melihat Elish sedang tertawa ria bersama Albert yang kini duduk di hadapan gadis itu.
Wajah Elish begitu manis saat tertawa. Membuat Jovan terpaku. Jujur. Ia sangat terpesona saat ini. Tampak dari tatapan terpesona yang terpancar dari matanya. Juga detak jantung yang tak karuan.
Namun tatapan terpesona berubah menjadi tatapan jengkel saat melihat tangan Albert yang sedang menautkan jemari dengan jemari Elish. Ia segera menghampiri kedua sosok itu. Hatinya kini terasa panas. Okey. Dia menyerah. Kalau ada yang bertanya, ia akan mengakui kalau saat ini ia cemburu.
"Kau tadi bilang kalau kalian tidak berkencan dan hanya sekedar makan malam. Lalu kenapa tangan kalian harus bergandengan seperti itu??" Ucapnya jengkel dengan tangan bersila.
Elish seakan tersadar oleh perkataan Jovan. Ia segera melepaskan tangannya dan menaruhnya di atas pahanya. Lalu menatap dan tersenyum canggung pada Albert.
"Gadis baik." Ujar Jovan sambil menepuk lembut puncak kepala Elish. Entah mengapa itu membuat Elish merasa seperti.. anjing.
"Kau sepertinya tidak nyaman ya karena sering kugenggam begitu." Ucap Albert.
"Bukan begitu.."
"Tak apa. Aku akan membawakanmu makanan." Ujar Albert kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju dapur.
***
"Menyebalkan." Gerutu Jovan setelah duduk di atas kursi makan rumah Elish. Ia menatap jengkel Elish yang sedang menuangkan air mineral ke gelas.
"Ada apa?" Tanya Elish sambil mendekatkan gelas ke bibirnya, bermaksud untuk minum.
"Elish."
"Hm?"
"Sepertinya aku menyukaimu."
"Pft! Uhuk! Uhuk! ..." Elish terbatuk-batuk mendengar ungkapan Jovan.
"Hei, kau baik-baik saja?" Jovan segera menghampiri Elish dan spontan mengelus punggung gadis itu lembut. Entah apa gunanya. Sepertinya itu berguna, karena batuk Elish langsung berhenti.
Elish menarik napas dan menghembusnya pelan, "Kau ini kenapa?"
"Apanya?"
"Kau pasti bercanda, kan?"
"Bercanda? Soal apa? Menyukaimu? Tidak. Aku serius."
Elish hanya bisa menatap Jovan tak percaya.
"Tidak percaya?" Tanya Jovan dan dibalas gelengan oleh Elish.
***