Chapter 25 - Siapa Dia?

"Elish lama sekali. Padahal katanya hanya mengantar tugas." Jovan menggerutu sambil berjalan ke sana ke mari di tengah ruang keluarga.

Ia berhenti ketika mendengar suara Elish yang seperti berbicara dengan seseorang. Ia menatap pintu utama rumah itu dengan seksama. Menunggu hingga sosok yang ditunggu-tunggunya muncul.

Ceklek!

Pintu terbuka. Menampakkan dua sosok manusia. Elish dan Lucas.

"Rumahku sedikit berantakan. Aku belum membersihkannya tadi. Hahaha.." Ujar Elish jujur sambil mempersilahkan Lucas masuk.

"Kalau begitu biarkan aku membantumu. Aku akan membereskan semuanya untukmu." Tawar Lucas begitu ia melewati pintu.

"Tawaran yang sangat bagus. Aku tak akan menolaknya." Balas Elish, kemudian keduanya tertawa renyah.

Elish menuntun Lucas menuju kamarnya. Mengabaikan Jovan yang sejak tadi terus menatap mereka, seakan kehadiran Jovan tak dirasakan.

"Dia kan.." Jovan berpikir keras, "yang di foto itu. Tunggu," matanya membulat, "apa dia kekasihnya?"

Jovan segera berlari menuju kamar Elish dan berdiri di ambang pintu. Menatap Lucas yang kini sudah duduk di atas kasur tidur Elish, dan Elish yang berbaring telungkup di samping Lucas sambil memainkan ponsel.

Deg!

Apa-apaan mereka?!

"Elish!" Seru Jovan, namun Elish tak bergeming. Gadis itu masih fokus dengan ponselnya.

Lucas menghela napas panjang dan tersenyum simpul, "Sudah lama ya." ucapnya sembari melucuti jaket abu-abunya dan meletakkannya asal di atas kasur.

"Apanya?"

"Aku tidak kemari. Terakhir kali aku kemari tahun lalu. Saat ulang tahunmu." Ujarnya sambil mengingat-ingat momen manis yang terus terngiang di kepalanya. Sungguh hari yang indah. Menghabiskan satu hari penuh berdua bersama Elish.

Lucas ikut berbaring dan telentang di samping Elish. Kemudian menoleh dan menatap lembut wajah manis Elish.

"Cantik sekali." Gumamnya dengan suara yang sangat pelan. Hampir tak terdengar.

"Hm?"

"Bukan apa-apa."

Elish mengangguk pelan. Ia meletakkan ponsel di sampingnya lalu menatap Lucas yang masih terus menatapnya.

"Tangan." Katanya.

"Tangan?" Lucas membeo.

"Ya. Aku mau tidur." Ucap Elish.

"Ah.. aku mengerti." Balas Lucas lalu mengulur tangannya ke samping. Lebih tepatnya ke arah Elish.

Melihat tangan Lucas yang sudah telentang di hadapannya itu membuat Elish tersenyum cerah. Gadis itu segera berguling ke sisi Lucas dan menjadikan lengan pria itu sebagai bantal untuk kepalanya. Tangannya bergerak dan memeluk perut Lucas.

"Lenganmu memang yang terbaik." Ucap Elish, "Sepertinya kau banyak melatihnya ya." sambungnya sambil menggerak-gerakkan kepalanya seperti sedang menekan lengan Lucas.

"Perut ini juga. Sepertinya isinya bukan lemak lagi." Sambungnya lagi dengan tangan yang memukul kecil perut pria itu.

Gawat!

Tangan Lucas yang menganggur segera menahan tangan Elish yang berada di perutnya, "Wohoho. Kau sedang menggodaku, huh?" ucapnya.

"Kau tidak tahu bahayanya wanita dan pria yang berbaring berdua di atas kasur empuk?" Tanyanya. Ia menatap dalam mata biru Elish yang lembut.

Elish tersenyum simpul, "Tidak dan tidak mau tahu. Yang jelas sekarang aku mengantuk." ucapnya.

"Jam berapa ini?" Tanya Elish.

"Jam empat dua tiga." Jawab Lucas setelah melirik jam tangannya sesaat.

"Bangunkan aku pukul lima." Ucap Elish kemudian menutup kedua matanya dan tidur.

"Okey." Sahut Lucas kemudian bergerak dan balas memeluk Elish dengan lembut. Membuat gadis itu semakin nyaman di tidurnya.

Deg! Deg! Deg!

Itu Jovan. Detak jantung Jovan. Wajahnya sangat murung. Keningnya berkerut. Hatinya terasa panas. Sangat panas. Ia tak tahu kenapa.

Ia memilih meninggalkan kamar Elish dan berjalan menuju ruang keluarga. Begitu sampai di ruangan itu, matanya tertuju pada pintu utama yang masih terbuka lebar.

"Dasar bodoh. Bagaimana bisa kau tidur saat pintumu terbuka lebar begini?" Gerutunya. Suaranya terdengar lemah.

Pria itu segera melangkahkan kakinya dan meraih gagang pintu itu. Kemudian menutupnya dengan lembut agar tak menimbulkan suara sehingga tak membangunkan Elish dan.. Lucas.

Sesak. Dada Jovan terasa sesak.

"Haha." Jovan tertawa hambar. "Mana mungkin.. aku cemburu." paraunya.

***

Hari sudah sore. Tapi langit masih saja cerah.

"Hei tuan putri. Mau sampai kapan kau tidur?" Ucap Lucas sembari menepuk-nepuk pipi Elish dengan lembut.

"Ehm.." Racau Elish. Ia membuka mata perlahan dan menatap sayu Lucas.

"Hehe. Kau benar-benar membangunkanku." Ujar Elish kemudian bangkit dari tidurnya.

"Tentu saja. Tanganku mulai kesemutan, kau tahu?" Balas Lucas sambil ikut bangkit.

Elish tertawa melihat pengakuan sahabatnya itu, "Ayo. Tepati janjimu."

"Okey."

Keduanya berbenah diri sambil berbincang singkat. Mendiskusikan apa saja yang akan mereka lakukan untuk membersihkan rumah Elish. Setelah merasa cukup, mereka segera mengambil peralatan kebersihan dari gudang kecil di belakang rumah Elish dan memulai kegiatan bersih-bersih mereka.

Mereka terus bebersih tanpa henti hingga akhirnya selesai pada pukul tujuh malam. Hari mulai gelap. Keduanya duduk berdampingan sambil terengah di atas sofa yang berada di ruang keluarga.

"Rumah ini jadi tampak bersinar." Ucap Elish dengan senyum yang merekah di wajahnya. Ia tampak puas saat melihat sekeliling rumahnya.

"Tentu saja. Kalau aku sudah turun tangan, gudangmu pun akan terlihat berkilau." Balas Lucas menyombongkan diri.

Namun yang ia katakan memang benar. Gudang yang hanya dibersihkan sekedar oleh Elish itu berubah menjadi gudang kecil yang sangat rapih. Segala alat dikelompokkan Lucas sesuai jenisnya di tempat yang berbeda, sehingga jika Elish atau siapa pun yang mencari alat di gudang Elish bisa dengan mudah mendapatkannya.

"Kalau begitu, jika aku ingin membersihkan gudang, aku akan memanggilmu." Ujar Elish dan dibalas tawa renyah oleh Lucas.

"Sudah jam tujuh. Aku harus pulang." Ucap Lucas.

"Kau tidak mandi dulu? Kau bisa pakai pakaian Peter."

"Apa aku sekurus itu?"

Elish tampak berpikir, kemudian tertawa. Benar juga. Tinggi badan Peter hampir sama dengannya, meskipun lebih tinggi sedikit darinya. Ia yakin tinggi Peter hanya mencapai dagu Lucas. Atau Peter jauh lebih tinggi darinya? Karena tingginya juga hanya mencapai bahu Lucas.

Selain tinggi, otot di tubuh Lucas juga pasti akan merobek pakaian Peter karena akan terasa sesak saat Lucas memakainya. Elish bisa bayangkan itu.

"Kau benar."

"Baiklah." Lucas berdiri, "Aku pulang."

Lucas mengambil kunci mobilnya di kamar Elish dan berjalan menuju pintu utama rumah gadis itu. Ia berhenti dan berbalik, "Kau tidak mengantarku?" tanyanya.

"Baiklah." Balas Elish kemudian bangkit dan berjalan menuju Lucas.

Elish segera menutup pintu dan menguncinya. Lalu menyusul Lucas yang sudah berjalan perlahan menuju mobil yang diparkir di depan pagar rumah Elish.

"Aku titip jaketku ya. Jangan lupa mencucinya." Ujar Lucas.

"U-hm."

"Oh iya." Lucas teringat sesuatu, "Seingatku kita tadi tidak menutup pintu saat masuk ke rumahmu." ucapnya.

"Hm?"

"Tapi saat bangun bagaimana bisa itu tertutup?" Sambungnya sambil mengingat-ingat.

"Jovan.." Gumam Elish.

"Apa?" Tanya Lucas.

"Ah.. aku yang menutupnya. Kau tidak menyadarinya karena aku menutupnya dengan sangat lembut tadi." Ujar Elish berbohong.

"Aku tidak ingat kau menutup pintu. Kau kan berjalan di depanku." Balas Lucas.

"Sudahlah. Tak perlu memusingkan itu. Lagipula aku memang menutupnya. Kau saja yang tak memperhatikannya." Elish berusaha bertingkah senatural mungkin.

"Ya. Aku rasa begitu." Ujar Lucas menyetujui sambil tangannya menekan tombol 'open' pada kunci mobilnya.

"Baiklah." Lucas membuka pintu mobilnya, "Aku akan pulang." ucapnya sambil memasuki mobil dan menutup pintu mobil hitamnya itu.

Elish menatap jendela mobil Lucas yang terbuka perlahan, ia tersenyum begitu jendela itu terbuka sepenuhnya hingga menampakkan wajah Lucas, "Hati-hati." ucapnya dan dibalas anggukan serta senyuman oleh Lucas. Setelahnya, Lucas segera melajukan mobilnya dan meninggalkan rumah Elish.

***

Elish tampak panik. Ia berjalan ke seluruh penjuru rumahnya.

Dimana Jovan?!

Gadis itu mencari keberadaan Jovan. Sejak bangun tadi ia tidak melihat Jovan. Ia tak tahu kemana pria itu pergi. Peluh mulai membasahi dahinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia berjalan dengan gontai dari belakang menuju ruang keluarga.

"Jovan, kau dimana?" Lirih gadis itu dengan wajah lesu. Ia bahkan tidak menyempatkan diri untuk mandi begitu sadar Jovan tak ada di rumahnya.

"Bagaimana kalau dia tersesat? Hik.. huu..huu.." Tangis Elish pecah. Ia terduduk lemas di lantai.

"Elish?! Kau kenapa?!" Suara Jovan terdengar.

Jovan?!

Elish mendongak. Itu Jovan! Ia segera bangkit dan berlari menuju pria itu dan memeluknya erat.

"E-elish? Ekhm! Kau kenapa? Apa yang terjadi?" Jovan gelagapan karena pelukan Elish yang tiba-tiba, namun tangannya tetap membalas pelukan itu, "Apa laki-laki itu menjahatimu? Katakan! Agar aku hajar dia habis-habisan." ucapnya berusaha menenangkan Elish.

Elish menggeleng dalam dekapan Jovan, "Syukurlah kau pulang. Kupikir kau tersesat. Aku tidak melihatmu sejak bangun tadi." jelas gadis itu, ia masih terisak, "Ini salahku. Kau pasti marah karena aku mengabaikanmu tadi. Aku tidak bermaksud begitu tadi. Maafkan aku huu..huu.." ia kembali menangis.

Jovan tersenyum simpul mendengar perkataan Elish, "Aku baik-baik saja. Aku hanya jalan-jalan karena bosan. Kau tidak salah." ucapnya sambil mengusap punggung Elish lembut hingga tangis gadis itu reda.

Lagipulaseandainya kau memang bermaksud mengabaikanku, itu bukanlah salahmu. Memangnya aku siapa? Aku hanyalah roh tersesat yang meminta bantuanmu. Dan lagi, aku tidak pantas untuk marah. Karena.. kau juga berhak memiliki waktumu sendiri.

***