"KUBUNUH KAU!!" Teriak Peter sambil berlari menuju Jovan dan Elish yang masih dalam posisi berbahaya mereka di atas sofa.
Melihat Peter yang mengamuk, Elish segera melepaskan diri dan berusaha menahan adiknya itu namun gagal. Peter berhasil menyingkirkan tubuh Elish yang menghalangi langkahnya dengan menggeser tubuh kakaknya tanpa menyakitinya sedikitpun.
Tangan Peter yang mengepal sudah mengambang di udara. Tinggal sedikit lagi untuk mendarat di wajah Jovan.
Deg! Deg! Deg!
Jantung Jovan berdegup. Baru kali ini ia melihat Peter semarah ini. Kemarahannya saat ini sepertinya tiga kali lipat dari kemarahannya kemarin saat meminta penjelasan mengapa ia ada di rumah Elish.
Matanya membelalak melihat kepalan tangan Peter yang dilayangkan menuju wajahnya.
"Tidak Peter! Janga-"
Set.
Hilang. Jovan hilang.
Bug!
Tangan Peter mendarat di sandaran sofa.
"Kemana dia?!" Pekik Peter kaget melihat Jovan yang tiba-tiba menghilang dari hadapannya.
Peter menoleh pada Elish, berharap mendapatkan jawaban namun ia hanya mendapat gelengan oleh kakaknya itu.
"Hei. Tidak baik memakai kekerasan. Aku bisa jelaskan ini semua." Suara Jovan terdengar. Elish dan Peter segera menoleh ke pemilik suara yang kini berdiri di balik sofa.
"Bagaimana kau bisa berdiri di sana?!" Seru Peter dengan amarah yang masih meluap-luap.
"Uhm.." Jovan menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan sedikit memiringkan kepala, "Karena.. aku punya ka..ki." ucapnya ragu lalu melirik kakinya sesaat dan kembali lagi menatap Peter.
"Hah? Kaki? Hahahaha.." Elishterbahak melihat kebodohan Jovan.
"Ha. Ha. Ha. Lucu sekali." Ucap Peter datar. Sangat datar.
Jovan mengernyitkan dahi tak mengerti, "Okey. Aku tahu. Aku memang menggemaskan."
"Bisakah kita kembali ke topik? Sebenarnya kau hanya salah paham. Hahaha." Sambung Jovan.
"Aku akan menjelaskannya. Sungguh. Tapi sebaiknya kau duduk dulu." Ucap Jovan, "Lagipula, apa kau tidak kasihan melihat temanmu berdiri di sana seperti orang bodoh." sambungnya sambil melirik Lucky yang kini berdiri sambil menatap Peter dan Elish bingung.
"Ah.. benar juga." Peter berbalik, ia menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Lucky masuk, "Duduk." titahnya saat sahabatnya itu sudah berdiri di samping salah satu sofa, dan Lucky hanya menurut tanpa ada niat bertanya. Sepertinya ia mulai paham situasi.
"Baiklah. Saatnya aku menjelaskan padamu. Tapi sebelumnya, Elish.." Kalimat Jovan terhenti. Ia menatap Elish dengan wajahnya yang tampak dipenuhi dengan keraguan.
"Hm?"
"Anu.. itu.. uhm.."
"Apa?!" Kali ini Peter yang merespon.
"Tenang dulu, Peter." Ucap Jovan, "Uhm, Elish. Bisakah.. kau lemparkan piyama itu?" sambungnya sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Piyama?" Elish mengernyitkan dahi. Ia menatap tangannya. Benar saja. Piyama Jovan masih berada di genggamannya.
Mata Elish membulat, "Tunggu. Jangan bilang kalau kau..."
"Ya. Aku telanjang." Ucap Jovan, "Lihat. Selimutnya ada di sofa. Selimut tidak bisa menembus benda." sambungnya sambil tersenyum pasrah. Entah kenapa tubuhnya tiba-tiba terasa ngilu. Firasatnya buruk. Ia yakin ada hubungannya dengan Peter.
"Aku benar-benar akan membunuhmu." Ujar Peter datar tiba-tiba.
BUGH!!
Firasat Jovan benar. Ia tersenyum pasrah. Sangat-sangat pasrah. Kini ia tersungkur di lantai. Bagaimana bisa? Siapa lagi pelakunya kalau bukan Peter. Serangan dadakan Peter berupa tendangan sangat kuat hingga berhasil menumbangkan tubuh Jovan.
Jovan menatap langit-langit. Ia memegangi dada kirinya yang berdenyut akibat rasa sakit yang diberikan oleh Peter. Ingatan itu terbekas jelas di kepala Jovan. Ingatan bagaimana gerakan tiba-tiba Peter yang melompat dan langsung memberikan tendangan hebat di dadanya. Ingatan bagaimana Peter mendarat dan mengunci tubuh Jovan yang tersungkur lalu memukuli wajahnya.
Lemas. Jovan lemas. Itu begitu sakit. Namun.. tak berdarah. Tidak sama sekali. Ia hanya merasakan sakit yang teramat sangat.
Beruntung Elish menutup mata. Sehingga ia tak perlu merasa malu karena Elish melihat tubuh polosnya. Ia bersyukur karena ia sempat melihat Elish sekilas sesaat sebelum ia benar-benar jatuh tadi.
"Ini piyamamu!" Peter melempar piyama Jovan tepat di wajah memelas Jovan. Kemudian ia bangkit berdiri dan duduk di sofa yang Jovan duduki tadi.
"Jovan..." Lirih Elish. Gadis itu masih menutup mata. Antara takut melihat Peter yang menendang Jovan atau takut melihat tubuh polos Jovan. Mungkin.. keduanya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya gadis itu. Masih dengan mata yang tertutup.
Jovan menarik napas panjang, "Ya. Jangan khawatir. Duduklah. Aku harus berpakaian." ujarnya.
"Ah.. baiklah."
***
Lagi. Jovan menjelaskan lagi. Membenarkan kesalah pahaman yang terjadi. Sepertinya jika berhadapan dengan Peter, ia harus menyiapkan diri untuk memberi berbagai macam penjelasan. Melihat Peter yang menurutnya sangat suka salah paham atau.. benci padanya.
Jovan, Peter, Elish, dan Lucky duduk duduk di masing-masing sofa yang berbeda. Keadaan -menurut Lucky- begitu tegang.
"Cih! Itu sangat tidak meyakinkan. Tidak sengaja menarik tangan?" Peter memutar matanya malas, "Dasar pembual." ketusnya.
"He-hei. Aku sudah jujur." Balas Jovan. Ya, dia memberi penjelasan dibumbui dengan sedikit kebohongan, "Segitu bencikah kau padaku?" tanyanya.
"Hm." Balas Peter singkat.
"..." Jovan tak mampu lagi berkata-kata. Apa yang membuat Peter sangat membencinya?
Drrttt... drrttt..
Ponsel di saku celana Lucky bergetar. Getaran yang menimbulkan suara membuat seluruh mata menatap ke arah Lucky.
"Maaf mengganggu. Aku angkat ini dulu." Ucapnya.
Lucky mengeluarkan ponselnya dari saku dan menatap layar benda tipis itu.
WorstTwin
Demikian nama yang tertera di layar ponselnya. Ia mendecak sebentar lalu mengarahkan ponsel itu ke telinganya.
"Sebentar lagi. Aku sedang mengemas barang. Sudah ya."
Tut.
Lucky mematikan sambungan telepon, "Silahkan lanjutkan." ujarnya.
"Kami sudah selesai." Balas Peter. Ia bangkit dari duduknya, "Ayo." ucapnya pada Lucky lalu berjalan menuju kamarnya.
Lucky mengangguk dan mengekori langkah Peter dari belakang.
***
"Kau.. bohong, kan?" Tanya Elish pada Jovan dengan tatapan menyelidik sambil melipat selimutnya yang terdampar di atas sofa.
"Bohong? Soal apa?"
"Tidak sengaja menarik tanganku? Itu benar-benar bualan yang sangat hebat."
"Oh.. soal itu." Jovan tersenyum simpul, "Ya. Aku berbohong. Aku memang sengaja. Kau pasti tahu kalau tadi aku akan menci-"
"Aku harus bersiap-siap ke kampus." Potong Elish. Gadis itu bangkit dan berjalan menuju kamarnya dengan membawa selimut yang sudah ia lipat dengan rapi. Ia... malu. Wajahnya memerah dan terasa panas.
Melihat reaksi Elish, Jovan tertawa kecil dan hanya menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
Manis sekali. - Pikir pria itu.
***
"Hmm.." Peter tampak berpikir. Ia duduk di atas kasur tidurnya.
"Kenapa?" Tanya Lucky sambil terus mengemas barangnya.
"Aku tidak yakin bisa meninggalkan Elish dan Jovan berdua di sini." Ucap Peter.
Lucky menghentikan aktivitasnya. Ia berdiri di hadapan Peter dengan tangan bersila. Wajahnya tampak jengkel.
"Kau itu adiknya. Bukan ayahnya. Kak Elish bukan gadis berumur tujuh belas tahun. Dia sudah dewasa." Ujarnya kemudian melanjutkan kegiatan mengemasnya.
Peter hanya bengong menatap Lucky, berusaha mencerna perkataan sahabatnya itu.
"Jadi.." Lucky menoleh pada Peter, "sadarlah. Percaya saja pada Elish." katanya lalu beralih ke tas yang sudah penuh oleh barang-barangnya.
Peter tidak menjawab. Ia merenungi ucapan Lucky.
Dia ada benarnya juga.
"Ayo pulang." Ucap Peter sesaat setelah ia bangkit.
"Pulang? Kau ikut ke rumahku?"
"Kau gila? Bisa-bisa aku ditelan oleh adikmu."
Lucky tertawa renyah mendengar ucapan sahabatnya. Aneh. Dia suka pada Lucy tapi sangat suka meledek dan membuat Lucy jengkel.
***
"Mana Elish?" Tanya Peter saat melihat Jovan hanya duduk sendirian di atas sofa. Ia dan Lucky sudah siap untuk berangkat. Tampak dari tas yang menggembung sudah menggantung di masing-masing punggung mereka.
Jovan menoleh, "Ke kampus." balasnya singkat.
"Begitu ya. Baiklah. Kami titip salam untuknya. Aku dan Lucky harus pulang. Jaga Elish baik-baik." Ujar Peter lalu pergi keluar dan meninggalkan rumah Elish, diikuti Lucky yang berjalan di belakangnya.
***