Chapter 22 - Salah Paham

Tok! Tok! Tok!

Peter mengetuk pintu kamar Elish. Ia dan Lucky sudah rapi dengan seragam sekolah. Tidak lupa dengan ransel yang menggantung dengan satu tali, tali yang satunya lagi dibiarkan menganggur. Itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka merasa tampak lebih keren jika begitu.

"Jam berapa ini?" Tanya Lucky yang berdiri di balik tubuh Peter.

"Tujuh delapan sembilan." Jawab Peter asal sambil terus mengetuk pintu bercatkan putih itu.

Lucky menatap jengkel Peter, "Aku serius." ucapnya datar.

"Hehe." Peter melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya, "Tujuh tiga empat." ujarnya kemudian kembali mengetuk pintu.

"Elish..!" Seru Peter.

"Sepertinya dia masih tidur." Ucap Lucky.

Peter tampak kesal. Dahinya berkerut. Bibirnya tampak meracau tak jelas. Yang jelas ia sedang menggerutu.

"E-" Seruan Peter terpotong begitu melihat pintu kamar Elish terbuka perlahan. Namun bukannya menampakkan wajah gembira, Peter justru tampak terkejut melihat sosok yang di hadapannya saat ini.

Mata Lucky juga tampak membulat. Wajahnya pucat. Tubuhnya gemetaran. Tiba-tiba ia terjatuh dan berteriak histeris.

"AAAAAAAA..!!" Teriaknya, "Pe-peter! Pintunya! Bagaimana bisa?!" ucapnya dengan suara bergetar sembari berusaha menyeret tubuhnya mundur menjauhi kamar Elish.

"KAU! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Peter berteriak dengan keras. Membentak sosok Jovan yang kini berdiri dengan wajah datar.

"Apa kau tidak lihat? Membuka pintu." Balas Jovan santai.

"Pe-pe-peter! Se-selimutnya! Itu terbang! Dia terbang Peter!" Lucky berseru masih dengan suara yang bergetar. Ia tampak sangat ketakutan.

"Bukan itu yang kumaksud! Dimana pakaianmu?! Kenapa kau bertelanjang dada?!! DAN KENAPA KAU HANYA MENGENAKAN SELIMUT??!!" Tanyanya bertubi-tubi dengan suara yang menggelegar.

"Pe-pe-peter! Kau.. bicara dengan siapa? Kau berbicara dengan selimut terbang itu? Bagaimana.." Lucky menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Matanya berkaca-kaca. Ia syok. Tampak ia menggelengkan kepala pelan. Tak percaya dengan apa yang ia saksikan sekarang.

"Pakaianku? Itu." Ucapnya sambil menunjuk ke arah Elish yang masih tidur dengan dagunya, "Di genggaman Elish." sambungnya setelah kembali menoleh pada Peter.

Mata Peter membulat. Apa yang mereka lakukan kemarin?!

"Kau! Apa yang kau lakukan?!" Bentak Peter. Wajahnya terasa panas. Ingin rasanya ia memukul wajah Jovan saat ini.

"Lebih baik kau urus dulu temanmu itu. Dia sepertinya lupa kalau aku ada di sini." Ujar Jovan sembari menatap malas pada Lucky yang tampaknya masih sangat syok.

Peter mengernyitkan dahi, "Hah?" ia menoleh dan mendapati setetes air mata sudah mengalir di pipi Lucky. Ia terkejut sekaligus heran melihat Lucky yang tampak syok itu. Sangat tidak keren! Mengapa ia harus menutup mulut dan menangis begitu? Seperti wanita saja!

Peter segera berjalan menghampiri Lucky. Ia mengulurkan tangan kanannya, bermaksud membantu sahabat bodohnya untuk bangkit berdiri.

***

Peter meletakkan tasnya di atas meja. Diikuti Lucky yang kini duduk di sampingnya. Saat ini mereka berada di ruang kelas Sastra. Beruntung mereka tidak terlambat. Kalau saja mereka tidak segera menyelesaikan drama yang terjadi di rumah Elish tadi, dapat dipastikan mereka akan berhadapan dengan seorang wanita paruh baya yang membosankan dengan ruangan serba putih khusus yang digunakan untuk menghukum siswa dan siswi yang bermasalah. Yah, meskipun mereka sudah sering keluar masuk ke ruangan itu, tapi rasa muak mau tak mau harus menghampiri mereka saat membayangkan tempat itu.

"Syukurlah kalian tak terlambat. Karena jika itu terjadi, aku akan langsung melapor pada ibu." Suara Lucy terdengar.

Peter dan Lucky mendongak dengan serempak, menatap Lucy kesal. Gadis itu berdiri di hadapan Peter. Tampak ia meletakkan tasnya di atas meja yang berada di depan meja Peter.

"Ke-kenapa kalian menatapku begitu?" Lucy terlihat salah tingkah.

"..." Tidak ada jawaban. Peter dan Lucky hanya menatapnya. Menatap pergerakan gadis itu. Menatap kemana pun gadis itu pergi.

"Okey. Aku pergi." Ucap Lucy kemudian meninggalkan dua makhluk yang menurutnya sangat aneh itu dan pergi keluar dari kelas.

Peter dan Lucky memutus tatapan mereka saat sosok Lucy benar-benar menghilang dari pandangan mereka.

Lalu, "Bwahahahaha...hahaha. " gelak tawa keduanya terdengar.

"Dasar cengeng! Begitu saja langsung menyerah." Celetuk Lucky kemudian kembali tertawa.

"Hahaha." Peter tertawa renyah, "Menggemaskan." ucapnya sambil tersenyum simpul.

Tawa Lucky berhenti. Senyuman di wajahnya mendadak lenyap. Ia menoleh pada Peter dan mendapati sahabatnya sedang melamun sambil tersenyum dengan mata yang terus menatap tas coklat Lucy.

Menjijikkan! Peter benar-benar menjijikkan saat jatuh cinta.

Pletak!

Sebuah tamparan mendarat dengan mulus dari belakang di kepala Peter. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Lucky.

"Apa masalahmu?!" Bentak Peter sambil memegangi kepalanya yang terasa panas dan tentunya sakit. Menarik perhatian murid-murid yang ada di kelas itu sesaat namun sebentar kemudian mereka berpaling lagi. Seakan tak ingin tahu apa yang telah dan akan terjadi pada dua sejoli ini.

"Kau! Kau adalah masalahku!" Balas Lucky kemudian beranjak dari duduknya dan berlari kabur sebelum Peter berhasil menangkapnya. Dan tentu saja Peter ikut berlari mengejar sahabatnya itu.

***

Peter dan Lucky berjalan santai dengan rumah Elish sebagai tujuannya.

Lucky memutuskan untuk pulang ke rumahnya sore ini. Keputusan yang berat memang, tapi ia harus melakukannya demi kelangsungan hidupnya bersama Peter(?).

Ya. Baik Lucky maupun Peter sebenarnya sesama anak yang aneh. Tak ada satupun yang mampu membantah hal itu. Bahkan orangtua mereka sekalipun. Dan bahkan.. Elish.

Peter benar-benar bersemangat untuk pulang ke rumah Elish. Ia tak sabar lagi mendengar penjelasan dari Jovan dan Elish mengenai apa yang mereka lakukan kemarin malam. Hingga membuat Jovan hanya mengenakan selimut untuk menutupi tubuh bagian bawahnya saat membukakan pintu bagi Peter. Sungguh keadaan yang membuat salah paham!

Hal-hal negatif terus memenuhi kepalanya. Membuatnya merasa sedikit pusing. Ia tak sempat melihat keadaan Elish karena terlalu sibuk membentaki Jovan dan mengurus sahabatnya yang sangat bodoh, Lucky.

"Peter.. apa kau tak berniat untuk mengijinkanku untuk menginap lagi malam ini?" Rengek Lucky dengan wajah memelas.

Peter menghentikan langkahnya, dan tentunya Lucky ikut berhenti.

Peter menoleh pada Lucky, "Jangan merengek lagi. Atau kau memang ingin ini menjadi hari terakhir kau menginap denganku?" ucapnya dengan wajah jijik. Tampaknya ia ingin muntah tepat di wajah Lucky.

"Siap! Tidak, Komandan!" Lucky berdiri tegak dan menaikkan tangan kanannya lalu meletakkannya di dekat alis kanannya. Tampak seperti seseorang yang sedang menghormat.

"Goodboy."

***

"I-ini. Pakai. Mau sampai kapan kau menyeret selimutku seperti itu?" Elish menyerahkan sebuah kain biru yang transparan pada Jovan yang duduk dan bersandar di atas sofa dengan selimut yang masih setia membaluti tubuh bawahnya. Gadis itu tampak memalingkan wajahnya.

"Kenapa kau tak melihatku?" Tanya Jovan. Ia mengulas senyuman penuh arti di wajahnya. Lalu ia mengangkat tangannya, bermaksud untuk mengambil piyamanya dari tangan Elish. Namun ide licik terlintas di kepalanya.

Set!

Bukannya menarik piyamanya, Jovan malah menarik tangan Elish dengan kuat. Sehingga tubuh gadis itu mau tak mau ikut tertarik. Membuat tubuh atas mereka menjadi bersentuhan. Tangan Jovan masih menggenggam tangan Elish dengan erat.

Posisi ini.. sungguh berbahaya! Wajah mereka begitu dekat. Bahkan terlalu dekat. Mata mereka bertemu dan terkunci oleh tatapan satu sama lain. Seakan membeku tubuh mereka tak mampu bergerak.

Deg!

Jantung keduanya berdegup tak karuan. Keduanya bergelut dengan pikiran masing-masing.

Manis juga. - Pikir Jovan.

Ini.. gawat! - Pikir Elish.

"BRENGSEK!!"

***