Lucy mengerutkan wajahnya. Gadis itu menatap kesal Lucky dan Peter yang duduk di hadapannya. Kedua makhluk yang ditatap malah sibuk melakukan aksi tampar menampar. Tidak lupa dengan tawa jahil.
Jenuh dengan Peter dan Lucky, Lucy menatap sekeliling kantin yang kini penghuninya hanya mereka bertiga dan para petugas kantin.
Saat ini masih jam pelajaran. Jadi wajar saja kantin sangat sepi. Dan hal itu membuat Lucky dan Peter memanfaatkannya untuk bermain seperti biasa.
Lucy kembali menatap Lucky dan Peter. Dan tentu saja mereka masih sibuk bermain.
Gadis itu menopang dagu dengan tangan kirinya, "Bisakah kalian berhenti? Kalian benar-benar berisik!" Keluhnya.
"Tidak." Ucap Peter dan Lucky bersamaan lalu melanjutkan aktivitas mereka lagi.
"Ayolah. Aku sangat bosan. Apa kalian tidak punya kegiatan lain??"
"Tidak." Kata mereka lagi tanpa berhenti saling memukul.
"Hei!" Seru Lucy.
Mendengar itu, Peter menghentikan pukulannya pada Lucky. Ia beralih menatap Lucy. Sama dengan tatapannya di kelas tadi. Dan pastinya Lucy kembali terpaku. Jantungnya berdegup.
"Lucy. Kalau kau bosan dengan kami, kenapa kau mengikuti kami sampai ke sini?" Tanya Peter. Ia terus menatap Lucy dalam.
"I..i..itu karena aku tidak tahu harus kemana. Lagipula, aku bisa di sini juga karena kalian! Jadi kalian harus tanggung jawab!" Cetus Lucy. Gadis itu berusaha untuk menetralkan jantungnya dan memberanikan diri untuk balas menatap mata Peter.
Ya. Mereka dikeluarkan dari kelas karena ribut saat belajar. Bagi Peter dan Lucky itu adalah hal biasa. Tapi bagi Lucy, itu adalah hal yang terburuk sepanjang hidupnya. Dia belum pernah dikeluarkan dan dipermalukan seperti tadi hingga hari ini tiba. Sebagai murid terajin dan terpintar di kelas bahkan sekolah, baik akademik maupun praktik, mana mungkin ia tidak merasa malu dikeluarkan karena ribut.
Berbeda dengan Lucky, kakak kembarnya, bisa dibilang Lucky adalah bayangan Lucy saat bercermin. Tampak sama namun berbeda. Berbanding terbalik! Tapi dia hanya mendapat nilai rendah di akademik. Sedangkan praktik, hampir di setiap praktik dia mendapatkan nilai tertinggi.
Sedangkan Peter, kalau menurut pengakuan guru, dia termasuk murid yang pintar, namun tidak sepintar Lucy. Jika dia bisa tertib di kelas, dia sangat cocok disandingkan dengan Lucy, itu yang guru-gurunya bilang.
"Oh ya? Memangnya seperti itu? Bukankah kau juga membuat keributan tadi?" Kali ini Lucky yang bicara.
"Tapi itu juga karena ka-"
"Sekali lagi. Yang dikatakan kakakmu itu benar. Kalau kau tidak ikut campur dengan urusan kami, kau tidak akan ikut dikeluarkan dan kau tidak akan merasa bosan seperti keluhanmu tadi. Jadi berhenti mengeluh dan menyalahkan kami. Kau tidak selalu benar. Kadang kala kau harus intropeksi diri agar tidak selalu menyalahkan orang lain." Kalimat Peter berhasil memotong kalimat Lucy. Kata-kata yang menusuk itu mampu membuat Lucy bungkam.
Gadis itu terpaku. Tubuhnya terasa lemas. Matanya berkaca-kaca. Perlahan keningnya sedikit mengerut.
"Hmm..huaa..huuu..huu.." Lucy menangis. Ucapan Peter barusan benar-benar menyakiti hatinya kali ini.
Peter hanya menatapnya tanpa ada niat untuk menenangkannya. Dia memang menyukai Lucy, tapi bukan berarti dia tidak bisa tegas dengan gadis itu.
Sama halnya dengan Lucky. Ia hanya menatap Lucy. Sebagai kakak yang baik, dia juga harus bersikap tegas pada adiknya.
Kedua lelaki itu membiarkan Lucy menangis. Mereka melipat tangan dan menaruhnya di atas meja. Waktu terus berjalan dan Lucy masih terus menangis. Keadaan kantin mendadak suram. Beberapa petugas kantin yang penasaran hanya mengintip dari tempat mereka.
***
Sekolah telah usai. Seluruh siswa/i berhamburan keluar kelas. Termasuk Peter dan Lucky.
"Jadi, bagaimana?" Tanya Lucky sambil berjalan di samping Peter.
Peter mengerutkan kening dan menoleh pada sahabatnya, "Apanya?" Tanyanya heran.
"Mengenai aku menginap di rumahmu."
"Ooh itu. Tidak boleh." Balas Peter singkat.
"Ha? Tapi kenapa??"
"Aku sedang tidak di rumah. Aku tidur di rumah Kakakku untuk seminggu ini." Jelas Peter.
Mendengar perkataan Peter, Lucky pun berpikir sejenak. Setelah mendapatkan pencerahan di otaknya, ia tersenyum cerah dan menatap Peter.
"Tidak apa. Aku akan memohon pada Kakakmu agar diijinkan tidur denganmu." Ucap Lucky dan dibalas lototan oleh Peter.
Peter menggeleng, "Tidak."
"Ayolah.. aku sangat bosan berada di rumah."
"Tidak."
"Peter, kumohon.."
"Tidak."
"Peter.."
Begitu seterusnya. Mereka berdebat sepanjang jalan. Bahkan di dalam bus pun mereka berdebat.
Dan setelah perdebatan yang panjang, akhirnya perdebatan itu berhasil dimenangkan oleh Lucky. Lagipula Peter tidak tega mengusir sahabatnya sendiri, sedangkan mereka sudah di depan rumah Elish sesaat sebelum perdebatan mereka selesai.
Bisa dibilang, Peter hanya mengalah pada Lucky. Menurutnya, berdebat dengan Lucky hanya membuang waktu dan tenaganya.
***