Chapter 17 - Sadar

Jovan terbaring di atas kasur tidur Elish. Berguling ke kanan dan ke kiri lalu berhenti di tengah.

Kenapa begitu sunyi?

Ia terperangah menatap langit-langit kamar Elish. Setelah beberapa saat memperhatikan langit-langit dan sekeliling kamar gadis itu, ia akhirnya sadar kalau kamar Elish dicat dengan warna merah muda.

"Wow. Ternyata dia benar-benar seorang gadis." Gumamnya terus terang.

Jovan menyadarkan dirinya dan bangkit dari kasur Elish. Ia memutuskan berkeliling di rumah Elish untuk yang kedua kalinya. Sepertinya masih banyak yang belum ia sadari tentang rumah Elish.

Seperti biasa, ia keluar kamar Elish degan cara menembus dindingnya.

Ruang tamu menjadi tujuan pertamanya. Ia berjalan ke sudut ruangan berwarna biru muda dan mulai menyentuh benda-benda yang berada di tempat itu. TV, bingkai foto, meja, sofa, vas bunga, dan semua benda yang ada di sana ia sentuh satu per satu.

Aku bisa menyentuhnya. - Pikir pria itu sambil terus mencoba menyentuh benda apapun yang ia lihat.

Jovan melanjutkan aktivitasnya dan akhirnya ia sampai di dapur yang juga berwarna biru, hanya saja sedikit lebih gelap.

Ia mencoba menyentuh benda di ruangan itu. Lemari, meja, kursi, piring, kompor, dan segala benda di ruangan itu bisa disentuh olehnya.

Ah iya. Kamar Elish belum kuperiksa.

Jovan segera berlari menuju kamar Elish dan menembus dindingnya. Tanpa basa-basi ia langsung menyentuh segala yang ada di kamar itu.

Pandangannya berhenti pada sebuah lemari kayu kecil berwarna coklat.

"Isinya apa ya?" Tanyanya pada diri sendiri.

"Ah. Aku tidak ingin ambil resiko lagi." Ucapnya sambil menjauh dari benda petak itu.

Jovan menghentikan aktivitas sentuh-menyentuhnya dan kembali membaringkan tubuhnya di kasur tidur Elish.

Ia menatap kedua tangan transparannya, "Aku bisa menyentuh segala yang ada di rumah Elish. Tapi kenapa aku tidak bisa menyentuh dosen Elish kemarin? Dan kenapa di caffee kemarin hanya seorang pelayan pria saja yang bisa kusentuh?" Gumamnya sambil mengingat-ingat kejadian yang selama ini ia alami.

"Arrghh! Ini bisa membuatku depresi."

Mata Jovan mencari keberadaan jam dan menemukan sebuah jam digital menempel di dinding kamar Elish.

23.16 p.m

Jovan terperanjat dan terduduk. Matanya membelalak kaget melihat jam itu.

"Elishkemana? Ini sudah sangat larut malam. Pantas saja Peter dan temannya tidak bersuara." Akhirnya Jovan menyadari penyebab kesunyian yang ia rasakan sedari tadi.

Jantung Jovan berdetak tak karuan. Ia sangat mengkhawatirkan Elish. Elish memang sudah mengatakan kalau ia akan pulang larut, tapi bukan berarti aman kalau Elish belum pulang sampai sekarang.

Jovan segera bangkit dan keluar dari kamar Elish. Ia berlari menuju pintu utama rumah Elish. Jovan menembus pintu itu dan berdiri di depannya. Pria itu menatap sekeliling dan berusaha mencari keberadaan Elish.

"Atau kujemput saja ke kampusnya?" Gumamnya, "Ah.. yang ada aku hanya akan tersesat lagi dan malah merepotkannya." Sambungnya.

Jovan mengacak rambutnya frustasi. Matanya berkaca-kaca. Ia terduduk lemas dan bersandar pada pintu rumah Elish.

"Aku akan menunggunya di sini." Putus Jovan.

***

Suara tawa menggema di Stylish Caffee. Di kafe itu tampak seorang gadis dan seorang pria sedang duduk berdampingan sambil sibuk bercanda ria. Sesekali sang gadis memukul lengan sang pria karena tak kuasa menahan sakit di perutnya akibat terlalu banyak tertawa. Dan yang dipukul hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu. Entah apa yang membuat sang gadis terbahak seperti itu.

"Su-dah. Hen-tih-khan. A-khu lelah. Haha..haha.." Elish terengah-engah memohon pada Albert sambil memegang perutnya dan kembali memukul lengan pria itu.

"Haha..haha.. oke, oke. Berhenti memukulku, Elish." Ucap Albert seraya menangkap tangan kiri Elish yang sibuk memukulnya.

Tangan kanan Albert menggenggam tangan kiri Elish. Pria itu menautkan jari-jemari mereka dan menatap dalam mata Elish. Elish sempat kaget dengan perlakuan Albert yang membuat jantungnya berdebar. Gadis itu tidak melawan dan membiarkan tangan mereka bergenggaman.

"Elish.." Panggil Albert.

"Ya?" Sahut Elish.

"..." Albert diam. Ia berpikir sejenak dan kemudian tersenyum dan kembali menatap Elish dalam.

***