Chapter 20 - Rindu

Sophie menatap sendu wajah pucat Jovan yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit dengan alat bantu napas di hidungnya dan selang infus yang melekat di tangannya.

"Jovan.." Lirih Sophie, matanya berkaca-kaca, "Cepatlah bangun. Huuu..huu.." kini tangisnya pecah. Tak mampu menahan rasa rindu terhadap kakak kesayangannya itu.

***

Jovan berdiri di bawah pohon, menunggu Elish yang sedang mengantri untuk sebuah es krim stroberi. Ia menatap malas antrian yang sangat panjang itu. Apa segitu enaknya? Ingin rasanya Jovan menghancurkan antrian itu dan membiarkan Elish mendapatkan es krimnya dengan cepat.

Saat sedang asik-asiknya berkhayal, "Akh!" seru Jovan. Pria itu berlutut, ia tampak memegang dada kirinya, meremas baju biru yang sudah pakai sejak lepas dari tubuhnya. Jantungnya terasa sakit. Tiba-tiba air matanya keluar.

Aku kenapa? Padahal aku sedang tidak ingin menangis. Dan.. jantungku? Apa terjadi sesuatu?

"Tidak boleh. Jangan sampai Elish melihatku begini. Sial!" Rutuknya kemudian berusaha menahan nyeri di dadanya dan bangkit berdiri.

***

"Jovan? Kenapa kau menangis?" Tanya Sophie panik saat melihat air mata Jovan keluar begitu saja. Tidak tahu apa yang harus ia perbuat, gadis kecil itu berusaha menghapus air mata kakaknya. Ia hanya sendirian di kamar ini. Ayah dan ibunya sedang pergi membeli makan siang mereka. Sebenarnya Sophie diajak ikut mereka, namun ia menolak dengan alasan ingin menemani kakaknya di tempat ini.

Sophie bernapas lega setelah air mata Jovan berhenti. Gadis kecil itu duduk di atas kursi yang memang sudah disediakan di sisi kasur perawatan Jovan.

Ceklek!

Pintu terbuka. Tampak sosok Helen dengan sekeranjang buah di tangan kirinya. Sophie menoleh padanya dan memasang wajah kesalnya. Mata Sophie tertuju pada tangan kanan Helen yang digenggam erat oleh Glenn yang berjalan di belakang Helen, mengikuti langkah gadis itu masuk ke kamar perawatan Jovan. Sophie mengernyitkan dahi, lalu sesaat kemudian ia buang muka dan kembali menatap Jovan. Ia meraih tangan kiri Jovan dan memeluknya dengan kedua tangan mungilnya.

Sadar akan situasi, Helen segera melepaskan pautan tangannya dan Glenn perlahan. Diletakkannya keranjang buah yang ia bawa di atas meja yang berada di ruangan itu.

"Sophie sayang, bagaimana keadaan Jovan?" Tanya Helen lembut seraya melangkah mendekat pada Sophie.

"Pergi." Cetus Sophie tanpa menoleh sedikitpun.

"Sophie? Ada apa sayang?" Kini Helen sudah berdiri tepat di samping Sophie.

"Pergi." Cetus Sophie lagi.

"Sophie.." Helen mencoba meraih bahu Sophie, bermaksud untuk merangkul gadis kecil itu.

"KUBILANG PERGI!!" Bentak Sophie. Tubuhnya sedikit gemetar. Matanya kembali berkaca-kaca.

Tangan Helen mengambang di udara. Tidak berani menyentuh adik iparnya itu, Sophie, "Ada apa sa-"

"Sudahlah, Helen. Ayo kita pergi." Suara Glenn terdengar.

Helen menghembuskan napas pelan, "Baiklah. Ayo." ucapnya.

Glenn segera berjalan dan membukakan pintu bagi Helen. "Kami pergi." Helen dan Glenn pamit. Meninggalkan Sophie dan Jovan berdua di ruangan itu.

Sophie gemetar, air matanya mengalir deras di pipinya. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada tangan Jovan, "Hiks! Huu..huu..uu.. Me-hiks!-rhe-ka jahat. Che-pat-lahba-ngun. Huuu...huuu..." ia menangis terisak-isak. Membuat dirinya terpaksa berbicara dengan terbata-bata.

***

Jovan berjalan mengelilingi kursi yang Elish duduki. Gadis itu hanya menatap heran tingkah Jovan tanpa lupa menikmati es krimnya.

Tiga menit. Lima menit. Sepuluh menit. Dan lima belas menit!

Elish tak tahan lagi. Bahkan es krimnya juga sudah habis. Namun Jovan masih sibuk mengelilingi kursi yang ia duduki itu.

"Kau ini sebenarnya kenapa? Kepalaku sakit melihatmu begitu." Ucap gadis itu.

Langkah Jovan terhenti tepat di depan Elish, ia menoleh pada gadis itu, "Ada sesuatu yang aneh tadi." katanya.

Elish mengedipkan matanya tiga kali, menunggu kalimat Jovan selanjutnya sambil tangannya memasukkan cangkir es krim yang sudah ia habiskan ke tempat sampah yang berada di samping kursi tempat ia duduk.

"Jantungku tadi terasa sakit," Jovan terdiam sebentar dan tangannya meraih matanya, "dan air mataku tiba-tiba keluar. Aku tidak tahu kenapa." jelasnya dan kemudian menatap Elish yang kini sudah melongo tak percaya.

"Bagaimana bisa? Apa terjadi sesuatu dengan tubuhmu?" Elish panik, terlihat dari wajahnya yang memucat.

Jovan menghela napas panjang, "Entahlah. Aku juga tidak tahu." Balasnya.

Elish bangkit berdiri, "Ayo pulang." gadis itu meraih tangan Jovan, "Kita harus segera menemukan tubuhmu." ucapnya tegas lalu menarik Jovan pergi.

Deg!

Jantung Jovan berdegup saat melihat perbuatan Elish. Ia menatap tangannya yang saat ini Elish genggam.

Eh? Aku kenapa? - Pikirnya dengan mata yang tak pernah lepas dari genggaman tangan mereka.

Jovan segera menggelengkan kepala menyadarkan diri dan mengikuti langkah Elish yang bisa dibilang sangat cepat. Tak biasanya gadis itu berjalan secepat itu, tapi entah kenapa begitu mendengar aduan Jovan, ia begitu panik dan jadilah seperti ini.

***