Chapter 18 - Larut

23.16 p.m

Demikian waktu yang ditunjukkan jam tangan berwarna kelabu di tangan kiri Glenn. Melihat itu, Glenn mengusap wajahnya frustasi. Ia menarik napas panjang dan menghembusnya kasar. Glenn segera bangkit dari sofa berwarna cream yang ada di kamar perawatan Jovan.

Di ruangan yang bernuansa putih di hampir keseluruhan bagiannya itu tampak sosok Jovan yang tentu masih belum sadarkan diri terbaring lemas di atas tempat tidur.

Di samping tempat tidur itu, Helen duduk sambil menggenggam tangan kanan Jovan dengan mata sendu yang terus menatap wajah pucat Jovan.

"Helen." Suara Glenn terdengar.

Helen menoleh, "Hm?" Sahutnya.

Glenn menarik tangan kiri Helen, "Ayo pulang. Ini sudah terlalu larut." Ucapnya dengan suara berat dan wajah yang murung.

"Kau pergi saja. Aku akan menginap di sini." Ujar Helen yang dibalas dengan tatapan tajam oleh Glenn, tidak lupa dengan genggaman yang semakin menguat.

"Aku lapar." Suara Glenn semakin berat. Pria itu semakin menambah kekuatan genggamannya di tangan Helen yang ukurannya jauh lebih kecil dibanding tangannya.

Helen ketakutan melihat mata Glenn. Tubuhnya sedikit gemetar, "Oke. Baiklah. Ayo kita pulang." Ucap gadis itu.

Melihat sikap Helen yang menurut, Glenn segera melepaskan genggamannya.

"Aku ambil mobil dulu." Ucap pria jangkung itu dan beranjak pergi keluar ruangan itu. Meninggalkan Helen dan Jovan berdua.

Helen meringis kesakitan menatap tangannya yang memanas dan memerah akibat perbuatan sahabatnya dan Jovan itu. Ia menarik napas dan menghembuskannya pelan.

Mata Helen berpaling ke arah wajah Jovan. Gadis itu mendekatkan wajahnya pada wajah Jovan.

"Aku pergi dulu." Bisiknya di telinga Jovan lalu mengecup pipi kiri Jovan. Merasa kurang, ia lalu mengecup lembut bibir pucat Jovan.

***

Mobil Glenn menyusuri jalanan kota yang basah dan sepi akibat hujan yang baru saja berhenti. Atmosfer di dalam mobil itu begitu suram. Tidak ada suara yang terdengar selain alunan lagu Like I'mGonna Lose You yang bersenandung lembut dari pemutar musik mobil Glenn.

Helen menatap keluar jendela. Gadis itu diam seakan tak ingin mengganggu konsentrasi Glenn yang terlihat fokus menyetir.

Tidak butuh banyak waktu, Glenn dan Helen sudah sampai di sebuah kafe, StylishCaffee.

"Uhm, Glenn. Kalau kau memang lapar, sebenarnya banyak rumah makan di sekitar rumah sakit. Kenapa harus memilih tempat sejauh ini? Dan juga, apa kau yakin ini masih buka?" Helen memberanikan diri membuka suara setelah keduanya turun dari mobil dan berdiri di depan pintu kafe itu. Gadis itu menatap sekeliling mereka.

"Sudahlah. Aku lapar." Balas Glenn singkat seraya membuka pintu kaca yang menyebabkan lonceng kecil di atas pintu itu berbunyi yang menjadi pertanda pelanggan masuk ataupun keluar.

Helen hanya menurut dan mengikuti langkah Glenn dari belakang. Dan tanpa gadis itu sangka, Glenn dengan setia menahan pintu terbuka dan menunggu Helen masuk lalu menutupnya. Perbuatan Glenn barusan menimbulkan tanda tanya besar di kepala Helen.

Tidak ingin kembali merusak mood Glenn, Helen segera masuk dan mengucapkan terimakasih pada Glenn.

Glenn kembali memimpin jalan dan mendapati seorang pria dan seorang gadis yang sedang sibuk saling menatap satu sama lain seakan tak sadar akan kehadirannya dan Helen. Mungkin kalau Glenn seorang pencuri, barang-barang di kafe itu sudah lenyap sedari tadi.

Tanpa berpikir panjang, Glenn segera menghampiri kedua makhluk itu, "Permisi." Ucapnya sambil menyentuh bahu kiri sang pria.

Albert dan Elish tersentak saat mendengar suara Glenn. Keduanya langsung melepaskan tangan yang sejak tadi berpautan. Melihat itu, Glenn merasa bersalah dan akhirnya memilih menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Maaf. Sepertinya aku mengganggumu dan kekasihmu. Aku sangat lapar. Tapi, apakah kalian masih buka?" Ujar Glenn secara langsung.

"Ah, masih. Kami tutup sekitar..." Albert melirik jam dinding yang tidak jauh di belakang Glenn, "Jam 12. Ya. Kami tutup jam 12." Sambung Albert berbohong. Sebenarnya mereka sudah tutup jam 22.30 p.m. Hanya saja Albert lupa memutar tulisan open/close untuk kafenya. Kalau saja Albert bukan pemilik kafe itu, kemungkinan besar Albert pasti dipecat oleh bosnya.

"Kau mau makan apa? Aku akan menyiapkannya." Ucap pria yang sedikit lebih tinggi dari Glenn itu. Ia tersenyum canggung.

"Apa saja. Yang penting bisa membuatku merasa kenyang sesegera mungkin." Balas Glenn. Kini matanya menangkap sosok Elish yang duduk diam menatap interaksi keduanya.

"Oke baiklah. Bagaimana dengan spaghetti? Itu adalah makanan yang paling cepat dan mengenyangkan." Tawar Albert.

"Boleh juga." Balasnya sembari kembali menatap Albert.

"Baiklah. Silahkan duduk." Ujar Albert dan dibalas anggukan oleh Glenn.

"Bagaimana dengan minumannya?" Tanya Albert lagi.

"Aku soda saja. Helen?" Glenn melirik Helen yang duduk di hadapannya.

"Aku teh hangat saja." Gadis itu tersenyum hangat pada Albert tanpa berani menatap mata Glenn.

Albert mengangguk mantap tanda mengerti. Ia segera berjalan menuju ruang masak. Sebelumnya pria itu meminta Elish untuk menunggunya selesai dan janji mengantar gadis itu pulang.

***

Sesuai janji, Albert mengantar Elish sampai ke rumah dengan selamat. Kini keduanya berdiri di depan pagar rumah Elish.

"Apa kau yakin tidak ingin mampir?" Tanya Elish memastikan.

"Iya, Elish. Lagipula sangat tidak nyaman saat tetanggamu melihat seorang pria menjadi tamumu di larut malam begini." Jelas Albert.

"Yah, kau ada benarnya juga. Hehe."

"Beristirahatlah." Ucap Albert dengan senyuman lembut yang merekah dan tangan kanan yang sibuk mengelus puncak kepala Elish lembut. Elish hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman yang tak kalah hangat.

"Aku pergi dulu."

"Berhati-hatilah."

"E-hm."

Selesai sudah percakapan Albert dan Elish malam ini. Elish menatap punggung Albert yang semakin lama semakin menjauh dari pandangangannya hingga akhirnya sosok pria itu tidak tampak lagi seakan ditelan oleh kegelapan.

Elish segera memasuki pagar dan berjalan menuju pintu utama rumahnya.

"ASTAGA!" Elish tersentak kaget melihat sosok Jovan yang tertidur pulas sambil bersandar di pintu rumahnya. Jika saja Elish tidak segera menyeimbangkan tubuhnya, ia pasti sudah tersungkur di tanah saat ini.

Elish segera berjongkok di hadapan Jovan yang matanya masih tertutup. Kedua tangan gadis itu terulur ke depan dan langsung menyentuh kedua pipi Jovan lalu menggoyangkan kepala pria itu pelan guna menyadarkannya.

"Jovan~" Bisik Elish.

"Jovan~ bangun."

Hah? Suara Elish?

Aku mendengarnya!

Suara Elish!

Elish sudah pulang!

Jovan bersorak di dalam hati dan segera membuka matanya.

"Akhirnya kau bangun juga." Ucap Elish lega setelah melihat Jovan membuka matanya perlahan.

***