Aina Septa Erlangga
Seorang gadis tersenyum ceria di dalam cermin rias. Lihat tanpa kacamata sebenarnya ia cukup cantik tapi ia mendesah ketika melihat ke arah bawah, dada dan pantat.
Demi tuhan usianya baru 17 tahun, tapi kenapa mempunyai ukuran Bra 36b dan ukuran celana jeans, 29. Padahal ia punya tinggi 168cm dan berat badan hanya 54kg.
Nama gadis yang punya kepercayaan diri minim itu adalah Aina Septa. Sehari-hari ia memakai pakaian kebesaran untuk menyembunyikan bentuk dada dan pantatnya yang ekstra. Karena dua aset berharganya yang kelewat ukuran. Ia sering disangka tante -tante, menyebalkan. Aina memakai bedak tabur dan liptin, cukuplah bekal untuknya berangkat sekolah. Rambutnya yang panjang ia naikkan lalu di ikat dengan sebuah kuciran sederhana, tak lupa kaca mata bening yang selalu dirinya kenakan untuk menutupi matanya yang hanya minus setengah.
Aina memakai seragam sekolah, kemeja yang agak longgar dan rok panjang, menutupi kakinya yang lumayan jenjang. Tak lupa ia mengenakan jaket denim serta menenteng tas ransel merah yang penuh dengan buku.
"Ai,cepet turun! Dika udah nungguin," teriak sang mamah yang tak kunjung melihat putri sulungnya muncul.
"Iya, sebentar mamah," teriaknya yang masih setengah jalan menuruni tangga.
Mahardika Pratama, sahabat sekaligus tetangga yang sedari kecil bermain dengan Aina. Berangkat-pulang, Aina selalu bersama dengan Dika namun kalau ada yang tanya apakah mereka pernah punya perasaan lebih dari sekedar teman? Jawabnya iya dan pihak perempuan pasti lebih baper duluan. Aina tak menampik kalau waktu SMP pernah naksir Dika, tapi sayang Dika tak membalas cintanya ia memilih Mitha, temen Aina yang cantik, langsing dan putih. Yah walau untuk mendapatkan Mitha, Dika harus berselisih paham dengan Ronald, sahabat Aina yang lain.
"Mah Aina berangkat dulu." Aina mengecup pipi dan mencium tangan sang mamah setelah terlebih dulu berpamitan. Seperti biasa Aina sarapan di jalan.
"TUNGGU!! ini bekal buat sarapan kamu sama Dika!!" Ambar, mamah Aina memberi kotak bekal bergambar Donald bebek bewarna hijau yang berisi Sandwich telur, daun selada, tomat dan saus mayonaise.
Aina dengan semangat keluar rumah dan langsung menghampiri mobil Dika yang sudah terparkir di depan.
"Hari ini giliran gue yang nyetir kan nih sarapan buat loe!!" Dika membuka kotak makan yang Aina bawa lalu tersenyum senang. Ada makanan kesukaannya.
"Ini loe yang nyiapin sarapan buat gue?" Dika berharap semoga di jawab iya.
"Ya enggaklah, mamah yang nyiapin. Kalau gue pasti loe sekarang udah lari ke kamar mandi." Yah Dika harus mendesah kecewa. Ia berharap gadis itu yang membuatnya tapi Dika tetap makan Sandwich dengan lahap. Kapan sih Aina peka bahwa Dika menyukainya? Bukan salah Aina juga kalau gadis itu tidak merasakan apa-apa. Dirinya dulu sempat menyukai Mitha yang cantik sampai tak melihat Aina yang lebih segala-galanya dari pada Mitha.
Tapi kira-kira jika Dika menyatakan cinta, Aina akan menerimanya atau tidak ya?
"Sandwichnya jangan di habisin, sisain buat gue!"
"Iya.. iya...."
Tak berapa lama setelah menempuh perjalanan hampir 15 menit menggunakan mobil. Mereka sampai di SMA Rajawali Citra, tempat mereka menuntut ilmu. Salah satu SMA yang populer di Jakarta, karena kebanyakan anak yang sekolah di sini adalah anak-anak dari kalangan bergelimang harta. Bukan berarti Aina dan Dika termasuk golongan kaya, mereka dari keluarga lumayan berada yang ingin sekolah di sini karena kualitas gurunya yang baik dan ada kesempatan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri.
"Dik, mobil baru loe kelihatan butut deh di parkiran ini." Aina meringis melihat mobil merk Nissan hitam Dika berdampingan dengan mobil Ferari merah di parkiran. Ada juga mobil Porche, Audi, Hummer, BMW, Lamborghini, dan si mewah-mewah lainnya.
"Besok kita naik ojek aja gimana? Gak perlu parkir, gue minder."
"Jangan minder, loe kan ke sekolah juga pake mobil gak pake sepeda. Kalau loe gak pakai mobil, terus gue nebeng siapa?" Aina menggandeng tangan Dika untuk menuju kelas mereka, Dika di kelas IPA 2 sedang Aina di sebelahnya yaitu IPA 1. Selama perjalanan mereka ke kelas, Dika tak lelah menebar senyum. Andai kata cinta terucap apakah bisa tangan ini akan tetap terjalin atau Aina akan menjauh.
"Ai, loe udah kerjain PR belum?" tanya Angel ,teman sebangku Aina padahal dia belum meletakkan pantatnya di atas kursi.
" Udah nih, loe mau nyontek kan?" Aina menyodorkan buku tugasnya. "Loe pulang jam berapa kemarin, pasti latihan sampai malam?" Angel adalah salah satu anggota Cheers leader. Sahabatnya itu senang sekali latihan membentuk gerakan baru sampai larut malam.
"Tahu aja loe". Angelica Michael Spencer, gadis cantik, imut, baik hati. Walau orang tuanya adalah seorang dokter bedah jantung yang sangat terkenal, ia tak sombong. Sahabat yang dimiliki Aina setelah Dika. Angel termasuk anak populer, dia salah satu anggota Cheers. Tim pemandu sorak yang mengenakan rok mini dan hampir 2 tahun Aina ini sebangku dengannya.
Saat Aina menyenderkan kepala ke jendela menikmati sisa-sisa waktu menunggu bel masuk berbunyi. Ia melihat pemandangan yang indah, yang tentu saja menyegarkan mata.
Seorang laki-laki bermata hitam setajam elang, berpostur tinggi, berhidung mancung. Laki-laki itu berjalan sepanjang koridor bukan hanya Aina saja yang menikmati wajah sempurna itu tapi anak perempuan yang lain juga. Ada yang diam-diam mengintip atau terang-terangan menyapa. Masa SMA adalah masa paling indah ketika kita naksir seseorang.
Siapa yang tak kenal dengan Jefran Antony Smith. Si ketua tim basket, si sempurna yang tak bisa Aina miliki karena dia milik satu sekolahan ini alias idola semua murid perempuan. Seperti slogan stasiun TV swasta, Jefran itu satu untuk semua. Aina hanya sanggup memuja tanpa bisa memiliki. Gila saja dia kalau bisa jadi pacar Jefran yang seleranya sekelas Selena Gomez.
Jefran adalah murid dari kelas IPS 1. Ayahnya merupakan salah satu penyumbang dana terbesar sekolah. Tahu kan kenapa dia menjadi siswa most wanted di sekolah Aina? Karena udah kaya, cakep sama berkuasa. Sekali tunjuk pun para gadis akan dengan senang hati mendekat.
" Woy, nglamun aja loe," bentakan Angel membuyarkan mata Aina yang sedang melihat si tampan Jefran. Ia sampai terperanjat ke belakang, tangannya yang menopang dagu jatuh terkena sudut meja.
"Auw." Aina melihat sebal ke arah Angel, lalu mengusap-usap sikunya yang sakit.
"Astaga, kalau dilihatin aja gak bakal ngena di hati". Aina mencelos, sehari melihat Jefran 1x saja sudah keberuntungan baginya. Pemuda tampan itu seperti tablet vitamin C 500mg, memberinya semangat untuk sehari menjalani pelajaran yang berhubungan dengan angka dan perhitungan.
Anak IPA bukan jurusan perdagangan, kenapa bersahabat karib sekali dengan angka.
Oh matematika, fisika, kimia. Siapa yang menemukan kalian dulu. Aina berterima kasih karena berkat mereka mata Aina jadi minus 1/2.
"Kalau gue deketin langsung, gue bisa digantung cewek se-sekolahan, dia itu kayak piala sekolahan, gak bisa jadi milik pribadi, milik umum cuma dipajang di lemari, dilihatin kalau beruntung bisa pegang sebentar". Mendekati Jefran berarti siap-siap saja dicincang para fansnya. Bayangkan dari hampir 300 murid perempuan, siapa yang tak suka Jefran? Hampir semua ngefans, hampir semua menjerit saat ia melakukan slamdunk bahkan mungkin laki-laki rela belok jika bisa mendapatkannya namun hampir semua perempuan cantik di sekolah jadi pacarnya, kalau beruntung bisa bertahan seminggu ada yang dua minggu ada juga yang hanya 3 hari.
"Gini aja deh, loe ikut gue latihan cheers sepulang sekolah nanti, anak basket kan juga latihan." Mata Aina langsung berbinar cerah mendengar tawaran Angel. Melihat Jefran dengan badan penuh keringat, seksi sekali pasti. Lalu menyodorkan sebotol air penambah ion dengan handuk kering. Sayang, khayalan Aina harus lenyap, tatkala ingat para gadis cheersleader yang akan melemparinya dengan pom-pom.
"Bener gue boleh nemenin loe latihan, soalnya temen-temen loe kan gak suka gue."
"Kalau mereka loe jangan pikirin."
"Kalau gituh gue samperin Dika dulu buat minta ijin."
Sepeninggal Aina, Angel berpikir keras kenapa harus minta ijin Dika, emang Dika siapa? Bapaknya juga bukan, pacarnya juga enggak tapi kenapa ijin Dika seolah-olah penting banget buat Aina. Kalau cuma numpang mobil, Angel juga bisa.
"Dik, sorry gue nanti pulang bareng Angel, gue nemenin dia latihan Cheers. Boleh ya, boleh kan?" Aina mode merengek seperti ini tak imut sama sekali, malah Dika jadi jengkel. Ikut latihan Cheers supaya bisa lihat laki-laki tampan se-sekolahan. Oh.. yang benar saja, apa melihat Dika saja tak cukup.
"Enggak, kita tetep pulang bareng. Aku juga ada rapat OSIS. Tunggu aku pulang." Aina menunduk, raganya langsung lemas mendengar jawaban Dika, tapi tak apalah dari pada tidak dapat ijin.
Terus terang Dika sulit mempercayakan Aina kepada Angel. Yah tahu sendiri Angel itu anak populer, niatnya mendekati Aina apa? Kita tak tahu. Dika hanya mencoba menjaga Aina, ia memang agak overproktetif.
Dia tahu pergaulan anak-anak populer dan kaya itu bagaimana. Mereka suka ke Club, berpakaian kurang pantas, Rokok dan alkohol menjadi kebiasaan Mereka. Seks bebas, balapan liar, taruhan, seperti sebuah tabiat yang sulit untuk dihilangkan.
Dika tak mau jika Aina jadi salah satu dari mereka. Bukankah jika kita mencintai seseorang, kita akan mati- matian menjaganya agar terhindar dari hal buruk.
🍓🍓🍓🍓🍓🐦🐦🐦🐦🍀