"Kamu ada waktu? Bisa kita bicara, sebagai teman lama barang kali?" pinta Kalvin.
Lagi-lagi Siska hanya menganggukkan kepalanya tanpa berani menatap wajah dan terutama mata Kalvin. Ia tak memiliki kepercayaan diri menatap Kalvin yang baik karena rasa tidak sukanya terhadap Melody dahulu kala.
Tapi mau tidak mau ia akhirnya harus angkat bicara memberikan kepastian akan permintaan Kalvin. Perjumpaan dengan Kalvin kali ini seolah-olah membangkitkan semangat baru untuk dirinya, ia juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi tetapi semoga saja ini bukanlah sesuatu yang salah.
"Setengah jam lagi saya tunggu di kantin rumah sakit ya Kak." Tanpa menunggu jawaban dari Kalvin, Siska segera berlalu dari hadapan pemuda tampan itu. Ia sampai tidak menanyakan untuk apa pria itu berada di rumah sakit daerah yang pastinya sangat jauh dari tempat tinggal pemuda tersebut.
Kevlan yang baru saja keluar dari toilet, seketika mengerutkan dahinya mencoba mengingat-ingat sosok gadis yang mendorong troli makanan. Tersebut. Ia seperti pernah melihat paras gadis itu di sebuah foto, tetapi ia lupa di rumah siapa. Ia pun mengurungkan niatnya untuk menyapa karena hal itu dan kemudian ia mendekati sang pemuda yang masih berdiri terpaku ke arah punggung sang gadis tadi.
Kevlan menepuk bahu sang putra dengan lembut dan bertanya, "Kamu kenal gadis itu?"
Kalvin mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari sosok Siska sampai gadis itu menghilang di persimpangan koridor. "Siska Andini putri dari Handoro Djatmiko," jawab Kalvin.
"Oh ... pantes tadi kok Papa rasa pernah lihat wajah dia di mana. Seperti foto yang ada di meja kerja Han," ujar Kevlan.
"Ya udah yuk ... kita ketemu Melody dulu. Dia pasti senang ketemu Papa," kata Kalvin seraya memeluk bahu sang ayah dan mereka berjalan beriringan menuju kamar Melody.
Kalvin membuka daun pintu sedikit dan tersenyum saat mendapati Melody sedang duduk di sofa bercanda dengan sang bunda Luna. Kalvin semakin mendorong daun pintu dan melangkah masuk diikuti oleh Kevlan.
"Hai ..." sapanya riang.
Kevlan tersenyum hangat menatap anak gadisnya, yang hanya menatap wajahnya sekilas dan kemudian mengarahkan pandangan matanya ke pintu seolah menunggu orang lain. Kevlan sedikit kecewa tetapi juga segera ditepisnya. Ia tidak ingin tampak sedih di depan anak gadisnya.
"Cari siapa?" tanya Tinah yang memperhatikan gerak gerik Melody sedari tadi.
"Bapak kok nggak ada Kak Kalvin?" Melody menatap Kalvin lekat-lekat.
"Oh iya Bapak bilang tadi baru masakin sop kepala ikan buat kamu. Katanya kamu suka banget sama masakan Bapak," jawab Kalvin.
Melody mengangguk dengan mantab, wajahnya semakin berbinar ceria.
Luna mengusap punggung tangan Melody untuk menarik perhatian gadis itu yang kemudian berpaling menatap ke arahnya, "Nak, itu Papa. Kamu nggak ingin peluk Papa?" Pertanyaan dari Luna membuat Melody yang sedari tadi merasa sungkan menatap Kevlan saat ini memberanikan diri menatap pria paruh baya tersebut. Ada desiran lembut penuh kehangatan memenuhi relung hatinya saat ini. Ia merasa benar-benar pulang ke rumah saat ini. Dunianya tak lagi terasa kecil tetapi lapang dan semakin bersinar.
Detak jantungnya berpacu dengan kencang bersamaan dengan pipinya yang merona malu-malu, ia melirik ke arah Adyatama dan kekasihnya itu menganggukkan kepalanya.
Kevlan masih berdiri di tempatnya dan merentangkan kedua tangannya menyambut gadis kecilnya dalam pelukan. Keduanya saling melepaskan kerinduan, memang benar sejauh apapun kau terpisahkan darah tetap lebih kental dari pada air.
Badan Melody bergetar di dalam rengkuhan pelukan Kevlan, bergetar sarat kerinduan bukan karena rasa cemas apalagi takut. Tidak sama sekali ia tidak merasakan itu. Mungkin hati kecilnya tahu pria yang saat ini ia panggil papa, tidak akan melukai dirinya. Ia sungguh merasakan ketenangan, segala prasangka buruk dan menarik diri perlahan pergi dari dirinya.
"Melody boleh pulang tidak?" tanyanya lirih.
Kevlan merenggangkan pelukan dan menangkup kedua sisi wajah sang putri, "Kapanpun anak gadis Papa siap, kita akan pulang," ujar Kevlan dengan kesungguhan.
"Jauh dari sini ya Pa?" pinta Melody dengan nada manjanya.
Hati Kevlan membuncah serasa penuh dengan kepak sayap kupu-kupu memenuhi dadanya. Bahagia tak terperi ia rasakan, sang putri pertama kalinya meminta sesuatu darinya. Kedua manik mata Kevlan berkaca-kaca, seraya mengangguk dengan mantab ia berkata, "Tentu Nak, sejauh yang kamu mau."
Semua orang yang berada di dalam ruangan itu merasakan cinta kasih di antara keduanya. Kemudian Melody menoleh ke arah sang bunda. "Tapi Ibu sama Bapak tetap ikut Lody ya? Jangan tinggalkan Lody ya?!" rengek Melody seperti anak kecil yang seketika melepaskan diri dari pelukan sang ayah dan memeluk Tinah, wanita yang selama ini telah merawat dan mendidiknya.
Melody bersimpuh di depan Tinah yang tetap duduk tak bergeming di sofa berdampingan dengan Luna dan Almira. Melody meletakkan kepalanya di pangkuan sang bunda dengan kedua tangannya memeluk pinggang.
Tinah membelai surai panjang Melody dengan penuh rasa sayang, bagaimanapun rasa cintanya kepada Melody tidak bisa tergantikan oleh apapun. Di dalam hati kecilnya Melody tetaplah anak semata wayangnya.
"Kalau Papa dan Mama Lody ijinkan pasti Ibu dan Bapak akan ikut dengan Melody," kata Tinah.
Melody mengangkat kepalanya dengan alisnya menyatu di tengah, "Loh kok gitu? Ibu sama Bapak tetap orangtua Lody, Bu. Tidak akan ada yang berubah, surga Lody tetap di bawah kaki ibu," rajuk Melody seraya tangannya memijat ringan betis sang bunda.
Tinah tersenyum sayang kepada anaknya itu, begitulah Melody jika merajuk selalu menempel dan memijat-mijat betis sang bunda dan biasanya sampai sang gadis itu terlelap dengan kepalanya bersandar di pangkuan. Tidak ada gunanya untuk berdebat dengan Melody karena gadis itu akan selalu menang. Tinah melirik Luna yang tersenyum bimbang melihat kedekatan Melody dan dirinya. Ia tahu Lina pasti juga sangat merindukan gadisnya ini.
Tinah kemudian mengusap kedua lengan atas Melody, "Lody dengar Ibu, surga Melody tidak lagi satu tetapi tiga," terang Tinah.
"Hah! Kok Tiga?" Melody semakin mengerutkan dahinya lucu.
"Ada Ibu, Mama dan Bunda Mimi," terang Tinah dengan penuh kesabaran seolah Melody kembali menjelma menjadi seorang balita. Kadang kala sikap kekanakan Melody membuat dirinya rindu dan ingin gadis itu kembali kecil serta tidak mengalami kepiluan hidup seperti yang terjadi saat ini.
Luna mengulurkan tangannya dengan senyuman sedikit merajuk. Dan mimik wajah Luna sangat mirip dengan Melody jika berlaku demikian, setidaknya begitu dalam pandangan Tinah.
Melody kemudian bangkit dan mendudukkan dirinya di antara kedua wanita itu dan memeluk bahu keduanya merapat ke tubuhnya. Ia juga memalingkan wajahnya melirik ke arah Almira.
"Emm ... Bunda, peluk Lodynya nanti ya?"
Almira mengulum senyumnya, wanita cantik itu membalas ucapan Melody dengan sayang, "Iya Nak, nanti juga kamu bisa puas peluk Bunda."
"Iya, sebentar lagi juga kamu bisa puas peluk Mas juga," timpal Adyatama dengan seringai jahil ke arah Melody.
Melody sendiri hanya memutar kedua bola matanya dengan malas, sang bunda Almira menepuk paha anaknya yang duduk di atas lengan sofa di sebelah Almira. Tak lupa juga Adyatama mendapatkan tatapan tajam dari Kevlan dan Kelvin.