Raut wajah Melody tampak kembali merana, menarik napas dalam-dalam dan ia hembuskan perlahan. Paras tampan Adyatama menari-nari dalam benaknya.
Ya Tuhan, jangan biarkan diriku membuat pria yang kucintai menjadi kecewa, karena kehendakMU ia ada dalam hidupku. Kuatkan hatimu agar menjadi lapang seperti hatinya. Aku mencintainya karenaMU.
"Melody apa yang kamu lakukan di sini Sayang? Kamu sakit?" sapa Adyatama yang berdiri di puncak tangga dan bergegas menghampirinya. Raut kekhawatiran tampak sangat jelas di wajah tampannya.
Adyatama menangkup kedua sisi wajah Melody dan menatap dengan teliti wajah gadis tersebut dan kembali bertanya, "Kamu sakit Sayang? Mas panggilkan dokter ya?"
Melody menggeleng seraya mengusap kedua lengan atas Adyatama. "Enggak Mas, Lody sehat kok. Jangan khawatir."
"Gimana Mas nggak cemas. Wajah kamu pucat begitu, nih lihat," ujar Adyatama dengan menunjukkan telapak tangannya yang basah dengan peluh Melody.
"Keringatmu dingin lho Sayang. Kamu makan di kamar aja kalau gitu."
Melody menggeleng dan berkata, "Nggak Mas, Melody mau makan bareng Mas Tama. Boleh?"
Kata-kata lembut Melody dan senyum tulus gadis itu sedikit mengikis ke khawatiran Adyatama. Walaupun sesungguhnya di dalam hatinya masih terbesit rasa mengganjal. Ia merasa sang kekasih masih menyimpan beban yang masih enggan dibagi dengannya.
Adyatama kemudian menggandeng Melody dan mengajaknya ke ruang makan. Senyum Adyatama semakin merekah tatkala mendapati sang bunda dan dua wanita paruh baya lainnya saling menata meja makan, siapa lagi kalau bukan, Tinah, Almira dan Luna.
Adyatama menoleh kepada Melody. "Lihat Sayang, mereka terlihat indah bukan? Inilah impianku sedari dulu. Kita bisa duduk bersama dalam satu meja, memberikan kebahagiaan kepada orangtua kita."
Mata Melody sudah berkaca-kaca, ia ikut terharu menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Tetapi kemudian matanya menyipit saat tidak menemui keberadaan Kevlan dan Sardi.
"Papa sama Bapak mana?" tanya Melody seraya mengedarkan pandangannya.
"Ke rumah Pamanmu, Nak," jawab Tinah.
"Mereka nggak ikut makan malam bersama?" tanya Melody yang kemudian duduk di kursi yang sudah di tarik oleh Adyatama. Luna tersenyum senang menyaksikan hal tersebut.
"Si Dia, mengamuk tadi jadi Papa ke sana membawa dokter bersama Bapakmu." Kali ini Luna yang menjawab. Ia dengan sengaja mengganti nama Yoga dengan sebutan 'dia' karena lidahnya saja ikut terasa kelu dan anti menyebut pria tak bermoral itu.
"Oh ..." Hanya kata itu saja yang terlontar dari mulut Melody, ia sungguh ingin menepis nama lelaki Jahan** itu dari benaknya untuk malam ini saja. Sungguh Melody tidak ingin pemikirannya merusak kebersamaan yang terjalin malam ini. Walaupun para ayah tidak ada bersama mereka saat ini.
"Hai semua," sapa Siska dan Kalvin hampir bersamaan yang dibalas oleh kelima orang lainnya.
Melody menatap Siska dalam diam. Siska sudah tampak lebih baik, walaupun ruam merah di kantung matanya belum hilang sepenuhnya. Paling tidak parasnya sudah tidak pucat seperti tadi.
❤️
Suara dering ponsel Yoga memecah keheningan ruang tamu rumah Jinah. Yoga yang sedari tadi hanya menunduk dan menolak untuk makan serta minum, dengan reflek menegakkan kepalanya menatap nanar pada sang bunda.
"Bu, angkat telponnya," pinta Yoga. Tangan dan tubuhnya yang terikat pada tiang tak bisa membuatnya untuk berkutik sama sekali.
Juleha segera menerima panggilan tersebut. "Dari Erwin," ujarnya memberi tahu pada Yoga.
"Keraskan spikernya Bu," pinta Yoga dengan nada suara tidak sabarnya.
"Halo Yoga, kecurigaanmu memang benar. Saat ini memang kamu sudah mandul dalam artian tidak subur lagi. Karena ternyata wanita itu pernah melahirkan anakmu."
Yoga tertawa histeris hingga menarik perhatian Greg dan juga Davka dari luar rumah. Sedangkan Juleha dengan tangannya yang bergetar dan raut keterkejutannya menatap tak percaya kepada sang putra dengan apa yang ia dengar barusan.
"Kamu tahu di mana anakku?" tanya Yoga kembali.
"Aku belum temukan anak tersebut. Panti asuhan yang aku datangi tadi mengatakan tidak ada data tentang seorang bayi yang dititipkan enam tahun yang lalu. Anak di sini usianya lebih besar dan lebih kecil dari itu." Erwin kemudian menutup teleponnya setelah berpamitan.
"Jelaskan pada Bapak, Yoga! Apa maksud semua ini?!" Bentakan suara Harsa keras terdengar, sampai-sampai Davka dan Greg menyusul ke dalam.
"Dulu Yoga juga pernah memaksakan kepada seorang gadis, sampai gadis itu diusir dari rumah oleh keluarganya karena hamil anak Yoga," kata Yoga dengan santai. Tidak ada raut ketakutan di sorot matanya tepat menantang, manik mata sang ayah yang memandang tajam ke arahnya.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Dan kamu juga tidak mau bertanggung jawab dengan wanita itu?!" ujar Harsa dengan ketus.
"Dia tidak sudi Yoga nikahi Bapak!" seru Yoga yang terpancing emosinya. Bagaimana tidak, karena ucapan sang ayah mengingatkan dirinya akan perkataan wanita itu.
"Aku tidak sudi kamu nikahi. Aku sampai kapanpun akan hanya menikah dengan Tama. Kau dengar Yoga dengan Tama, tidak ada pria yang lain," ujar Melody kala itu.
Bagaimana mungkin perasaan Yoga tidak hancur bukan? Ia yang sudah mulai menyadari perbuatannya dan ingin mempertanggungjawabkannya tetapi ternyata wanita itu menolaknya karena seorang Adyatama Alsaki. Anak laki-laki ingusan yang baru beranjak dewasa.
Yoga sangat mengingat saat itu, Siska mati-matian tidak ingin ia bertanggungjawab dan akan membawa janin yang ia kandung saat itu ke luar negeri. Namun Yoga dengan nekatnya mengurung Siska di sebuah rumah kontrakannya sampai Siska hamil besar dan kemudian mengembalikan gadis itu ke keluarganya. Yoga berharap keluarga gadis itu akan menikahkan mereka, tetapi yang terjadi adalah keluarga Siska mengusirnya dan mengurung Siska. Siska sama sekali dilarang untuk bertemu dengan Yoga.
Juleha berlutut di samping Yoga dan mengusap bahu anaknya yang sudah basah oleh keringat yang menempel bahu dan kulit tersebut. "Nak tolong kali ini saja, jujur pada Ibu ya? Benarkah Gadis itu tidak mau kamu nikahi?" tanya Juleha dengan lembut.
Yoga semakin meradang karena merasa sang bunda tidak mempercayainya. Saat sekarang saja dirinya sudah merasa sangat buruk, sudah seperti narapidana yang menunggu eksekusi saja. Kali ini juga dia menyadari jika dirinya pasti sedang dimanfaatkan banyak orang.
"Benar Ibu, Yoga tuh nggak bohong. Gara-gara anak borjuis itu," tunjuk Yoga dengan menggunakan dagunya ke arah Adyatama dan Kalvin yang saat ini baru saja bergabung dengan mereka.
"Siska dulu sebenarnya aku manfaatkan untuk menjauhkan Melody dari Tama. Tetapi gadis itu malah suka dengan Tama. Aku cinta dulu sana Melody, dan bodohnya lagi Kalvin teman baikku itu suka dengan Siska. Aku sudah berkali-kali bilang padanya untuk menjauhi Siska. Mana ada gadis baik-baik rela hati aku perkosa, hahaha." Yoga kembali bicara tidak beraturan.