Siska baru menyadari jika Kalvin masih mengenakan pakaian yang sama dengan saat malam kemarin pria itu pergi bersama dengan Adyatama.
"Oh ya, soal Yoga. Kamu tidak perlu khawatir lagi. Aku sudah pastikan dia tidak akan bisa mengganggumu lagi." Kalvin lantas membuka pintu kamar Siska dan berlalu.
Siska mendesah lega, Kalvin pria itu entah terbuat dari apa hatinya dengan sangat mudahnya menerima dirinya dengan masa lalu yang sungguh penuh aib dan dosa.
Bu Siti pemilik panti asuhan mengedarkan pandangannya di ruangan makan. Riuh rendah suara anak-anak yang mengobrol sembari makan siang memperlihatkan keceriaan mereka.
Bu Siti tersenyum simpul mendapati anak yang ia cari sudah menyelesaikan makannya dana sedang menumpuk piring bekas makannya di meja yang sudah disediakan.
"Virgo ..." panggil bu Siti seraya melambaikan tangannya.
Virgo menoleh dan berjalan mendekati bu Siti setelah mencuci dan mengeringkan tangannya, ia mengambil sapu tangannya dan mengelap sekitar mulutnya juga. Emma yang selalu menjadi bayangan Virgo terus saja mengekor di belakangnya.
"Ya Bu," ujar Virgo begitu berada di depan bu Siti.
Bu Siti mensejajarkan tinggi badannya dan mengusap bahu bocah laki-laki kurus tersebut dengan lembut. "Kemasi barangmu, sebentar lagi Mama Siska akan datang jemput Virgo," ujarnya.
Raut wajah Virgo berbinar semakin ceria dengan antusias dirinya segera berlalu dari depan bu Siti menuju kamarnya.
Emma yang ditinggalkan begitu saja segera berlari menyusul Virgo. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menagih janji bocah laki-laki yang sudah ia anggap saudara kandungnya itu begitu saja.
Di ambang pintu kamar Emma melihat begitu antusiasnya Virgo dibantu oleh Arti salah satu volunteer di panti asuhan ini mengemasi barangnya yang tidak seberapa.
Emma tidak sabar menunggu lebih lama lagi akhirnya berjalan mendekati Virgo dan duduk di tepi ranjang milik temannya yang lain dan menyandarkan tubuhnya pad tiang ranjang bertingkat tersebut.
"Kak ingat akan janjimu ya, jangan tinggalkan aku jika Mama sudah punya duit berwarna merah," ujar Emma lirih dengan raut wajah sendu dan penuh harap kepada Virgo yang kali ini sedang menutup tas ranselnya.
Arti tersenyum maklum akan kedekatan kedua anak tersebut dan dengan rasa sayangnya ia mengusap puncak kepala Emma.
"Emma boleh tanya Mama Siska nggak Kak?" tanya Emma seraya menatap Arti.
"Bertanya soal apa Emma?" tanya Arti lembut.
"Emma mau tanya sama Mama Siska mau bawa Emma juga nggak gitu. Soalnya Emma bukan anaknya," ujarnya polos.
Sebelum Arti menjawab, Virgo sudah lebih dulu meraih kedua bahu Emma dan berkata, "Kamu diem aja, nanti Kakak yang tanya. Kakak harus lihat dompet Mama dulu ada duit warna merah apa nggak."
"Memang ada apa dengan duit warna merah?" tanya Arti yang penasaran.
"Ya kalau Mama nggak punya duit warna merah yang banyak berarti nggak bisa beli banyak makanan buat Mama dan Virgo, untuk Emma juga. Kasian nanti Mama capek kerjanya lebih lama lagi buat kumpulin duit itu," terang Virgo.
Virgo teringat dulu dengan perkataan sang bunda saat mereka berdua menghabiskan satu cup ice cream di taman.
"Virgo sabar ya nanti jika dompet Mama duitnya sudah ada yang berwarna merah dan banyak, Mama akan jemput Virgo dan kita akan tinggal bersama," ujar Siska seraya menunjukkan isi dompetnya.
Virgo melirik isi dompet sang bunda yang memang hanya berisi pecahan uang yang lebih kecil bahkan tidak lebih dari sepuluh lembar.
Siska yang sudah rapi dan siap menjemput sang putra setelah makan siang bersama, saat ini duduk di ruang tamu bersama dengan kedua orang tua Kalvin dan Kalvin sendiri yang duduk bersisian dengannya.
Kevlan membuka suaranya dan bertanya kepada Siska, "Siska, saya tahu ada sesuatu yang belum selesai antara dirimu dan Kalvin. Juga urusanmu dengan keluarga kandungmu. Jadi jika kamu memang mau berlanjut dengan Kalvin sebaiknya jemput anakmu segera."
Siska menatap kedua pasangan paruh baya di depannya dengan terpana. Ia tidak menyangka mereka yang notabene bukan siapa-siapa dengan tangan terbuka bisa menerima dirinya dan sang putra? Siska tentu saja terharu dan sekaligus merasa miris jika mengingat keluarganya sendiri. Sejak ia meninggalkan rumah dan sampai detik ini tak sekalipun ia mengetahui salah satu dari mereka mencarinya.
Siska bukannya tidak mengetahui bagaimana keadaan keluarga intinya. Mereka sepertinya memang sudah benar-benar melupakan keberadaannya. Kegiatan rutin di rumah megah tidak pernah berubah sampai detik ini. Seolah ia memang tidak pernah dilahirkan.
"Terima kasih atas kepercayaannya Tuan," jawab Siska lirih.
"Buat kami adalah apa yang menjadi kebahagiaan anak-anak kami Siska. Tentu kamu paham bukan?" tanya Luna seraya menatap dengan lembut ke arah anak sulung mereka.
Siska mengangguk dan saling bertatapan dengan Kalvin yang tersenyum lembut ke arahnya.
"Kedua orangtuaku tahu benar apa yang menjadi keinginanku termasuk juga bagaimana perasaanku terhadapmu sejak dulu," terang Kalvin.
Siska menatapnya dengan wajah sendu penuh penyesalan. Andai, ya andaikan saja waktu bisa diputar kembali. Ia akan dengan senang hati melawan kebengisan Yoga dan jatuh dalam pelukan Kalvin yang saat itu belum ia cintai. Tetapi rasa cinta bisa datang dengan terbiasa bukan?
"Andai aku bisa memutar waktu," ujarnya dengan penuh sesal.
Kalvin menggeleng dan meremas kedua tangan Siska yang terjalin di atas pangkuannya.
"Tidak Siska, bukan begitu. Jangan meratapi takdir. Aku bahagia kembali bertemu denganmu. Dan mendapati jika kamu sudah memiliki anak, anggap saja aku sangat beruntung," jawab Kalvin dengan meringis kepadanya.
Ya Tuhan, benar-benar terbuat dari apa hati pria ini. Sungguh baik hatinya.
"Saya tahu kamu tentu belum menaruh rasa terhadap Kalvin. Dan saya juga tidak ingin anak saya mengemis cinta kepadamu. Kamu paham bukan? Saya masih memberikan kesempatan untukmu mundur," ujar Kevlan. Tentu Kevlan tidak ingin memaksakan anak orang untuk menjadi bagian dari keluarganya. Toh banyak wanita yang antri untuk menjadi kekasih putranya yang memang baik hati dan tidak pernah aneh-aneh. Sayang sekali di mata Kalvin hanya ada wanita yang ada di depannya saat ini. Dan Kevlan tentu tidak akan menghakimi suratan takdir seseorang. Kita semua adalah umat berdosa karena kesempurnaan sejati hanya milik Sang Pemberi Kehidupan.
Suasana sangat hening menunggu jawaban Siska. Siska yang awalnya menunduk kemudian memberanikan diri menatap Kevlan dan mengangguk.
"Apa maksud anggukanmu?" tanya Kevlan dengan sedikit mencondongkan tubuhnya, terlihat sekali bahwa dirinya tidak sabar dan penasaran dengan jawaban Siska
"Saya bersedia bersanding dengan Kak Vin," jawabnya dengan penuh kesungguhan.
"AKHIRNYA!" seru ketujuh kepala yang menanti jawabannya tersebut.
Tiga kepala yang duduk bersamanya dan empat kepala lainnya yang menyembul dari ambang pintu penghubung dan akhirnya bergabung bersama dengan mereka. Suasana yang hening tiba-tiba berubah dengan gelak tawa kebahagiaan.
"Bersiaplah dan jemput anakmu," kata Luna.
"Saya sudah siap, dan terima kasih sekali lagi," timpal Siska, yang dibalas pelukan hangat dan usapan lembut di puncak kepalanya oleh Luna.
Emma menatap punggung Virgo yang berlalu, gadis kecil itu bangkit dan berlari menuju kamarnya. Ia menunduk dan mengambil tas di kolong ranjang. Tas kain berlogo swalayan berwarna merah terang itu, Emma membentangkan di atas ranjangnya dan mengusapnya agar tidak kusut.
"Emma yakin Kak Virgo nggak akan bohong. Mama Siska juga pasti mau bawa Emma, Emma baik nggak pernah nakal juga," kata gadis itu kepada dirinya sendiri.
Dengan penuh keyakinan Emma mengemasi barang pribadinya yang tidak seberapa, secukupnya ke dalam tas itu dan menyandarkan tas kemasannya kembali di kolong ranjang. Dirinya sangat yakin jika ibunda Virgo pasti sudah memiliki banyak uang.
"Emma yakin Mama punya banyak uang sekarang. Doa Emma pasti sudah Tuhan jawab. Sekarang tinggal Mama jemput Kakak sama Emma," gumam gadis itu lagi seraya menatap gerbang panti yang masih tertutup rapat.