Chereads / Wait for me to come back! / Chapter 44 - Kehendak

Chapter 44 - Kehendak

Sedangkan di kediaman keluarga Perkasa, mereka bertujuh masih berkumpul bersama. Kali ini giliran Adyatama dan juga Melody. Melody yang sedari tadi tampak lengket dengan ibu dan bapaknya membuat hati Luna sedikit sedih tetapi ia tetap berusaha tabah, bagaimanapun mereka adalah orangtua yang sudah membesarkan anaknya sedari bayi merah.

"Melody bisa duduk di sini sebentar, ajak Bapak sama Ibu sekalian," pinta Kevlan.

Kevlan menaruh curiga dengan Melody, pasalnya anak bungsunya itu seperti menjaga jarak dengan Adyatama dan itu tentu saja menimbulkan kekhawatiran jika sang putri masih menutup diri dari sosok pria. Tetapi Melody bergelayut manja dengan bapaknya jadi Kevlan memutuskan secepatnya mencari tahu kemauan si buah hati.

Melody menghentikan candaannya dengan sang ayah dan menggandeng keduanya bergabung dengan yang lain. Sapri dan Tinah berjalan dengan canggung, tetapi Melody menggandeng keduanya dengan erat dan membimbing keduanya untuk duduk bersisian dengannya.

"Ya Pa?" tanya Melody gugup.

Kevlan merasa Melody masih sedikit kaku untuk berinteraksi dengannya berbeda sekali dengan saat memeluknya di rumah sakit.

"Begini Nak, Papa mau kamu dan Adyatama segera menikah. Bagaimana jika kalian menikah dalam waktu yang bersamaan dengan Kakakmu?" usul Kevlan.

Deg ...

Melody masih teringat dengan pemikirannya kemarin siang dan tersamar dirinya mengelus perutnya yang rata. Hal itu tidak luput dari pandangan Kevlan. Kevlan seolah-olah tahu jika sang putri takut hamil anak Yoga, pastinya.

"Jangan khawatir Nak. Kamu tidak akan mengandung anak Yoga. Yoga itu mandul sekarang," tukas Kevlan. Luna dan yang lainnya ikut menganggukkan kepala mengiyakan.

Melody yang semula duduk tegak dengan kedua bahunya yang terangkat kemudian mendengkus dan menyandarkan punggungnya di sofa. Tampak sekali kelegaan meliputi dirinya.

"Melody, kalau ada apa-apa tolong bilang dengan Mama dan Ibu juga Bunda. Jangan disimpan sendiri Nak, biar tidak ada salah paham lagi," ujar Luna.

"Jadi bagaimana mau 'kan?" tanya Davka kali ini.

Melody menatap bapak dan ibunya, setelah mendapatkan persetujuan dari keduanya lalu dirinya mengangguk.

"Tapi kalau Lody masih takut-takut. Mas Tama jangan marah ya?" pinta Melody.

"Mas, mana pernah marah dengan Melody. Kita nanti juga tidak akan tinggal di sini setelah menikah," ujar Adyatama.

"Kita mau ke mana Mas?"

"Kita ke kampung Bunda. Suasana baru pasti akan sangat baik untukmu. Supaya pemulihan batinmu juga lebih baik."

Merekapun segera merencanakan perihal pernikahan Adyatama dan Melody terlebih dahulu. Nanti setelah kembalinya Kalvin dan Siska, mereka baru akan menemui orangtua gadis itu. Apa pun nantinya keputusan yang akan diambil oleh keluarga Siska yang terpenting keluarga Perkasa sudah memberitahukan.

Melody masuk ke dalam kamar ibunya yang tidak tertutup rapat. "Bu, kok berkemas-kemas?"

"Ibu sama Bapak mau kembali ke kota," jawab Tinah tanpa menghentikan kegiatannya.

Melody yang duduk di ranjang orangtuanya menatap lekat punggung wanita yang sudah membesarkan dirinya itu dengan rasa sedih, ia sangat takut jika terpisah dengan mereka.

"Ibu, Lody ikut ya? Nanti Lody bilang sama Ayah Davka."

Tinah yang pandangannya telah berkabut karena airmata yang siap tertumpah, menarik nafasnya dalam-dalam dan berkata, "Lody di sini aja dulu, Mama sama Papa masih kangen sama Lody."

Melody tiba-tiba bangun dan memeluk ibunya dari belakang dan merengek persis seperti anak kecil, "Nggak mau Bu, Lody mau ikut dengan Ibu. Lody nggak mau pisah sama Ibu. Ibu sama Bapak udah janji dulu 'kan, kalau Lody nikah sama Mas Tama tetap mau ikut dengan Lody? Mas Tama juga nggak larang kok."

Tinah mengusap punggung tangan Melody yang melingkari bawah dadanya dengan lembut.

"Anak Ibu Sayang, justru karena itu sekarang Lody sama Mama dan Papa dulu. Nanti kalau udah nikah baru deh tinggal sama Bapak, Ibu."

Luna yang tanpa sengaja mendengar percakapan kedua wanita berbeda generasi itu hanya bisa menahan isakannya dengan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Luna berusaha meredam tangisnya dan berusaha semakin bersabar juga berbesar hati. Bagaimana pun lebih dari dua puluh tahun yang dikenal oleh sang putri adalah wanita yang sedang berada di dalam kamar sana bukan dirinya.

Masih memerlukan banyak usaha pendekatan dan waktu agar sang putri benar-benar bisa membuka hati untuk dirinya dan suami.

"Tante kenapa menangis?" tegur Adyatama.

"Kok manggilnya masih Tante? Panggilnya Mama dong," protes Luna.

Adyatama meringis seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Seraya berdeham ia bertanya, "Iya, Ma. Kenapa menangis?"

"Itu Melody nggak mau pisah sama Ibunya," adu Luna seraya menjauhi pintu kamar dan duduk di sofa yang tidak jauh dari sana bersama dengan Adyatama yang menemani.

"Mama yang sabar ya. Melody selama ini tahunya dia anak tunggal dan memang Bi Tinah dan Kang Sapri sangat menyayangi dia, orangtuanya malah nggak pernah Tama lihat sekalipun pernah marah dengan Melody. Namun Tama yakin kok, Lody pasti akan bisa menerima Mama dan Papa. Begitu juga Tama yakin Melody akan bisa menerima Tama kembali seperti dulu."

Kesungguhan dalam nada suara dan raut wajah pria muda di depan matanya ini sungguh menyentuh hati Luna. Luna menjadi ikut merasakan yakin jika suatu hari nanti juga sang putri akan bisa menerima dirinya, walaupun rasa bersalah karena dulu memisahkan diri dengan sang putri sampai detik ini masih bercokol di hatinya.

Kembali ke panti asuhan. "Mama Siska," sapa Emma lirih begitu Siska dengan menggandeng Virgo melindas di dasar tangga.

Siska mendongak pada gadis kecil tersebut dan mengulurkan sebelah tangannya yang bebas.

"Sini yuk," ajak Siska.

Emma segera berdiri dan menghampiri Siska. Ada binar harapan tersirat di wajah gadis kecil itu, dengan langkah tegap ia dengan patuh mengikuti langkah Siska.

Setelah perbincangan dengan ibu Siti. Mereka akhirnya bersepakat untuk mengadopsi Emma, tetapi karena Siska akan melangsungkan pernikahan dengan Kalvin jadi untuk sementara waktu Emma tetap berada di panti asuhan.

Siska mengusap bahu mungil gadis kecil yang sebentar lagi akan menjadi putrinya tersebut.

"Sabar ya Nak. Emma tunggu Mama di sini, setelah urusan Mama selesai. Kami akan jemput Emma," bujuk Siska.

Emma mengangguk patuh walaupun ada sedikit kekecewaan di hati. Pasalnya ia sudah ikut berkemas-kemas seperti Virgo.

Emma mendekap tas merah berlogo swalayan itu dengan airmata berderai. Tak bisa dipungkiri dalam hati gadis kecil itu tertoreh sedikit kekecewaan. Berbagai pertanyaan juga berkecamuk di kepala kecilnya. Dirinya bukan tidak tahu siapa orangtua kandungnya. Kedua orangtuanya saat ini mendekam di dalam tahanan karena kasus pencurian kendaraan.

"Emma kenapa menangis?" tanya Tari.

"Emma mau ikut Mama Siska," katanya seraya terisak.

"Kenapa kamu nggak tunggu orangtua kandungmu aja datang?"

Emma menggeleng dengan keras. "Nggak mau, Emma mau jadi anak Mama Siska," kukuh Emma.

Tari yang berusia lima belas tahun lalu memeluk gadis kecil itu. "Sabar ya, nanti Mama Siska pasti datang jemput Emma. Sekarang kita tata lagi baju Emma yuk," bujuknya.

Tari membantu Emma merapikan kembali pakaiannya dan kembali menyimpan tas merah itu di kolong ranjang. Tari yang tadinya sedang menyapu halaman merasa iba melihat keadaan Emma yang berjalan gontai dengan kepala menunduk sedih ke dalam kamarnya. Kamar yang berbentuk seperti ruang kelas dengan sepuluh ranjang susun dengan lemari laci di setiap sisinya, persis seperti barak asrama.

Tari dan Emma keluar dari kamar dan bertemu dengan Siska yang ternyata masih berada di sana. Kedua anak itu tampak kaget terutama Tari, ia merasa tidak enak hati karena tadi sempat menawarkan kepada Emma untuk menunggu orangtua kandungnya saja. Tari jelas takut Siska akan tersinggung.

Siska yang awalnya ingin segera pergi dari sana kemudian mengurungkan niat dan tergerak hatinya untuk melihat Emma sekali lagi. Terlebih ia terpaku pada ambang pintu dan sudah mendengar semuanya. Percakapan Emma dengan Tari membuat perasaannya menjadi tidak menentu. Ia sangat paham bagaimana rasanya tersingkirkan oleh keluarga kandungnya.

Siska mengulurkan kedua tangannya dengan sedikit membungkukkan badan hendak meraih tubuh mungil Emma. Emma dengan senang hati melepas gandengan tangan Tari dan menyambut pelukan Siska.

"Emma nggak nakal kok, pasti nurut sama Mama. Jadi tolong jangan tinggalkan Emma di sini," ujar Emma dalam pelukan Siska. Emma berkata demikian saat melihat ibu Siti tampak menyusul di belakang Siska. Ia pun mengeratkan pelukan di leher Siska, benar-benar takut untuk ditinggalkan.

Siska berbalik badan dan menatap bu Siti. "Bu, say bawa Emma sekarang saja ya. Rasanya saya nggak tenang tinggalin dia," pinta Siska.

"Kalau kamu merasa nggak repot silahkan saja. Apalagi Emma memang dekat dengan Virgo, sudah seperti saudara kandung. Kalau begitu ibu siapkan dokumennya dulu." Setelah berkata demikian bu Siti segera kembali ke dalam kantornya.

"Tari, Mama minta tolong bisa kemasi barang Emma tadi, Nak?" pinta Siska.

"Bisa Ma, sekarang Tari siapkan."

Siska tersenyum dan mengusap puncak kepala Tari. "Makasih ya Kak."

Siska pun berlalu dari sana untuk segera mengurus surat-surat Emma. Kalvin yang sedari tadi juga berada di sana dan mendekati Tari.

"Tari,"

"Ya Pak?"

Kalvin mengulum senyum. "Jika nanti Tari dan Kakak-kakak sudah selesai sekolah bisa hubungi saya di nomor ini. Kalian bisa bekerja di kantor saya," ujarnya seraya mengulurkan beberapa lembar kartu nama.

"Makasih Pak. Kakak-Kakak pasti senang," ujar Tari yang kemudian meraih tangan kanan Kalvin dan menciumnya.

Kalvin merasa sangat tersentuh dan sungguh terharu. Sedari tadi ia menyaksikan bagaimana anak-anak panti sangat mandiri dan saling bahu membahu meringankan beban ibu panti dan para pengasuh. Tidak ada salahnya memberikan mereka karier agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik Terlebih lagi banyak anak-anak yang sudah dewasa dan hidup mandiri masih mau membantu para adiknya yang berada di sini.

"Pak Kalvin kok ada di sini?" tegur seorang pria muda bernama Ivan.

"Lho, kamu juga kenapa bisa di sini?" Kalvin balik bertanya.

"Em, ini adalah tempat saya tinggal dulu Pak," ujar Ivan seraya menundukkan kepalanya sungkan.

"Lalu apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Kalvin lagi.

"Saya biasa ke sini Pak, setelah gajian berbagi sedikit uang jajan untuk adik-adik."

Kalvin tersenyum lebar, ia senang sekali memiliki anak buah yang sungguh memiliki hati yang sungguh peduli dan pemurah. Terlebih Ivan ini terkenal jujur dan bertanggungjawab, cekatan juga dalam bekerja. Tidak sia-sia dia menjadi manager HRD di pabrik gula milik keluarga Perkasa.

"Saya tadi juga baru bertemu dengan Tari dan memberikan kartu nama untuk dibagikan pada kakak-kakaknya yang mungkin mau bekerja di perusahaan kita dan kamu sebagai manager HRD tolong tangani hal ini ya. Kamu lebih tahu potensi adik-adikmu di sini dan bisa ditempatkan di bagian apa kira-kira entah di pabrik gula atau pabrik garmen. Nanti saya yang akan hubungi pak Bayu. Mungkin juga saya akan menemui beberapa panti asuhan yang lainnya. Kita bisa memberikan mereka lapangan pekerjaan supaya memudahkan mereka meniti masa depan dan melanjutkan sekolah di jenjang yang lebih baik sepertimu, contohnya." Setelah mendapatkan balasan 'amin' dari Tari daan Ivan, Kalvin segera berlalu dari sana dan membawa tas merah milik Emma.

"Lho, Pak. Itu tas siapa?" tanya Ivan penasaran.

kalvin yang baru berjalan beberapa langkah kemudian menghentikan langkahnya dan berbaik menatap Ivan. "Oh, ini tasnya Emma. Saya dan calon istri sedang menjemput anak kami," jawab Kalvin seraya tersenyum dan kemudian berlalu tanpa menunggu jawaban dari Ivan.

Sepeninggal Kalvin, Ivan menoleh ke arah Tari dan bertanya, "Memangnya siapa calon istri Pak Kalvin, Tari?"

"Mama Siska."

Ivan tercengang dengan jawaban Tari. Siska adalah gadis yang ia tolong dahulu kala. Tampak lemah dengan raut wajah pucat serta mengenaskan. Ivan jadi teringat dengan saat itu.