Kalvin menjadi geram dibuatnya, ia tahu pasti biarpun Siska itu gadis periang dan sedikit centik dahulunya, tetapi dirinya bukan jenis wanita gampangan yang mau dengan mudah jatuh dalam pelukan lelaki. Lihat saja saat ini saja, dirinya masih diliputi oleh trauma jadi bagi Kalvin rasanya tidak mungkin jika Siska pernah menjadi wanita yang seperti itu.
"Siska tidak mungkin bisa dengan mudah kamu manfaatkan seperti itu. Kamu pasti mengancamnya."
Yoga menatap tajam kepada Kalvin kali ini dan dengan matanya yang memerah ia berkata, "Kau tahu kalvin temanku. Siska hamil anakku dan dia sudah melahirkan. Wanita itu tega membuang anakku yang entah di mana saat ini dia berada. Kau dengar itu, Kalvin. Wanita pujaanmu itu, Ibu yang bejat dan tidak bermoral. Masih kamu ragukan kalau dia wanita gampangan dan aku yang mengancam dia?"
Kalvin terpanjing emosinya dan dengan wajah yang tak kalah garangnya ia berkata, "Tutup mulutmu Yoga! Jangan berkata tentang kebejatan dan moral jika kamu sendiri tidak lebih baik. Tidak perlu mencari kambing hitam. Seandainya dia memang memiliki anak darimu, di mana tanggung jawabmu? hah! Dia pasti berjuang sendiri saat itu. Jangan juga menjadi orang yang suka putar balik fakta. Dia sudah sangat trauma karena perbuatanmu."
"Aku mencarinya Kalvin! Aku mencarinya, tapi mereka sembunyi dariku!" sungut Yoga berapi-api.
"Kau pasti akan berakhir di penjara dan sangat lama mendekam di sana," ujar Kalvin dengan penuh kebencian pada mantan sahabatnya tersebut.
"Tapi kau tidak perlu khawatir seandainya Siska memang sudah memiliki anak. Kamu juga tidak perlu membuat drama tidak perlu seolah kamu memang menginginkan anak dari Siska. Siska tidak menginginkanmu dan aku yang akan bertanggung jawab dengan anak itu dan juga ibunya," tambah Kalvin.
Yoga menggeleng dengan keras. "Tidak ... tidak ... tidak, jangan main-main denganku Kalvin. Itu darah dagingku! Kau dengar, darah dagingku. Kau tidak berhak atas dia," tukas Yoga.
"Jika aku menikah dengan ibunya, tentu saja anak itu menjadi anakku," jawab Kalvin dengan dingin. Kali ini Yoga sudah tidak berkata apa-apa karena kedua orangtuanya juga lebih memilih bungkam daripada membantunya.
"Kau pikir anakmu akan senang dengan mengetahui fakta bahwa ayahnya adalah seorang pemerkosa? Sekali lagi aku ingatkan, kamu pikir Siska akan menerima dirimu dengan sukarela?! Jangan mimpi!" ujar Kalvin. Pria muda itu pun mendekat ke arah Yoga seraya berjongkok di depannya.
"Dengarkan aku baik-baik Yoga, bisa saja kamu memang sudah merasakan raga Siska tetapi hati dan jiwanya bukan milikmu. Begitu juga dengan adikku Melody yang sudah kamu nodai," ucap Kalvin dengan dingin.
Juleha dan Harsa tak bisa berkata-kata, lidah mereka terasa kelu. Malu bukan kepalang, mereka tidak menyangka jika putra mereka bisa se-bejat ini. Putra satu-satunya. Tetapi mengetahui jika mereka memiliki cucu dari Yoga sedikit mengobati hati mereka yang terluka.
"Maaf Nak Kalvin, jika Ibu boleh bertanya?" kata Juleha.
"Silahkan Bu," jawab Kalvin lembut, yang kali ini sudah mendudukkan dirinya di kursi ruang tamu bersama dengan yang lain.
"Nak Kalvin tahu tentang keberadaan anaknya Yoga?" tanya Juleha dengan berhati-hati.
"Saya belum tahu Bu, tapi saya pasti akan mencari tahu semuanya setelah semua biang masalah ini terpecahkan. Siska juga masih perlu terapi agar kejiwaannya tidak terpukul. Saya tidak mau ambil resiko jika dirinya sampai kabur lagi," ujar Kalvin.
Juleha menatap kalvin dengan sendu dan berkata, "Tolong cari cucu Ibu ya Nak? Bolehkan Ibu mengenalnya?"
"Tentu Bu, Ibu dan Bapak bisa bertemu dengannya nanti saat Siska sudah berkumpul dengan anaknya kembali. Saya pribadi tidak melarang tetapi keputusan terakhir tentu harus menunggu persetujuan Siska. Dia berpisah dengan anaknya pasti ada sebabnya. Tidak ada satupun seorang ibu yang ingin berpisah dengan anaknya bukan?"
*
Hendi Cahyadi bergerak gusar, kedua tangannya menyapu segala apa yang ada di atas meja ruang kerjanya tersebut. Bahkan laptopnya juga tak kalah mengenaskan terguling menumpuk di atas karpet tebal yang persis berada di bawah kakinya bersama dengan semua dokumen. Napasnya memburu dan kegusaran tampak jelas di wajahnya.
"Brengsek! Bagaimana bisa Greg Alsaki bisa berada di sana? Dasar Yoga sialan! Harusnya aku sudah bunuh anak itu!" ujar Hendi penuh dengan kemarahan.
"Arrrhhh ... kacau ini. Nyawaku bisa hilang saat ini juga," kata-kata itu terlontar hanya untuk dirinya sendiri.
Namun Hendi tidak menyadari jika sedari tadi dirinya tidak sedang sendirian, karena di sudut tirai tersembunyi ada seseorang yang saat ini memang sudah sangat ingin menghabisi nyawanya. Seorang yang tidak ingin berurusan dengan keluarga Alsaki dan Berto tentu saja.
"Bagus kalau kamu sudah menyadari di mana letak kesalahanmu," ujar suara tegas itu, sosok gagah yang muncul dari balik tirai.
Hendi melotot menatap sosok itu, akhirnya saatnya akan tiba untuk dirinya. Hanya saja dirinya tidak akan menyangka jika akan secepat ini. "Apa mau mu?"
"Kau tahu apa mauku, jika kamu tidak berhasil maka kamu harus segera kembali kepada penciptamu."
Hendi kemudian berlutut di depan orang tersebut dengan kedua telapak tangan yang saling menyatu di depan dadanya dirinya memohon, "Berikan aku satu kesempatan lagi. Kamu ingin aku membunuh dua orang bukan?"
"Ya, dan mana hasilnya? Kau sama sekali tidak berhasil. Sekarang terima takdirmu." Sosok itu segera mengeluarkan pistolnya yang sudah dilengkapi dengan peredam dan sesaat kemudian peluru sudah bersarang di dahi dan jantung Hendi.
Sosok itu seketika saja menghilang dari sana, seperti saat kedatangannya yang tidak diketahui seluruh penghuni rumah begitu juga dengan kepergiannya seperti saat ini.
Juliet memasuki kediaman ayahnya dengan perasaan campur aduk. Namun ia merasa bahagia bisa bertemu dengan para teman borju-nya dan sekarang begitu ia memasuki rumah ini terasa berbeda. Tampak sepi dan sunyi padahal jelas para pelayan ayahnya sibuk bekerja dan berlalu lalang, tetapi perasaan tidak nyaman merambat memasuki benaknya.
"Di mana Papa?" tanyanya pada salah satu pelayan.
"Ada di ruang kerjanya dari tadi pagi, Nona," jawab pelayan itu.
Juliet tidak menanggapi tetapi langsung melesat menuju ruang kerja sang ayah. Juliet memutar engsel pintu yang rupanya terkunci dari dalam. Juliet kemudian mencari kunci cadangan yang berada disalah satu lagi di meja pajang dekat pintu ruang kerja tersebut. Juliet kembali mencoba membukanya dan seketika aroma amis darah menguar menerpa hidung mancungnya.
Juliet menyesuaikan diri dengan ruang kerja ayahnya yang gelap gulita. Ia mengerutkan dahinya, penasaran apa yang dilakukan sang ayah dalam ruangan tertutup seperti ini. Bahkan tirai jendela yang berlapis-lapis itu tampak tertutup rapat.
Ahh!!
Saat ia akan berjalan ke arah jendela guna membuka tirainya, ia terpekik kaget karena terjerembab sesuatu. Kedua telapak tangannya bertumpu pada karpet tebal yang seketika basah dan terasa lengket. Juliet meraba-raba dalam gelap merasakan seseorang terbaring di sana. Ia kemudian merasakan menyentuh balok kayu dan pecahan kaca yang kembali membuatnya terpekik karena tergores karenanya. Ia kemudian bangkit berdiri dan meraba dalam kegelapan guna menyalakan lampunya. Seketika tubuhnya luruh di lantai menatap nanar pada tubuh sang ayah yang sudah terbujur kaku tersebut tidak hanya luka tembak yang ayahnya dapatkan. Namun tubuh tambun ayahnya itu sudah membentur meja rendah di samping sofa dan membuatnya hancur berantakan.
Jeritannya mengundang seluruh pegawai berbondong-bondong menuju ruang kerja yang pintunya saat ini sudah terbuka lebar. Pantas saja seluruh penghuni rumah tidak menyadari dengan apa yang menimpa Hendi karena ruang kerja pria itu kedap suara.