Ponsel jadul Siska berdering saat ia akan bersiap pergi bersama dengan Kalvin.
Siska mengeryitkan dahinya saat mendapati nama ibu Siti tertera di layar.
"Ya Bu?" tanya Siska dengan debaran di dadanya. Tiba-tiba ia merasa was-was jika saja terjadi sesuatu dengan putra terkasih.
"Mama," sapa suara yang paling dirindukan. Siska sampai memejamkan mata meresapi suara belahan jiwanya tersebut.
"Ya Nak," jawab Siska dengan suara tercekat.
"Mama sudah punya banyak duit ya Ma? Merah-merah kan Ma, warnanya?" tanya suara polos itu.
Siska tersenyum mengingat janjinya dulu kepada sang putra. "Iya Sayang."
"Virgo boleh meminta sesuatu nggak Ma?" Siska sengaja menghidupkan pengeras suara agar semua orang mendengarkan pembicaraan dengan putranya tersebut.
Orang-orang berkumpul dengan pemikiran mereka sendiri dan rasa penasaran yang tinggi. Mereka berharap putra Siska tidak membenci sang bunda dan mau kembali bersama.
"Virgo sudah janji sama Emma. Emma mau jadi adik Virgo. Mama bisa nggak bawa Emma juga? Cukup nggak duit Mama buat bawa dua anak?" tanya Virgo dengan polosnya.
Siska tercekat, ia merasa sangat iba dengan gadis kecil yang sangat dekat dengan putranya tersebut, bahkan saat dirinya mengunjungi sang putra gadis kecil itu tak pernah beranjak dari sisi Virgo dan menjadi sangat dekat dengannya juga.
"Mama ...." ucapan Siska terhenti dan saling bertatapan dengan semua orang yang memandangnya seraya mengangguk mengiyakan begitu juga dengan Kalvin yang sedang menggenggam sebelah tangannya saat ini.
Siska mendengkus, gugup dia menatap semua orang yang bersama dirinya saat ini. Ia berandai-andai jika saja dirinya masih sendiri dan banyak uang akan dengan mudah membawa serta Emma bersamanya. Namun keadaan saat ini bagaimana? Apakah keluarga Perkasa akan menyetujuinya sedangkan dirinya dan Kalvin belum resmi menikah.
"Kalau Ibu panti mengijinkan ambil saja Emma bersama dengan kalian. Bilang saya Papa sedang mengurus untuk pernikahan kalian," ujar Kevlan.
Siska bernapas lega walaupun agak sedikit ada ganjalan di hatinya apakah ibu panti akan memberikan ijin nantinya.
"Tapi setahu saya bukannya minimal usia orangtua adalah tiga puluh tahun?" ujar Siska.
"Itu kan kalau kamu orangtua tunggal. Sedangkan sebentar lagi kalian sudah menikah terlebih sudah ada satu anak aku rasa bisa," timpal Davka.
"Sudahlah, setahu Mama nih. Umur pasangan menikah itu kan dua puluh lima tahun. Kalian sudah lebih dari itu. Kalian beri pengertian kepada Emma dulu agar menunggu di panti menunggu sampai selesai proses adopsi dan proses pernikahan kalian bagaimana?" saran Luna menengahi.
"Aku rasa bisa kok si Emma kalian rawat dulu, bukankah syaratnya selama enam bulan tinggal bersama dengan orangtua asuh? Terlebih Bu panti sudah kenal denganmu," ujar Melody.
"Ya sudah kalian berangkat saja dulu. Bicarakan dengan Ibu panti ya." Kevlan menghela anaknya dan Siska untuk segera berangkat.
Setelah kepergian Kalvin dan Siska, Luna mendekati sang suami. "Pa, bukannya Papa kenal dengan orang dinas sosial? Siapa tahu bisa bantu?"
Kevlan akhirnya teringat dengan seseorang dan akhirnya berkata, "Ah iya, aku akan bicara dengannya." Tanpa membuang waktu Kevlan sudah berkutat dengan dinas terkait perihal pengangkatan anak asuh.
Emma melihat kedatangan sebuah mobil mewah dari lantai dua dan segera ingin mencari Virgo. Namun langkahnya terhenti.
"Kak, jangan lupakan Emma!" seru Emma yang duduk di puncak tangga, menatap kepada Virgo.
Virgo dan Emma mengerutkan alisnya melihat siapa gerangan orang yang bersama Siska, yang berjalan bersisian dengan pria tampan yang belum pernah dilihat Virgo maupun Emma.
Virgo hanya menoleh sekilas kepada Emma yang tampak duduk dengan gelisah di sana. Virgo kembali memusatkan perhatian kepada pria tampan dan sang bunda.
"Mama ..." Virgo berhambur memeluk sang bunda dan mendapatkan usapan lembut di puncak kepalanya oleh Kalvin.
Virgo tanpa melepaskan pelukan mendongak dan menatap secara bergantian sang bunda dan pria asing tersebut.
"Bunda, Om ini siapa?" tanya Virgo dengan segan.
"Om namanya Kalvin dan calon Papa Virgo nantinya." Kalvin tidak membuang waktu untuk menjawab secara terang-terangan toh dirinya tak ingin menunda lagi.
"Papa Virgo," cicit Virgo polos. Kemudian anak lelaki itu melirik mobil mewah yang dibawa oleh Kalvin.
"Em, Papa Virgo yang punya mobil bagus banget itu atau sopir?" tanya Virgo dengan polosnya.
"Virgo nggak boleh tanya begitu," tegur Siska dengan wajah merona menahan malu.
Kalvin tersenyum maklum pada bocah tampan di depannya ini. Untung saja bocah lelaki ini sangat mirip dengan Siska, soal sikap tentu dengan didikan serta lingkungan yang baik. Bocah ini akan menjadi orang hebat di kemudian hari.
"Punya Papa dong," jawab Kalvin.
Mata Virgo membulat sampai-sampai bibirnya membentuk huruf 'O'. "Oh wow, jadi papanya Virgo duitnya sekoper? Kayak yang di sinetron itu?" tanya Virgo dengan takjub.
"Berkoper-koper malah," jawab Kalvin. Yah memang benar uang yang dihasilkannya tidak akan begitu saja mudah habis sampai lima turunan paling tidak belum lagi dengan harta warisan yang ditinggalkan oleh mendiang kakek dari kedua belah pihak orangtuanya dan juga sang ayah nantinya.
"Boleh ajak Emma tinggal nggak? Siapa tahu kalau papanya Virgo rumahnya luas, jadi masih ada kamar kosong untuk Emma. Boleh ya?" pinta Virgo dengan kepolosannya.
"Emma kasihan, dulu Emma dibuang waktu masih bayi di bawah pohon dekat tikungan jalan sana. Sekarang Emma mau jadi adiknya Virgo," tambah Virgo lagi.
"Nanti Mama sama Papa bicara dulu dengan Ibu Siti ya Nak," bujuk Siska.
Siska dan Kalvin kini duduk bersanding di kantor ibu Siti. Siska tampak tegang, bukan cemas karena tidak bisa membawa Virgo tetapi Emma. bagaimana pun gadis kecil itu bukan darah dagingnya sehingga banyak prosedur standar yang harus ia penuhi dulu.
"Kamu yakin akan mengambil Emma sekalian? Maksud Ibu bukan perihal finansial tapi lebih kesanggupan mentalmu untuk mengurus dua anak karena seperti yang kita ketahui selama ini Virgo yang merupakan anak kandungmu saja tinggal bersama dengan kami."
"Yakin Bu."
"Ada saya sekarang yang bersamanya."
Ibu Siti pantas menatap Kalvin dengan raut wajah serius. "Nak Kalvin tahu tentang masa lalu Siska? Ibu sejujurnya kaget tadi melihat kalian bersama ke sini. Ibu pikir, Siska bekerja di keluargamu."
Kalvin menggeleng. "Tidak. Siska ini calon istri saya dan saya tahu apa yang sudah terjadi dengannya di masa lalu."
"Syukurlah kalau begitu. Untuk urusan Emma, biarkan dia di sini satu Minggu lagi. Nanti Ibu sendiri yang akan antar ke rumah kalian. Kami harus melakukan survei terlebih dahulu. Apakah kalian akan tinggal di rumah utama?"
"Sebetulnya tidak. Saya sudah memiliki rumah sendiri yang memang akan saya tempati bersama dengan istri nantinya. Saya bisa berikan nanti alamatnya kepada Ibu."
"Oh baguslah kalau begitu. Kalau begitu silahkan tanda tangan dokumen ini. Virgo sudah sangat antusias sekali," kata ibu Siti seraya menyodorkan dokumen yang terbuka.
Siska menyelesaikan semuanya dengan didampingi oleh Kalvin, mereka pun berpisah dengan Emma untuk sementara waktu walau sejujurnya Siska merasa berat melepaskan gadis yang terlihat sedih dan menangis. Ibu Siti tampak membujuk gadis itu dengan menjanjikan akan mengantarkan nanti seminggu lagi.
"Kak, benarkah kita tidak akan tinggal di keluarga Perkasa?"
"Tidak. Aku sudah punya sendiri. Kamu jangan khawatir, Yoga tidak akan bisa menyentuh kalian," bisik Kalvin.
Siska menatap lekat-lekat pria tampan di sampingnya itu. Ia ingin bertanya tentang apa yang terjadi pada Yoga tetapi rasanya juga ia tidak siap dengan jawaban nantinya.
"Rumahku juga tidak kalah besar dari rumah Papa. Aku punya lapangan tenis di belakang rumah ada juga kolam renang. Sisi barat rumah nanti aku akan buat tempat bermain untuk anak-anak. Virgo dan Emma tidak perlu pergi ke taman komplek untuk bermain jadi kamu akan terang."
"Bagaimana dengan keluargaku."
"Kita hadapi bersama."