Beberapa tahun yang lalu, Ivan yang baru saja kembali dari tempat kerjanya dikarenakan lembur bertemu dengan Siska yang tidur sembari duduk bersandar di halte tidak jauh dari Kantor pusat Perkasa Hutama sembari mendekap bayinya yang tertidur dengan pulasnya.
"Mbak, kenapa di sini?" tanya Ivan seraya mengguncang bahu Siska dengan lembut.
Siska seketika membuka matanya kala itu dan mengetatkan gendongannya pada sang bayi, tatapannya tajam menyorot ke arah Ivan.
"Mau apa kamu?!" herdiknya.
"Saya tanya Mbak kenapa di sini? Kasian bayinya."
"Memangnya kenapa kalau saya di sini?"
"Dingin mbak di luar," ujar Ivan dengan penuh kesabaran, ia tahu wanita di depannya ini tampak stres. Ia tidak mau memicu depresi pada wanita muda itu.
"Saya nggak punya duit untuk menginap apalagi bayar sewa kos," ujar Siska dengan nada lirih. Ia masih waspada tetapi entah mengapa di dalam hati kecilnya berkata bahwa pria di depannya ini adalah orang yang baik.
"Mbak mau ikut sama saya nggak? Saya kasih Mbak tempat tinggal yang layak?"
Siska mengangguk, kemudian ia mengikuti Ivan dengan membonceng sepeda motor pemuda itu. Ivan membawanya ke panti asuhan dan sejak tinggal di sana serta kesehatannya sudah pulih Siska memutuskan untuk bekerja dan menitipkan sang putra di sana. Ia memilih untuk tinggal di luar karena merasa sungkan dengan kebaikan ibu Siti. Semua dibantu oleh Ivan bahkan kala Ivan menawarkan dirinya untuk bekerja di pabrik dirinya tidak mau.
Ivan ingat betul, Siska berkata tidak ingin lebih menyusahkan Ivan jika nanti pada akhirnya dirinya tidak becus bekerja.
***
Sekarang Ivan sadar dengan maksud Siska tersebut, bisa jadi Siska memang sudah mengenal Kalvin jauh hari. Mereka berasal dari kalangan yang sama, hanya nasib kini yang membedakan mereka dan akhirnya bisa bertemu kembali. Ivan ikut berbahagia karenanya, siapa tahu dengan begini Siska bisa kembali berkumpul dengan keluarga kandungnya.
"Kamu sudah kenal calon istriku?" tanya Kalvin.
"Sudah, Pak."
"Kalau begitu kamu bisa handle nanti urusan pendidikan anak-anak di sini sekaligus menyalurkan ke perusahaan kita sesuaikan dengan bakat mereka."
"Baik, Pak. Terima kasih."
"Makasih sudah membantu menjaga anakku ya, Mas," ujar Siska kepada Ivan.
"Sama-sama, Bu," balas Ivan yang kini sudah merubah panggilan.
"Jangan salah sangka, aku sudah kenal lama dengan Kalvin. Kami baru bertemu kemarin dan dia sudah meminta untukku menikahinya," kata Siska begitu Kalvin disibukkan dengan Emma.
"Apa tidak terlalu cepat."
"Aku tahu, tapi ini adalah kesempatanku. Dulu aku sempat menyia-nyiakan dia sekarang aku nggak mau kehilangan kesempatan itu lagi. Apalagi dia bisa menerima anakku."
"Bagaimana dengan keluarganya?"
"Mereka bisa menerima dengan mudah."
"Benarkah?"
"Iya."
"Tapi kamu harus hati-hati bagaimana jika ayah dari Virgo."
Siska menghela napas panjang mengingat pria terkutuk itu. "Aku berharap dia nggak akan menyentuh anakku. Itu sebabnya aku harus memanfaatkan keadaan sekarang."
"Kamu sangat berubah," ujar Ivan menatap lekat ke arah Siska.
"Aku capek berjuang sendirian. Kamu tahu bagaimana ketakutan ku selama ini. Keluarga Perkasa jelas bisa melindungiku dan anakku."
"Aku harap apa yang kamu upayakan berjalan dengan lancar. Aku hanya berpesan, tolong jangan permainkan Pak Kalvin. Dia orang yang sangat baik."
"Aku akan berusaha."
****
"Kalian bicara apa tadi?" tanya Kalvin saat mereka dalam perjalanan pulang.
Virgo dan Emma sudah tertidur di jok belakang. Siska melirik pada kedua anak kecil itu dan kemudian kembali memusatkan perhatian kepada Kalvin.
"Ivan hanya memberikan nasehat. Aku cukup berhutang budi padanya dulu. Dia yang banyak membantuku saat pergi dengan Virgo."
"Aku akan menaikkan jabatannya nanti. Dia sangat berkompeten di bidangnya," jawab Kalvin tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya.
"Tapi bagaimana dengan orang tua dan keluargaku?"
"Seperti yang sudah aku bilang. Kita hadapi bersama nanti."
"Apa tidak terlalu cepat?"
"Apanya?"
"Pernikahan kita? Bagaimana bisa kamu sangat yakin denganku?"
Kalvin terkekeh geli. "Berapa kali harus kubilang perasaanku dari dulu tidak pernah berubah."
"Aku masih rasanya seperti mimpi."
"Perjalanan hubungan kita masih jauh. Jangan terlalu dipikirkan yang terpenting sekarang Virgo dulu sudah bersama kita. Untuk Emma jelas tidak bisa sekarang karena kita harus mentaati undang-undang yang berlaku."
"Aku tidak tega rasanya mengatakan hal itu pada anak itu."
"Nanti aku temani. Toh, dia bisa weekend bersama dengan kita sampai nanti semua syarat adopsi lengkap. Semoga tidak ada kendala yang berarti."
"Aku harap begitu. Bagaimana dengan keadaan Melody dengan Tama?" Siska mengalihkan percakapan.
"Aku rasa Tama tahu apa yang harus dilakukan. Memang berat apalagi ada anak Yoga bersama kita. Semoga Melody bisa menerimanya."
"Itu yang menjadi pemikiranku."
"Jangan pikirkan semuanya sekarang. Kita nikmati saja apa yang ada di depan mata."
"Aku lapar, Kak."
Pecahlah tawa Kalvin dibuat oleh pengumuman dari Siska hingga membangunkan dua bocah yang terlelap tidur tadi. "Papa kenapa tertawa keras sekali?" tanya Virgo.
"Mama lucu."
"Apanya, Pa?" desak anak laki-laki itu yang kini menegakkan duduknya.
"Tidak apa-apa," jawab Siska cepat.
"Bagaimana kalau kita makan di sana?" tunjuk Kalvin pada sebuah pusat perbelanjaan yang menyatu dengan salah satu gerai makanan ternama.
"Yey … ayam goreng, Pa? Boleh ya, Ma?" tanya Virgo dengan sangat antusias.
"Tentu," balas Siska yang tak lagi bisa punya alasan mengelak. Padahal ia berkeinginan untuk makan di kaki lima saja. Namun melihat antusias sang buah hati dan senyum menawan dari Kalvin tentu ia tak kuasa menolak.
Keempat orang tersebut duduk manis seperti layaknya keluarga kecil bahagia. Siska terlihat sedikit minder karena tatapan wanita yang mengarah pada Kalvin dan mungkin membandingkan dengan dirinya. Untung saja Kalvin dengan baik menggenggam erat tangannya dengan mesra seolah tahu keresahannya.
"Kamu cari meja saja dengan anak-anak biar aku yang pesan makanan," bisik Kalvin sangat dekat dengan telinga Siska hingga menimbulkan gelenyar hangat di hati.
Siska mengangguk dan memilih tempat yang dekat dengan jendela yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung sebelumnya. Siska baru saja duduk dan menyandarkan punggung di punggung sofa berbentuk latter U saat sebuah suara yang sangat lama tidak ia dengar kembali berbicara dengan tajam dan sangat terkesan menghina.
"Sudah berapa tahun kamu menghilang Siska? Muncul-muncul di sini?!" tanya Sofia.
"Mama, Tante ini siapa?" tanya Virgo yang bergabung di sana.
"Mama? Oh … anakmu masih hidup?" Tatapan meremehkan dari Sofia masih tajam mengintimidasi ke arah Siska.
Siska tak mau lagi lari dan menghindari masalah dan kini ia berkata, "Jika kamu tidak bisa berkata yang baik-baik sebaiknya kamu pergi dari sini. Seorang wanita berkelas bukan begitu seharusnya bersikap."
"Pintar bicara kamu sekarang ya? Kita lihat bagaimana reaksi Mama dan Papa melihat ini."
Siska melotot tanpa bisa berkata apa-apa. Namun begitu pikirannya kembali dan ingin membalas, Sofia yang merupakan kakak sepupu Siska sudah berlalu.